Nasib Hutan Harapan dengan Segudang Masalah Lahan (Bagian 2)

Selasa siang (27/9/16), ratusan massa tani aksi damai memperingati Hari Tani Nasional. Puluhan orang petani yang aksi dari Suku Anak Dalam,  Pangkalan Ranjau.

Dalam aksi, massa menolak monopoli tanah oleh negara. PT. Restorasi Ekosistem (Reki) disebut-sebut sebagai pelaku monoli tanah. “Usir, usir, usir PT Reki, usir PT Reki, sekarang juga…,” teriak mereka berulang-ulang, sembari menuju Kantor DPRD Jambi.

“Hentikan monopoli tanah, jalankan reforma agraria sejati.” Begitu bunyi spanduk putih dibentang garda depan.

Jupri, pimpinan SAD Pangkalan Ranjau, menuntut wilayah adat yang jadi restorasi Reki, dikembalikan.

“Kami hanya minta kembalikan wilayah adat kami. Kami tak mau ditumpangkan ke tanah negara. Kami tidak terima perhutaanan sosial, kita tak tahu apa itu perhutanan sosial. Kito tuan rumah masak kito mau ditumpangkan,” katanya.

Sekitar 500 keluarga Suku Anak Dalam (SAD) hidup di lima pemukiman di Pangkalan Ranjau, yakni di Sungai Renja, Durian Sembilan, Jerambah Besi, Sungai Simpur, dan Sungai Telang.

Di sana ada semendo–orang luar SAD yang dianggap keluarga dan mengikuti aturan SAD serta para petani sekitar 1.500 keluarga.

Konflik dimulai sejak REKI mendapatkan izin kelola restorasi ekosistem di hutan produksi Jambi, seluas 46.385 hektar, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.327/Menhut-II/2010.

Menurut Pauzan Fitrah, Koordinator Kolektif Komite Aliansi Gerakan Regorma Agraria (AGRA) Jambi yang mendampingi SAD Pangakalan Ranjau, mengatakan, konflik SAD dengan Reki sebenarnya kelanjutan dengan PT.Asialog, sebelumnya.

“Reki melanjutkan konflik perampasan wilayah adat oleh Asiaolog. Masuk tanpa izin (SAD) juga bagian dari pengusiran,” katanya.

Sebelumnya, katanya, pernah beberapa kali mereka diajak diskusi soal penyelesaian konflik, dengan usulan kemitraan. “SAD dan masyarakat gak mau. Mau lepas dari kawasan hutan,” katanya.

Pertengahan Agustus lalu, Reki dan SAD Pangkalan Ranjau sempat menandatangani nota kesepahaman pengakuan SAD dan penetapan hutan adat.

Keduanya kembali ribut gara-gara pegawai Reki pemetaan tanpa sepengetahuan masyarakat Pangkalan Ranjau.

Aksi petani Jambi termasuk SAD menuntut pelepasan lahan. Foto: Yitno S
Aksi petani Jambi termasuk SAD menuntut pelepasan lahan. Foto: Yitno S

Reki tak punya kewenangan lepaskan kawasan hutan

Reki pun cukup dibuat pusing dengan beragam konflik lahan di Hutan Harapan ini.

Manggara Silalahi, Advisor Kemitraan Masyarakat, Pemerintah dan Para Pihak PT Reki mengatakan,  konflik lahan tak hanya dengan SAD Pangkalan Ranjau, juga kelompok lain, seperti Serikat Petani Indonesia (SPI), Kelompok Alam Sakti Tanjung Mandiri, Kelompok Narwanto Kunangan Jaya II dan Hulu Badak di Selatan. Sampai sekarang belum menemukan titik terang.

Setiap tahun, katanya, hampir sekitar 2.000 hektar lahan dibuka para migran di Hutan Harapan. Pembukaan ini sejak 2008 hingga 2016.

Manggara memperkirakan, luas lahan bukaan pendatang sekitar 21.000 hektar, atau 15% dari luas izin restorasi.

“Kalau di Jambi, ada 15.000-18.000  hektar kini diokupasi petani. Umumnya mereka tanam sawit,” kata Manggara.

Terkait konflik dengan SAD Pangkalan Ranjau, katanya, sangat rumit diselesaikan. SAD Pangkalan Ranjau juga berkonflik dengan SPI.

Depati Jupri mengklaim,  kawasan garapan SPI masuk SAD Pangkalan Ranjau.

“Kemarin waktu meeting di Jakarta, ada kesepakatan kelompok Jupri didampingi AGRA agar menyelesaikan konflik dengan SPI, baru penilaian,” kata Manggara.

Sepengetahuan dia, SPI mendampingi petani pendatang dengan jumlah terus bertambah, belum lagi masyarakat membuka lahan individu ikut bergabung dengan SPI. “Kalau kita yang miskin oke, tapi ada spekulan-spekulan yang memanfaatkan situasi. Di lapangan tak bisa kontrol oleh SPI Jambi,” katanya.

Dia mendorong, konflik lahan ini selesai dengan pola kemitraan, seperti sebelumnya disepakati kelompok Trimatno, di Kunangan Jaya I, Kelompok SAD Simpang Macan, Mitrazone, Tanding dan Gelinding.

“Proses-proses seperti itu (kemitraan) yang kita dorong. Hanya para migran menginginkan lahan garapan bisa disertifikasikan, tentu itu nggak bisa dong…Sampean tak pinjemin motor, terus motor sampean jual, bisa nggak? Sama posisi dengan PT Reki, yang bisa kalau saya pinjemin motor, sampean bilang motor ini saya pakai boncengan atau sedikit renovasi,” katanya.

Dia mengatakan, Hutan Harapan itu kawasan hutan negara. “Yang bisa melepaskan adalah negara. Kita diberikan mandat mempertahankan kawasan hutan. Yang bisa kita lakukan kemitraan, kerjasama.”

Soal konflik, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kala datang ke Hutan Harapan, mengatakan, telah lama mendengar kabar masalah antara pendatang dan masyaralat lokal, termasuk informasi keterlibatan beberapa pejabat tingkat desa. “Kalau dilihat progresnya sudah jauh lebih baik,” katanya.

Untuk meredam laju kerusakan hutan karena perambahan dan illegal logging, katanya, penegakan hukum harus jalan. Meskipun begitu, kata Siti, jika setiap kelompok bisa ditata dengan baik tak perlu sampai penegakan hukum.

“Saya lihat perkembangannya di hutan-hutan krusial itu sudah bagus. Mereka bisa pakai nilai-nilai sendiri,” ucap Siti.

Ancaman kelestarian Hutan Harapan datang dari berbagai sisi, tak hanya pembukaan lahan oleh pendatang, juga illegal logging di Hulu Badang, perbatasan Sumatera Selatan.

Pembalak liar ini, menebang pohon-pohon besar untuk dijual ke sawmil dan panglong. Dampaknya, Hutan Harapan mengalami degradasi cukup parah. Habis

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,