Energi Tanpa Batas Nurkholis Sastro untuk Keutuhan TNKS (Bagian 3)

Berdasarkan SK Menhut No.420/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, luas TNKS yang membantang di Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat adalah sekitar 1.389.510 hektare.

Bila dilihat awal perjalanannya, TNKS dibentuk dari 17 kelompok hutan yang merupakan bagian hutan lindung register tahun 1921-1926 (ditetapkan Belanda), cagar alam dan suaka margasatwa yang ditetapkan pada 1978-1981, ditambah kawasan hutan produksi. Usulan pembentukan TNKS dilakukan berdasar hasil penelitian Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam dan WWF yang disponsori FAO (Food and Agriculture Organization) pada 1977 – 1980.

Peran vital TNKS yang tidak perlu diragukan adalah sebagai daerah tangkapan air untuk 23 sungai utama di empat provinsi tersebut. Ada Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari di Jambi, DAS Ketahun di Bengkulu, dan DAS Musi di Sumatera Selatan. Sementara, dari sisi keragaman hayati, ada 4 ribu spesies tumbuhan, 370 spesies burung, dan 85 spesies mamalia yang hidup nyaman di sini

Terkait berbagai permasalahan yang mendera saat ini, terutama rencana pembangunan 30 jalan yang membelah kawasan taman nasional ditambah ancaman pembalakan liar dan perambahan kawasan, ada sosok tangguh yang tetap semangat menjaga keutuhan TNKS. Figur pegiat lingkungan yang tanpa lelah menebarkan aura positifnya kepada masyarakat dan juga pemerintah daerah setempat untuk bersama melindungi TNKS dari segala marabahaya.

**

 

Macan dahan. Foto: Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS
Macan dahan. Foto: Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS

Nurkholis Sastro diam sejenak. Pertanyaan yang diajukan kepadanya tidak langsung dijawab. Alam pikirannya menerawang jauh. Terlihat dari mimik wajah dan pandangan matanya. Selang beberapa menit kemudian, dia baru mengeluarkan suara. “Ingin menjaga sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat,” kata Sastro, biasa dipanggi, menjelaskan alasan utamanya turut “menjaga” Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) selama dua dasawarsa ini.

Sastro adalah satu dari segelintir orang yang siap berkorban demi keutuhan TNKS, khususnya di Kabupaten Lebong (Kabupaten yang dimekarkan dari Rejang Lebong di 2003). Anggota Warsi yang ikut membidani kelahiran Walhi Bengkulu dan menjabat Deputi Direktur Walhi Bengkulu 1997 – 2001 ini, mulai eksis “menjaga” TNKS sejak 1993. Saat itu, dia terlibat dalam program Integrated Conservation and Development Project (ICDP) sebagai relawan Warsi.

Menurut pria kelahiran Muara Aman, Kabupaten Lebong, 1974 ini, kawasan TNKS adalah sumber kehidupan dan penghidupan sebagian besar masyarakat Lebong. Hampir 6.000 hektare lahan sawah masyarakat di wilayah tersebut dialiri air yang bersumber dari kawasan TNKS. Masyarakat juga memanfaatkan air bersih itu untuk mandi, mencuci dan kebutuhan harian lainnya. Pengetahuan, kearifan dan sumber penghidupan masyarakat yang lainnya pun erat berhubungan dengan kawasan TNKS.

Baca: TNKS yang Tak Lekang oleh Ancaman Pembelahan Kawasan (Bagian 1)

Sastro menuturkan, kerusakan yang terjadi di TNKS pastinya berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Conto, banjir pada 1995 yang awalnya melanda Desa Bandar Agung (kini Tik Sirong). Ribuan penduduk di puluhan desa sepanjang daerah aliran sungai Air Ketahun menjadi korban, bahkan sembilan orang meninggal dunia. “Beragam bencana ekologi seperti banjir, longsor, paceklik dan lainnya membayangi komunitas lokal bila kawasan TNKS rusak,” kata pria berdarah Rejang ini.

Kucing emas. Foto: Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS
Kucing emas. Foto: Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS

Berbuat

Sastro yang terlibat bersama masyarakat dan Pemerintah Desa Ladang Palembang ini, membangun Hutan Keramat “Bukit Sarang Macan” seluas 16 hektare, Hutan Lindung Desa “Tik Gelung” seluas 12 hektare, dan Hutan Adat Desa “Air Semi’ep” sekitar 64 hektare, pada 2002 – 2003. Ia pun gencar memprotes rencana pembangunan jalan Talang Macan – Tapus yang rutenya membelah TNKS. Alhasil, Pemda Lebong membatalkan misi tersebut setelah mendapat surat dari Menteri Kehutanan MS. Kaban di 2006 silam.

