Liputan Natuna : Untuk Jadi Penguasa di Laut, Indonesia Butuh Coast Guard Segera (Bagian 4)

Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di 15 lokasi di seluruh Indonesia, salah satunya Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Tulisan ketiga ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang datang meliput ke Kabupaten Natuna di Provinsi Kepulauan Riau, pada awal September 2016. Liputan untuk melihat kondisi perikanan disana dan dampak pembangunan SKPT.

***

Pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna yang kini tengah berjalan di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, memicu banyak gairah di pulau terdepan yang berada di Laut Cina Selatan itu. Gairah tersebut, menjadi bagian dari gairah maritim yang dikampanyekan Presiden RI Joko Widodo.

Namun, bagi tokoh perikanan Natuna Rodhial Huda, semangat maritim yang sedang melanda seluruh negeri saat ini, bisa jadi semangat yang berbeda dengan konsep kemaritiman yang sesungguhnya. Dia menyebut, apa yang dilakukan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Natuna, itu tidak lebih dari kebutuhan saat ini saja.

Rodhial yang ditemui Mongabay, awal September lalu, mengaku apa yang dilakukan KKP sekarang sangatlah baik untuk pembangunan Natuna. Namun, menurutnya, pembangunan Natuna akan jauh lebih penting lagi jika Pemerintah Indonesia memahami konsep kemaritiman.

Secara prinsip, Rodhial menyebut ada tiga prinsip dasar yang harus dipahami oleh orang Indonesia jika ingin menyebut dirinya adalah bangsa maritim. Tiga prinsip tersebut adalah prinsip yang biasa dipakai oleh orang laut – istilah untuk menyebut siapa saja yang beraktivitas di laut.

Prinsip apa saja yang dimaksud Rodhial, berikut hasil wawancara lengkap dengan pria asli Natuna itu :

Mongabay : Benarkah Indonesia sekarang sudah menjadi negara maritim?

Rodhial Huda : Dulu waku kita merdeka, kita cuma punya pulau-pulau dan 3 mil laut di setiap pulau. Artinya, ini laut internasional. Karena laut internasional, waktu Bung Karno (Presiden RI I- Soekarno) ke Cirebon, dia bertanya kenapa kapal masih lewat di Cirebon, Indonesia kan sudah merdeka. Kemudian, ada yang menjawab itu tidak bisa, karena kita masih gunakan perjanjian TZMKO 39 (Territoriale Zeeen Marietieme Kringen Ordonantie Staatblad tahun 1939 No.442) yang dibuat pada zaman (penjajahan) Belanda. Jadi kita punya laut sebatas 3 mil di setiap pulau, atau sebatas tembakan meriam waktu itu.

Kemudian, karena saat itu Bung Karno mulai sadar, beliau bertanya kepada pakar kelautan saat itu, Djuanda. Dia ingin tahu bagaimana langkah yang harus diambil supaya laut itu jadi milik Indonesia? Kata Djuanda saat itu, kita harus berani deklarasi menyatakan 3 mil itu dihitungnya dari pulau-pulau terluar yang mau dianggap wilayah kita. Maka, keluarlah Deklarasi Djuanda tahun 1957.

Meski sudah ada deklarasi, namun wilayah kita diklaim seperti ini : 3 mil saja. Dunia saat itu tak pernah akui. Sehingga, Indonesia mengutuslah Mochtar Kusumaatmaja dkk untuk memperjuangkan konsep negara kepulauan, bahwa laut di antara pulau-pulau itu adalah laut pedalaman Indonesia. Kemudian, 25 tahun setelahnya atau pada 1982, keluarlah UNCLOS (United Nations Convention on the Law of Sea), yang memayungi secara hukum bahwa konsep negara kepulauan ini.

Bahkan bukan 3 mil, 12 mil teritorialnya, dan bertambah besarlah laut kita. Terus, bertambah lagi continent zone dengan 12 mil, jadilah kita punya 24 mil. Ditambah lagi, 200 mil ZEE (zona ekonomi eksklusif), kita punya 224 mil. Kita punya hak kedaulatan di 12 mil, dan hak berdaulat di 200 mil

Dan ada lagi rezim landas continent. Kita masih bisa klaim sejauh 300 mil kalau landas continent itu bisa kita argumentasikan, dan itu adalah landasan benua kita. Tapi kita tidak ada landasan continent, malah Australia yang dapat duluan. Kita dengan 200 mil saja belum kita manfaatkan betul, apalagi sampai landas continent. Dengan ini, kita punya laut luasnya menjadi 5,8 juta km persegi, dua pertiga dari wilayah kita.

