Kenapa 1.600 Kapal dan 61 Perusahaan Pengolahan Perikanan Berhenti Operasi?

Ancaman mogok operasional yang dikumandangkan para pengusaha dan pemilik kapal di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Jakarta Utara, akhirnya diwujudkan mulai Senin (10/10/2016). Mogok tersebut meliputi berhentinya operasional 61 pabrik pengolahan perikanan dan 1.600 kapal perikanan yang ada di Muara Baru.

Untuk pabrik pengolahan, mogok akan berlangsung selama sepekan atau 7 hari. Sementara, untuk kapal perikanan, penghentian operasional akan dilakukan selama sebulan penuh atau sekitar 30 hari lamanya. Selama aksi tersebut, tak akan ada operasional dalam bentuk apa pun.

Dari pantauan Mongabay di PPS Nizam Zachman, Senin kemarin, semua pabrik yang berdiri di pusat industri perikanan Jakarta itu terlihat menghentikan operasionalnya dan memasang spanduk bertuliskan ‘Kami Tutup Operasional.” Tulisan tersebut dipasang bervariasi di masing-masing pabrik dan perusahaan.

Selain industri pengolahan, dari pantauan juga terlihat ratusan kapal mulai menambatkan ke dermaga di PPS Nizam Zachman untuk ikut bergabung dalam aksi mogok operasional. Karena jumlah total kapal mencapai 1.600 unit, jumlah kapal yang berlabuh terus bertambah hingga malam hari.

Ketua Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru (P3MB) Tachmid Widiasto mengatakan, berhentinya operasional industri pengolahan dan industri perikanan tangkap yang ada di PPS Nizam Zachman, disepakati secara bersama tanpa ada paksaan antara satu dengan yang lain.

“Kita semua sadar bahwa aksi ini akan menimbulkan kerugian di kami. Tetapi, ini harus tetap dilaksanakan, karena saat ini ada kesewenang-wenangan dari Perindo dan KKP,” ungkap Tachmid menyebut BUMN Perum Perikanan Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu.

(Baca : Mulai 10 Oktober, 1.600 Kapal dan 61 Perusahaan di Muara Baru Mogok Operasional )

Tachmid menyebut, dari industri pengolahan, dia memperkirakan kerugian yang harus dihadapi mencapai Rp210 miliar. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan perputaran uang per hari operasional pabrik pengolahan yang mencapai Rp30 miliar.

“Sementara, untuk perikanan tangkap tidak bisa diperkirakan. Karena setiap hari itu selalu berubah,” tutur dia.

Yang jelas, menurut Tachmid, dalam sehari, dari Muara Baru devisa yang dibukukan berhasil mencapai USD50 juta atau ekuivalen Rp649 miliar. Dengan jumlah sebesar itu, baik Tachmid dan seluruh pengusaha dan pemilik kapal dan pabrik, sepakat bahwa aksi mogok akan menelan kerugian yang sangat besar.

Kerugian tersebut, menurut Tachmid, bisa saja akan membengkak lagi. Hal itu, karena pabrik pengolahan akan beroperasi jika ada pasokan ikan yang cukup untuk memproduksi. Namun, jika pasokan ikan sudah tidak ada, maka pabrik dipastikan tidak bisa berproduksi lagi.

“Makanya, pabrik-pabrik juga walau berencana seminggu saja berhentinya, tetap saja tergantung pasokan. Kalau kapal berhenti selama sebulan, pabrik akan dapat pasokan ikan dari mana?” ungkap dia.

Sebanyak 61 pabrik pengolahan perikanan dan 1.600 kapal perikanan yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Muara Baru Jakarta Utara, mogok operasional Senin (10/10/2016). Mogok operasional yang dikumandangkan para pengusaha dan pemilik kapal tersebut sebagai protes kepada KKP dan Perindo. Foto : M Ambari
Sebanyak 61 pabrik pengolahan perikanan dan 1.600 kapal perikanan yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Muara Baru Jakarta Utara, mogok operasional Senin (10/10/2016). Mogok operasional yang dikumandangkan para pengusaha dan pemilik kapal tersebut sebagai protes kepada KKP dan Perindo. Foto : M Ambari

Karena itu, Tachmid menegaskan, operasional pabrik pengolahan yang ada di Muara Baru hingga saat ini masih belum bisa dipastikan sampai kapan berhentinya. Jika setelah seminggu dan pasokan masih tidak ada, dia memastikan bahwa pabrik-pabrik masih akan tetap berhenti operasionalnya.

Kenapa Mogok?

Lebih jauh Tahcmid menjelaskan, keputusan untuk melakukan aksi mogok operasional, dilakukan karena hingga kini para pengusaha tidak diberi kesempatan untuk dicarikan jalan keluar. Pertimbangan yang paling utama, karena para pengusaha saat ini sudah merasa seperti diusir secara tidak langsung.

“Pengusiran itu memang tidak nyata dalam ucapan. Tapi, kami diminta untuk memilih apakah tetap tinggal atau keluar dari Muara Baru. Jika tinggal, kami harus menerima kenaikan tarif sewa lahan hingga 560 persen,” ungkap dia.

Karena Dengan kenaikan tarif sewa tersebut, Tachmid menjelaskan, pengusaha harus membayar biaya sebesar Rp1.558 miliar per hektare per tahun dari tarif sebelumnya yang mencapai Rp236 juta per ha per tahun. Kenaikan tersebut, dirasa sangat mencekik para pengusaha di Muara Baru.