Sastro juga mengajak Pemda Lebong membentuk tim pemberantas illegal logging dan membuat program Kabupaten Konservasi pada 2006. Menurut dia, Kabupaten Konservasi harus dibentuk mengingat Lebong yang merupakan pemekaraan dari Kabupaten Rejang Lebong pada 2003 merupakan wilayah penting. Secara geografi dan topografi, hampir 70% dari wilayah Lebong (192.924 ha) adalah kawasan hutan.

Rafflesia di Desa Seblat Ulu, Lebong, Bengkulu. Foto: Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS
Rafflesia yang berada di Desa Seblat Ulu, Lebong, Bengkulu. Foto: Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS

Dari sisi letak, luas Lebong yang berada di ketinggian 500 – 1.000 m di atas permukaan sekitar 80.384 ha dan yang berada di atas 1.000 m seluas 91.335 ha. Untuk yang berada di kemiringan lebih dari 40 derajat luasnya sekitar 110.775 ha atau 57,41% dari luas wilayahnya.

“Dari aspek demografis, hampir 90% penduduk Lebong adalah penduduk asli (Rejang) dengan pendapatan utama bertani dan berkebun. Sehingga, mau tidak mau, pembangunan daerah harus selaras dengan upaya pelestarian llingkungan hidup.”

Nurkholis Sastro yang terus mengajak masyarakat dan pemerintah setempat untuk bersama menjaga keutuhan TNKS. Foto: akun Facebook Nurkholis Sastro

Nurkholis Sastro yang terus mengajak masyarakat dan pemerintah setempat untuk bersama menjaga keutuhan TNKS. Foto: akun Facebook Nurkholis Sastro

Awalnya, gagasan kabupaten konservasi direspon negatif oleh banyak pihak, terutama masyarakat dan pemerintah daerah. Itu dikarenakan ada anggapan, konsep tersebut akan menyingkirkan hak-hak masyarakat dan menghambat pembangunan. Namun, perlahan masyarakat dan pemerintah daerah memahami konsep tersebut sebagai resolusi konflik: kehutanan negara dan rakyat, dan kepentingan pembangunan daerah dan pelestarian lingkungan hidup. “Sayang, program Kabupaten Konservasi ini tidak dilanjutkan oleh kepala daerah berikutnya,” ujar Sastro.

Baca juga: Kearifan Masyarakat Tik Sirong Menjaga Hutan di Kawasan TNKS (Bagian 2)

Kendati demikian, beragam kegiatan yang dilakukan Pemda Lebong waktu itu, telah menggeser pandangan negatif banyak pihak. Khususnya, masyarakat yang tidak lagi dianggap sebagai sumber masalah TNKS,” ujar anggota Tim Pemberantasan Illegal Logging dan Kelompok Kerja Kabupaten Konservasi Lebong yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Lebong.

Air Terjun Batu Betiang di Desa Babakan Baru, Rejang Lebong, Bengkulu. Foto Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS
Air Terjun Batu Betiang di Desa Babakan Baru, Rejang Lebong, Bengkulu. Foto Dok. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS

Meski beberapa tahun terakhir Sastro banyak berkegiatan di Kabupaten Bengkulu Utara, Seluma, Kota Bengkulu, Kaur dan Mukomuko, namun hampir setiap bulan ia akan selalu ke Lebong. Selain mengunjungi orangtua, ia juga membentuk tiga organisasi masyarakat. Yaitu, kelompok petani sawah Telaga Makmur dan kelompok petani kebun Culo Nago, serta kelompok penambang rakyat Aliansi Komunitas Tambang Rakyat.

Selain mengenalkan lingkungan hidup, tiga kelompok ini merupakan media masyarakat untuk belajar berdialog dan bernegosiasi terkait permasalahan dan hak-hak mereka. “Sederhananya, masyarakat perlu diberikan pemahaman dan penguatan kapasitas. Untuk memperjuangkan hak, khususnya seputaran TNKS, tidak perlu frontal dan anarkis. Bisa dilakukan melalui dialog yang lebih elegan,” ujar Sastro. (Selesai)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,