Pelabuhan Selat Lampa Natuna. Foto : panoramio.com
Pelabuhan Selat Lampa Natuna. Foto : panoramio.com

Mongabay : Anda pernah bilang bahwa hingga sekarang, tidak ada klausul yang menyatakan dalam Undang-Undang Dasar bahwa laut di wilayah Indonesia adalah milik Negara Indonesia?

Rodhial Huda : Di mana laut ini menjadi wilayah kita? Memang tidak ada di UUD yang menyatakan laut adalah wilayah kita. Jadi baru UNCLOS yang mengakui ini laut kita, artinya laut ini masih rawan belum milik kita, belum ada di UUD, baru ada di UU Perairan Tahun 1960. Baru secara UU dan masih bisa diubah. UUD saja sudah diamandemen sampai 4 kali, tapi tetap saja laut tidak masuk di dalamnya.

Karena laut tidak masuk dalam UUD, makanya kita baru mengenal sistem pemerintahan itu pada 1945, provinsi, kabupaten, dan kota, tidak ada pemerintah di laut. Jadi Indonesia tidak punya Pemerintah di laut. Ini yang harus ditekankan, pemerintah di laut.

Mongabay : Berkali-kali, Anda menyebut orang laut dan prinsipnya. Apa prinsip orang laut itu?

Rodhial Huda :  Pertama, untuk diketahui, laut itu tidak ada penguasa. Laut tidak ada pemilik dan itu prinsip orang laut. Walau UNCLOS sudah menyebut bahwa laut adalah milik kita, tapi bagi orang laut, yang disebut penguasa itu adalah pemilik kapal. Artinya, laut yang ada ini, kalau mau kita kuasai, harus kita penuhi dengan kapal kita. Kita menguasai laut. Kalau tidak, yang berkuasa di laut itu adalah (kapal) Thailand, Vietnam, dan lain-lain. Dengan kata lain, jangan salahkan negara lain jika berkuasa di Laut Indonesia. Artinya, laut itu tidak bicara (dikuasai secara) de jure, laut itu de facto.

Laut itu warisan dunia, tidak boleh orang kavling. Jadi dia baru bisa dikavling, kalau syaratnya dia bisa penuhi dengan kapal. Jadi, jikalau Indonesia tidak memenuhi lautnya dengan kapalnya sendiri, maka Indonesia hanya akan memiliki laut pada batas administratif imajiiner, di atas peta doang.

Kedua, secara de jure dianggap bersatu kita ini. Tapi bagi orang laut, negara kepulauan itu baru dianggap bersatu kalau di antara pulau-pulaunya ini dihubungkan oleh kapal-kapal berbendera negara itu sendiri. Artinya, Indonesia ini sebenarnya disintegrasi jika melihat kondisi di laut sekarang. Karena, sekitar 53 persen yang menghubungkan antar pulau itu adalah kapal asing. Sampai sekarang, yang menghubungkan Jakarta itu masih ada kapal milik Singapura, kapal Panama, kapal apa, dan itu bukan kapal Indonesia.

Kapal apa ini? Kapal yang mengangkut barang. Kapal-kapal semua di laut harus kapal Indonesia, dalam bentuk apapun. Itu tidak berat bagi Indonesia, kalau pembangunannya sudah jelas. Hari ini kan pembangunannya lebih mementingkan mobil ke darat, dan kereta api, daripada kapal di laut. Karena konsep dasarnya tidak dipahami oleh bangsa. Kapal ini bisa jadi penghubung.

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP
Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Ketiga, kapal bukan hanya sekedar alat transportasi, tapi kapal juga adalah sebuah wilayah negara berdaulat dan besar. Kita ternyata memilih mengibarkan bendera di stadion yang bukan kedaulatan. Berdasarkan 3 prinsip dasar inilah, kita harus memenuhi laut dengan kapal kita sendiri. Kalau kita harus memenuhi laut dengan kapal, kita tidak lepas dengan hukum laut internasional.

(Baca : Di Selat Lampa, Harapan Warga Natuna Ditambatkan )

Mongabay :  Lantas, kapal apa saja yang boleh memenuhi laut kita?

Rodhial Huda : Jadi, sebagai sebuah tubuh bangsa maritim, sama halnya dengan tubuh manusia, tubuh ini baru sehat kalau dialiri darah dengan baik. Kapal apa yang harus memenuhi laut kita? Itu adalah kapal dagang dan nelayan. Kemudian, kapal negara yang terdiri dari kapal Pemerintah dan kapal Perang.

