Melacak Budaya Peduli Lingkungan Masyarakat Gambut di Nusantara

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi lahan gambut di Kalimantan Tengah. Sebagai warga Sumatera Selatan yang juga memiliki lahan gambut, saya menjumpai banyaknya persamaan antar dua wilayah ini. Tidak saja dari sisi alamnya, namun juga dari sisi tradisi dan kearifan budaya masyarakat lokal dalam mengelola gambut.

Persamaan yang saya lihat secara langsung adalah gestur tubuh dari masyarakat gambut yang ada di Pulang Pisau, salah satu kawasan lahan gambut terluas di Kalteng, yang teramat mirip dengan masyarakat di pesisir Sumsel. Meski berbeda bahasa, namun terasa akrab layaknya orang yang sudah saling mengenal sejak lama.

Hal ini lalu membuat saya bertanya. Apakah ada hubungan diantara masyarakat gambut di Nusantara di masa lalu?

Beberapa temuan di bawah ini merupakan pernyataan hipotetik, dimana masih harus tetap dibuktikan dengan penelitian lanjutan dari pihak yang berkompeten.

 

Geopolitik Era Kerajaan Maritim

“Menurut cerita para orang tua, leluhur kita pada masa lalu memang sudah berhubungan. Mungkin itu yang masih membekas dalam diri kita,” kata Okta Simon yang asli keturunan Dayak Ngaju. Okta sendiri bekerja di sebuah organisasi lingkungan yang kerap berhubungan langsung dengan masyarakat wilayah gambut.

Lalu, bagaimana hubungannya? Apakah ada bukti empiriknya?

Teramat sulit untuk menelusuri literasinya. Saya hanya menemukan sebuah tulisan dari Devia Nalini Sheera, seorang peminat sejarah dalam sebuah artikelnya yang tersebar di dunia maya, salah satunya di kompasianaDevia berargumen bahwa telah terjadi interaksi budaya antara leluhur Dayak dengan masyarakat di pesisir timur Sumatera.

Devia Nalini Sheera pun menyebutkan kehadiran wong Sriwijaya di Kalimantan untuk melakukan “ziarah” seperti yang disebutkan dalam Prasasti Batung Batulis.

Berdasarkan Prasasti Batung Batulis di kompleks Candi Laras Margasari berangka tahun 606 Saka, dapat dijumpai tulisan “Jaya Sidda Yatra” yang berarti perjalanan suci atau ziarah. Menurut arkeolog, prasasti yang ditemukan di Margasari, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, ini berhubungan dengan Kerajaan Sriwijaya.

Sebagai tambahan, bukti kehadiran wong Sriwijaya di Kalimantan berdasarkan Prasasti Batung Batulis tersebut, menurut saya dapat diperkirakan sebagai perjalanan atau ziarah ekologi. Sebab pada tahun yang sama, di Palembang dibangun Taman Sriksetra yang ditandai Prasasti Talang Tuwo yang bertahun 606 Saka.

Dugaan tersebut dapat ditelusuri dari beragam vegetasi yang disebutkan dalam Prasasti Talang Tuwo, yang sebagian besar tanaman itu hingga kini masih dapat dijumpai di wilayah lahan basah, baik di pesisir Sumatera maupun di Kalimantan. Misalnya aren, sagu, pinang, kelapa, bambu, dan beragam jenis tanaman buah.

Bahkan dapat merujuk pula pada bentuk bendungan atau sekat dan kolam-kolam yang menunjukkan pentingnya pengolahan perairan di wilayah rawa gambut.

Hal itu tidaklah aneh, jika merujuk pada masa keemasan Sriwijaya sebagai penguasa Jalur Sutra Maritim di wilayah Asia Tenggara. Di masa itu telah berkembang perdagangan yang erat antar pulau di Nusantara, mempertemukan berbagai budaya dan etnik. Tidak saja dalam satu periode waktu tertentu, tetapi berada dalam lintas sejarah.

Sebagai bukti adalah dari berbagai komoditas yang khas Kalimantan seperti emas, intan, damar, dan rotan yang telah diperdagangkan hingga ke Tiongkok maupun ke Timur Tengah.

Dari kehadiran geopolitik yang menjangkau berbagai wilayah lahan basah di berbagai tempat di Asia Tenggara ini, lalu mewariskan budaya umum yang hadir di tengah masyarakat tradisional di berbagai wilayah lahan gambut di Nusantara.

Saya akan mengambil beberapa contohnya, seperti persamaan penamaan ikan, mitos hingga kuliner yang ada di masyarakat lahan basah di Nusantara, khususnya di pesisir Sumatera Timur dan Kalimantan.

Ikan karandang kalau dibakar, si pemakannya akan merasakan gatal-gatal di kulit. Foto Taufik Wijaya
Ikan karandang, salah satu ikan khas gambut. Jika dibakar, si pemakannya akan merasakan gatal-gatal di kulit. Foto Taufik Wijaya

Nama-nama ikan di pesisir Kalimantan sama dengan penamaan yang ada di pesisir Sumatera. Nama-nama ikan seperti aruan (gabus), toman, sepatung, tapah, seluang, sepat, belida (pipih), baung, bujuk, sepat, serta kerandang adalah identik.

