Mulai 10 Oktober, 1.600 Kapal dan 61 Perusahaan di Muara Baru Mogok Operasional  

Para pengusaha dan pemilik pabrik yang ada di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, memilih untuk melakukan aksi mogok operasional jika Pemerintah RI tidak mencari jalan tengah untuk menyelesaikan polemik yang terjadi. Aksi mogok akan dilakukan terhitung mulai Senin (10/10/2016) mendatang.

Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru (P3MB) Tachmid Widiasto di Muara Baru, Rabu (5/10/2016). Pernyataan tersebut keluar untuk menyikapi kondisi terkini industri perikanan yang ada di Jakarta, khususnya Muara Baru.

Menurut Tahcmid, keputusan untuk melakukan aksi mogok operasional, dilakukan karena hingga kini para pengusaha tidak diberi kesempatan untuk dicarikan jalan keluar. Pertimbangan yang paling utama, karena para pengusaha saat ini sudah merasa seperti diusir secara tidak langsung.

“Pengusiran itu memang tidak nyata dalam ucapan. Tapi, kami diminta untuk memilih apakah tetap tinggal atau keluar dari Muara Baru. Jika tinggal, kami harus menerima kenaikan tarif sewa lahan hingga 560 persen,” ungkap dia.

Karena Dengan kenaikan tarif sewa tersebut, Tachmid menjelaskan, pengusaha harus membayar biaya sebesar Rp1.558 miliar per hektare per tahun dari tarif sebelumnya yang mencapai Rp236 juta per ha per tahun. Kenaikan tersebut, dirasa sangat mencekik para pengusaha di Muara Baru.

“Kami tak punya pilihan lagi sekarang. Jika ingin tetap punya usaha di Muara Baru, ya harus bayar,” sebut dia.

Namun, meski kenaikan 560 persen masih diterima oleh beberapa pengusaha, Tachmid mengatakan, PT Perum Perikanan Indonesia (Perindo), BUMN yang menjadi pemilik lahan di Muara Baru, memberi batasan sewa lahan maksimal selama lima tahun saja. Batasan itu jauh dari perjanjian sebelumnya yang membolehkan sewa lahan maksimal sampai 20 tahun.

Bagi para pengusaha yang mendirikan 61 perusahaan dan mengoperasikan 1.600 kapal di Muara Baru, pembatasan sewa lahan tersebut sangat tidak masuk akal. Karena, jika melihat pada konsep bisnis, jangka waktu selama lima tahun bukanlah jangka waktu yang ideal untuk membuat usaha.

Belum juga selesai persoalan kenaikan tarif sewa lahan, Tachmid mengungkapkan, dalam waktu bersamaan pihaknya menerima kabar baru lagi dari PERINDO yang mengabarkan kenaikan tarif sewa tambat labuh bagi kapal-kapal yang ada di Muara Baru. Kenaikan itu, dihitung menjadi per 10 hari atau kapal harus membayar biaya sewa per 10 hari.

“Itu sangat memberatkan bagi. Itu juga yang menjadi pertimbangan kami untuk melakukan mogok operasional. Semoga Pemerintah mendengar jeritan kami ini,” ucap dia.

(Baca : Revitalisasi Muara Baru Tidak Tepat Sasaran? )

Dengan melakukan aksi mogok operasional nanti, Tachmid menjelaskan, pabrik-pabrik akan berhenti beroperasi selama sepekan dan kapal-kapal berhenti beroperasi selama sebulan. Jika waktu mogok operasional sudah berakhir, dia berjanji akan mengevaluasinya dan jika dirasa dibutuhkan akan melanjutkan aksi mogok.

“Kami bukan tanpa perhitungan untuk melakukan itu. Kami pasti menelan kerugian besar sekali karena berhenti beroperasi untuk pabrik dan kapal. Tentu saja tidak ada pemasukan, yang ada pengeluaran saja. Tapi ini sudah resiko,” sebut dia.

Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari
Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari

Dengan berhenti beroperasi, Tachmid memastikan tidak akan ada aktivitas ekspor impor dari dan ke Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Muara Baru. Itu berarti, ikan-ikan yang biasa masuk ke Muara Baru juga dipastikan tidak akan diserap karena tidak ada aktivitas pabrik selama sepekan.

Nasib Para ABK

Imbas dari berhentinya operasional 1.600 kapal di Muara Baru, mulai Senin mendatang, dipastikan akan berdampak pada nasib para anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal-kapal tersebut. Para ABK tersebut dalam keseharian bekerja dengan status pekerja lepas yang dibayar harian oleh pemilik kapal.

Ketua Himpunan Nelayan PurseSeine Nusantara (HNPN) James Then menjelaskan, para ABK biasanya mendapat honorarium rerata sebesar Rp100 ribu per hari. Dari data yang ada, kata dia, jumlah ABK saat ini mencapai 32 ribu orang. Itu artinya, para ABK tidak akan mendapatkan bayaran selama sebulan.

“Ini sudah kami bicarakan bersama. Para ABK tersebut memang yang paling merana. Tapi mau bagaimana lagi, karena kami juga sedang memperjuangkan nasib kami sendiri. Kami saja terancam tidak bisa melanjutkan usaha,” tutur dia.

Selain pekerja lepas seperti ABK, James menyebut, masih ada juga pekerja tetap yang jumlahnya sekitar 10 ribu orang. Namun, untuk pekerja tetap, perusahaan tetap akan membayar mereka karena dihitung per bulan.

Untuk kerugian, baik James dan Tachmid tidak berani menyebut secara rinci. Namun, dua orang tersebut menyebut bahwa omset Muara Baru setiap bulan dari industri pengolahan mencapai angka USD50 juta atau ekuivalen Rp650 miliar.

“Jumlah tersebut belum termasuk dari pemasukan hasil perikanan tangkap dari kapal-kapal. Jumlahnya sangat bervariasi dan tidak bisa disebut angkanya. Jadi, tentu saja kami mengalami kerugian sangat besar,” ungkap dia.

Meski merugi, James mengaku tetap akan melaksanakan aksi mogok, menyusul aksi serupa yang dilakukan para pengusaha yang mengoperasikan kapal pencari tuna di Pelabuhan Benoa, Bali, serta di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Baginya, aksi tersebut adalah harga mati untuk mengembalikan iklim usaha yang semakin memburuk dari hari ke hari.

Di tempat berbeda, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebut, revitalisasi Muara Baru penting dilakukan, karena pihaknya ingin mengelola kawasan tersebut dengan lebih baik dan untuk kepentingan masyarakat umum dan nelayan tradisional.

Susi mengatakan, sebelum ada keputusan untuk merevitalisasi Muara Baru yang dilaksanakan bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Perindo sebagai pemilik lahan, Pemerintah selama bertahun-tahun tidak mendapatkan apapun dan tidak bisa mengelola kawasan Muara Baru dengan tepat.

“Pemerintah ingin membangun untuk kebaikan semua,” ungkap dia.

Susi mengungkapkan, karena memiliki niat baik, Pemerintah ingin mengelola kembali lahan yang sudah disewakan selama puluhan tahun. Untuk itu, siapapun yang sedang mempergunakannya, sebaiknya segera mengembalikannya kepada Perindo, sebagai pemilik lahan.

“Sudah saatnya kita tata dan kelola dengan benar. Tanah ini milik Perindo. Yang punya tanah ingin membangun, ya harus dikembalikan,” jelas dia.

(Baca : Sulap Muara Baru Jadi Pasar Ikan Kelas Dunia, Pemerintah Gelontorkan Rp560 M )

Sebelumnya, Susi menyebutkan, Pemerintah akan membangun kembali kawasan Muara Baru menjadi pasar ikan modern seperti di Tokyo. Di pasar tersebut, akan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang canggih, dan termasuk ruangan berpendingin berkapasitas besar. Untuk proyek tersebut, KKP dan Perindo akan mengucurkan anggaran Rp5 triliun yang dilakukan selama tiga periode tahun anggaran (TA).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,