Dalam tubuh manusia, ada sistem darah. Ada darah merah, ada darah putih. Darah merah terdiri dari dua, dari butir-butir darah merah dan plasma darah. Plasma darah ini tugasnya untuk apa? Mencairkan darah supaya butir-butir darah merah bebas kesana kemari, bebas mengantarkan zat ke seluruh tubuh. Terus butir-butir darah merah ini harus banyak, karena supaya tubuh tidak ada yang tidak teraliri zat. Supaya tidak tersendat-sendat dan tidak ada kolesterol, harus ada plasma darah, supaya ini cair. Tugasnya apa, memperlancar butir-butir darah merah. Setelah darah merah ini lancar bergerak, dia lindungi darah putih terhadap serangan dari luar.

Mongabay :  Analogi di atas bisa dijelaskan lagi?

Rodhial Huda : Siapa butir-butir darah merah di dalam sistem negara maritim? Mereka adalah kapal dagang dan kapal nelayan. Artinya, masyarakat laut itu adalah kapal dagang dan kapal nelayan. Kenapa harus butir-butir, karena dia harus mengantarkan banyak zat ke seluruh pulau. Supaya tidak ada semen yang harganya Rp1 juta, mie instan Rp10.000. Mereka bebas berkeliaran supaya bisa mencair, dan tidak diganggu oleh satu siapa pun.

Siapa yang bertugas melayani darah merah ini supaya dia lancar? Ya kapal pemerintah di laut. Supaya kegiatan ekonomi yang lancar ini tidak diganggu, maka harus ada kapal perang yang menjaga di laut. Bukan asing di teritorial saja. Tidak perlu masuk dan ikut campur.

Hari ini, Indonesia punya kapal dagang dan nelayan, tapi (jumlahnya) sedikit. Sehingga perlu didonor butir-butir darah merah dari bangsa asing. Tubuh kita, kalau kurang darah merah, kita donor. Tapi donor itu sifatnya beda dengan tubuh kita. Sehingga tubuh kita tidak akan sehat benar. Artinya, butir-butir darah merah bangsa Indonesia ini sedikit. Sudahlah sedikit, ternyata tidak ada plasma darah. Darah merah yg tidak punya plasma, akan mengalami kolesterol. Sedikit dan tersendat-sendat. Mau kesana tidak mampu karena kecil, mau kesini tidak bisa karena ditangkap oleh si ini.

(Baca : Beruntungnya Natuna Dibuatkan Fasilitas Berstandar Internasional )

Sudahlah mengalami kolestrol si darah merah, sering dimakan sama darah putih. Kalau darah merah dimakan darah putih, namanya leukemia. Itulah Indonesia hari ini.

Kapal Orca 2 merupakan salah satu dari empat kapal baru pengawas perikanan yang diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanan di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta, pada Jumat (08/04/2016). Foto : M Ambari
Kapal Orca 2 merupakan salah satu dari empat kapal baru pengawas perikanan yang diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanan di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta, pada Jumat (08/04/2016). Foto : M Ambari

Mongabay : Dengan kondisi seperti itu, apa yang harus dilakukan Pemerintah sekarang?

Rodhial Huda : Jadi, jika Jokowi mau mengembalikan negara maritim di Indonesia, maka dia harus mengisinya dengan baik. Yaitu: dia harus membentuk pemerintah di laut (plasma darah),  harus ada kapal (butir darah merah), dan harus segera perbanyak darah putih.

Karena pentingnya pemerintahan di laut, Pemerintah harus segera membentuk Pemerintah di laut. Dunia saat ini mengenalnya dengan coast guard. Kita ga ada. Fungsinya apa? Yaitu untuk mengantarkan ke seluruh pulau. Artinya  tidak boleh ada yang diberhentikan di tengah laut.

Hari ini, Indonesia punya butir-butir darah merah, tapi sedikit. Ada juga darah putih di laut.

Sebagai negara maritim, kita punya 3 kewenangan:

  1. Kita sebagai coastal state. Flag state atau negara bendera. Sebagai negara pantai, kita harus ada otoritas negara pantai. Inilah  namanya pemerintah di laut. Harus ada pemimpin di laut.
  2. Kita juga adalah negara pelabuhan, jadi harus ada otoritas negara pelabuhan. Jadi di setiap pelabuhan Indonesia itu harus otonom.
  3. Ada flag state. Artinya, Indonesia harus menunjuk kepala pemerintahan di kapal. Di laut saja, ada kepala pemerintahan di laut, ada di pelabuhan, dan ada di kapal.

Sekarang tugas pemerintah di laut untuk apa? Untuk menjamin enhance of maritime safety and security, meningkatkan keselamatan maritim dan keamanan. Bukan keamanan dulu, tapi keselamatan dulu. Bicara laut itu bicara keselamatan, baru keamanan. Kenapa? Karena kapal berkeliaran di laut, baik kapal lokal maupun asing harus mendapat jaminan keselamatan untuk bernavigasi.