“Kami tak punya pilihan lagi sekarang. Jika ingin tetap punya usaha di Muara Baru, ya harus bayar,” sebut dia.

Namun, meski kenaikan 560 persen masih diterima oleh beberapa pengusaha, Tachmid mengatakan, PT Perum Perikanan Indonesia (Perindo), BUMN yang menjadi pemilik lahan di Muara Baru, memberi batasan sewa lahan maksimal selama lima tahun saja. Batasan itu jauh dari perjanjian sebelumnya yang membolehkan sewa lahan maksimal sampai 20 tahun.

Bagi para pengusaha yang mendirikan 61 perusahaan dan mengoperasikan 1.600 kapal di Muara Baru, pembatasan sewa lahan tersebut sangat tidak masuk akal. Karena, jika melihat pada konsep bisnis, jangka waktu selama lima tahun bukanlah jangka waktu yang ideal untuk membuat usaha.

(Baca : Sulap Muara Baru Jadi Pasar Ikan Kelas Dunia, Pemerintah Gelontorkan Rp560 M )

Belum juga selesai persoalan kenaikan tarif sewa lahan, Tachmid mengungkapkan, dalam waktu bersamaan pihaknya menerima kabar baru lagi dari Perindo yang mengabarkan kenaikan tarif sewa tambat labuh bagi kapal-kapal yang ada di Muara Baru. Kenaikan itu, dihitung menjadi per 10 hari atau kapal harus membayar biaya sewa per 10 hari.

“Itu sangat memberatkan bagi. Itu juga yang menjadi pertimbangan kami untuk melakukan mogok operasional. Semoga Pemerintah mendengar jeritan kami ini,” ucap dia.

Sementara itu, salah satu pemilik pabrik penjualan produk perikanan, membeberkan, sejak ada informasi revitalisasi Muara Baru, dia mendapat kabar yang simpang siur tentang kelanjutan usahanya. Tetapi, informasi tersebut kemudian muncul pada 27 September lalu dan diterima secara persoonal oleh masing-masing pengusaha dan pemilik pabrik serta kapal.

“Saya sendiri sebagai pemilik pabrik sangat terkejut karena dari informasi yang masuk, kami harus mengosongkan tempat usaha maksimal sampai 31 Oktober. Tentu saja, pilihan tersebut harus dilakukan jika pengusaha tidak mau memperpanjang masa sewa,” ucap dia.

Pengusaha yang enggan disebutkan namanya tersebut, mengungkap bahwa surat edaran tersebut dibagikan kepada para pemilik pabrik dan disebut di dalamnya ada 17 gedung yang akan dibongkar untuk kepentingan revitalisasi.

“Padahal, saya sendiri sudah bayar biaya perpanjangan sewa dengan kenaikan 150 persen. Tapi, entahlah ini bagaimana nasibnya,” jelas dia.

Harga Sewa Terlalu Murah

Ditemui terpisah, Ketua Perindo Syahril Japarin mengungkapkan, apa yang dilakukan Perindo sekarang dengan menaikkan tariff sewa, merupakan langkah yang tepat. Mengingat, sudah sejak lama tarif sewa berlaku di harga yang sangat murah.

“Dulu itu, harga sewa per meter persegi dipatok Rp865. Itu berlangsung sampai 30 tahun dan berakhir sampai 2019 dan 2020,” ungkap dia.

Dengan harga seperti itu, Syahril mengatakan, maka per hektare sewa lahan dipatok Rp8,65 juta per hektare per tahun. Itu artinya, apa yang dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang menyebutkan harga sewa Rp10 juta per tahun per hektare adalah benar.

“Bahkan, harganya itu ternyata jauh lebih murah karena ternyata Rp8,65 juta dan bukan Rp10 juta,” jelas dia.

Syahril mengungkapkan, munculnya aksi mogok operasional pabrik pengolahan dan kapal perikanan, karena dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi saja. Menurutnya, orang-orang yang ada dalam paguyuban P3MB sebagian besar memiliki lahan yang harus diselesaikan masa sewanya.

Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari
Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari

Berkaitan dengan tuduhan P3MB yang menyebut kenaikan tarif sewa mencapai 560 persen, Syahril dengan tegas menolaknya. Menurutnya, kenaikan tarif itu besarnya hanya 48 persen saja, dari Rp41.368.000 menjadi Rp61.500 per meter per segi per tahun.

“Jika dihitung secara hektaran, memang jumlahnya sangat besar. Tapi tetap saja tidak sampai 560 persen,” sebut dia.

Setelah kenaikan tarif tersebut, Syahril mengungkapkan, Perindo akan kembali menaikkan tarif sewa secara bertahap per semester yang dimulai pada semester pertama 2017 dengan 23 persen. Kenaikan dengan prosentase 23 persen tersebut akan terus berlaku rutin hingga 2020 mendatang atau saat sewa lahan berakhir semuanya.

Selama proses tersebut berlangsung, menurut Syahril, pihaknya akan tetap melaksanakan proyek revitalisasi Muara Baru secara bertahap. Kata dia, revitalisasi akan dilakukan secara bersama dengan KKP dan dibiayai secara bersama.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,