Hal kedua adalah kepercayaan masyarakat setempat terhadap larangan membuat api di lahan gambut. Larangan membakar ikan seluang, udang maupun satwa buruan pada saat berada di lahan gambut selain dapat dijumpai di Pulang Pisau, dijumpai pula di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Menurut kepercayaan masyarakat, jika hal tersebut dilanggar, maka bencana akan singgah.

Bahkan, pada masyarakat di tepian Sungai Musi, yang lokasinya umumnya rawa gambut dan talang atau ladang, sangat terlarang membakar ikan, daging, maupun hasil tanaman saat berada di rawa gambut atau talang. Jika seseorang membakar jagung atau ubi, maka tanaman yang ditanam di ladang akan turut mati.

Dalam pemikiran positivistik, tentunya amat sulit untuk menarik benang merah hubungan kepercayaan itu. Namun disisi lain, hal itu membuka pemahaman bagaimana masyarakat tradisional benar-benar menjaga kelestarian gambutnya, dari bahaya kebakaran lahan. Hal lain tampaknya, bertujuan untuk menghindarkan kehadiran hewan-hewan buas yang terundang datang dari aroma pembakaran yang dibuat.

Tradisi tidak membakar bahan makanan saat berada di rawa gambut dan talang, inilah yang lalu diperkirakan membuat tradisi kuliner khas di beberapa daerah. Setidaknya seperti yang diungkapkan Conie Sema, seorang pekerja budaya.

Menurutnya, berbagai makanan khas masyarakat yang tinggal di lahan gambut dan sungai tidak ada yang dibakar. Semuanya direbus atau difermentasi.

Hal ini tidak saja berlangsung di Indonesia, tetapi budaya ini dapat dijumpai di berbagai masyarakat gambut dan sungai yang tersebar di pesisir Asia Tenggara. Bahkan pengolahannya pun hampir sama yang kemudian memunculkan kuliner yang khas. Seperti olahan ikan dalam bentuk ikan asin, pindang ikan, selai ikan, terasi, dan juga pekasem atau ikan yang difermentasi dengan nasi.

Pudarnya Ikatan

Namun hubungan tersebut berhenti di satu titik. Tidak jauh dari masa sekarang, berselang dalam beberapa dekade silam.

Di era maraknya kegiatan perusahaan HPH di Indonesia, dari tahun 1970-an hingga 2000-an, lahan gambut menjadi obyek eksploitasi. Bahkan para pendatang, baik legal maupun ilegal dari Sumsel, secara khusus OKI banyak yang bekerja di Kalimantan, termasuk di wilayah gambut Pulang Pisau.

Hal ini dapat ditelusuri dari pengakuan orang-orang yang dulu terlibat. Sebagai contoh, Jajan (53), warga asli Suku Dayak Ngaju, yang dulu bekerja sebagai pekerja kayu, namun sekarang telah beralih profesi menjadi nelayan tangkap di Sungai Sebangau. Dia menjelaskan dulu pada masa jaya kayu (HPH) banyak wong Palembang (Sumatera Selatan) yang mencari kayu di tempat ini.

Bahran (54), warga asal Desa Garong, yang menetap di kampung nelayan di muara Sungai Bangah, anak Sungai Sebangau, yang saat ini juga menjadi nelayan tangkap, pun pernah bekerja untuk seorang pengusaha kayu asal Sumsel yang membuka lokasi sawmill.

Bahkan, Isam (56), nelayan tangkap yang juga mantan perambah, menjelaskan masih ada kanal di Taman Nasional Sebangau, yang disebut “Kanal Palembang”. Penamaan itu karena semua pekerja hingga bosnya berasal dari Sumsel.

Olahan kuliner ikan khas. Pindang ikan patin. Masakan khas masyarakat sekitar rawa gambut dan sungai di Sumsel. Foto Taufik Wijaya
Olahan kuliner pindang ikan patin. Masakan khas masyarakat sekitar rawa gambut dan sungai di Sumsel. Foto Taufik Wijaya

Bangkitnya Kepedulian

Beranjak dari pemikiran tentang adanya hubungan sejarah masa lalu dan tinggalan prasasti yang ada, tampaknya semua wilayah lahan basah di Asia Tenggara telah diamanahkan untuk dikelola, ditata oleh para leluhur bangsa ini di era kejayaan perdagangan maritim.

Dengan pemikiran itu, untuk membuat bangsa ini berjaya lagi untuk ratusan tahun ke depan, maka pengelolaan lahan basah dan gambut harus menjadi prioritas. Tidak lagi menjadi sumber bencana, seperti kebakaran yang berlangsung berulang-ulang selama belasan tahun.

Hal ini sejalan dengan arahan visi Presiden Jokowi untuk membangun kejayaan samudera. Tidaklah mungkin kejayaan jalur sutra maritim tanpa diikuti dengan penataan wilayah gambut. Sebab, ketika jalur laut dioptimalkan, wilayah gambut berada di aras depan dalam skema ekonomi yang dibangun.

Untuk itu revitalisasi norma dan nilai sosial budaya yang ada dapat menjadi jembatannya.

* Taufik Wijaya, penulis adalah jurnalis, pekerja seni, penyair, peminat sejarah dan budaya, saat ini tinggal di Palembang, Tulisan ini merupakan opini penulis. Email: [email protected] 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,