Kalau saya tenggelam, siapa yang tolong, kalau saya terbakar, siapa yang bantu padamkan. Kalau saya tumpah minyak, siapa yang bantu lokalisir. Kalau saya hilang siapa yang cari. Itulah tugas pemerintah di laut.

Suatu badan tersendiri yang melayani kepentingan masyarakat laut. Siapa masyarakat laut? Mereka adalah kapal dagang dan kapal nelayan tadi. Jadi dia bukan dihambat, tapi justru harus dilayani oleh pemerintah di laut.

Kapal FV Viking ditangkap di perairan Utara Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, karena terbukti melakukan illegal fishing. Kapal berbendera Nigeria ini sudah masuk purple notice Interpol Norwegia karena tercatat sudah 13 kali ganti nama, 12 kali ganti bendera, dan 8 kali ganti call sign. Foto : Humas KKP
Kapal FV Viking ditangkap di perairan Utara Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, karena terbukti melakukan illegal fishing. Kapal berbendera Nigeria ini sudah masuk purple notice Interpol Norwegia karena tercatat sudah 13 kali ganti nama, 12 kali ganti bendera, dan 8 kali ganti call sign. Foto : Humas KKP

Makanya pemerintah di laut atau coast guard itu harus terdiri dari unsur bea cukai, unsur imigrasi, dan lain-lain. Semua unsur 13 instansi harus ada di dalam kapal pemerintah. Tapi kapalnya harus satu, coast guard namanya.

Kemudian, kapal kan tidak hanya bermain di laut, dia ada singgah di pelabuhan. Nah, singgah di pelabuhan ini, makanya harus ada kepala pemerintahan di pelabuhan. Untuk melayani kapal-kapal berbendera asing dan lain-lain. Karena pelabuhan tidak boleh di bawah pemda, mereka itu harus otonom, harus nunjuk pemerintah pusat. Dan itu makanya pusat harus nunjuk langsung siapa. DIa harus membawahi CIQP (custome, imigration, quarantine, port)

Mau keluar masuk pelabuhan, dia hrs dapat CIQP clearance ini. Jadi dia harus mendapat custome untuk barang-barang, immigration untuk penumpang dan kru, quarantine untuk hewan dan tumbuhan-tumbuhan. Setelah mendapat CIQP clearance ini clear, barulah kepala pemerintahan di pelabuhan yang menyerahkan port clearance kepada nakhoda kapal. Setelah dia punya port clearance, artinya kapal bisa berlayar dengan bebas ke tempat tujuan. Ini jadi satu pintu.Tapi tetap saja untuk pelabuhan itu lewat bea cukai.

Mongabay :  Selanjutnya kemudian bagaimana?

Rodhial Huda : Setelah berjalan di laut, maka tidak boleh ada yang menghambat pergerakan kapal-kapal. Sama sekali tidak boleh dihambat. Boleh, kecuali dia tertangkap tangan melakukan kejahatan di laut atau akan melakukan kejahatan di laut. Dia hanya boleh dikejar, diberhentikan, dan diperiksa oleh kapal-kapal pemerintah di laut, atau kapal perang berdasarkan permintaan kapal pemerintah di laut. Mungkin di lokasi itu tidak ada kapal pemerintah, tapi ada kapal perang. Maka kapal pemerintah bisa meminta tolong kepada kapal perang.

Di laut itu tidak berlaku personal. Status hukum itu berlaku di kapal, bukan di orang. Kapal tersebut harus dibawa ke pelabuhan umum terdekat dan diserahkan kepada pemerintah pelabuhan. Karena kapal coast guard harus kembali ke laut, laut tidak boleh kosong. Kalau berdasar penindakan ada bukti kuat melakukan kejahatan, maka serahkan kepada pemerintah di pelabuhan untuk melakukan penyidikan. Maka dilihat dalam penyelidikan itu kesalahan ada di barang-barang, maka serahkan ke PPNS bea cukai. Kalau masalah orang-orang, maka serahkan ke PPNS Imigrasi di pelabuhan. Kalau pelabuhan ke pelabuhan, perikanan ke perikanan, kalau tindak pidana umum serahkan ke polisi.

(Baca : Ironi Pulau Sedanau, dari Kemakmuran ke Keterpurukan)

Tokoh perikanan Natuna, Kepulauan Riau, Rodhial Huda. Menurutnya, Indonesia belum sepenuhnya berdaulat di wilayah perairan Indonesia. Foto : M Ambari
Tokoh perikanan Natuna, Kepulauan Riau, Rodhial Huda. Menurutnya, Indonesia belum sepenuhnya berdaulat di wilayah perairan Indonesia. Foto : M Ambari
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,