Petani Takalar Kembali Tuntut PTPN XIV, Komisi A DPRD Sulsel Surati Gubernur

Daeng Lina (40) terlihat emosional hari itu. Dengan lantang ia mengiterupsi pimpinan sidang yang dipimpin Andi Yagkin Padjalangi, Ketua Komisi A DPRD Sulawesi Selatan, yang akan segera menutup pertemuan tersebut.

“Kami ini tidak berharap dipanggil kerja di PTPN, kami tak punya pendidikan. Hampir semua kami yang datang hari ini tak tamat SD dan tak bisa baca. Bukan itu yang kami harap. Kembalikan tanah kami, kami hanya mau hidup,” ungkapnya berapi-api.

Daeng Lina adalah satu dari sekitar 72 petani di Kecamatan Pulongbangkeng, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang menuntut pengembalian lahan mereka yang saat ini dikuasai oleh PTPN XIV atau Pabrik Gula Takalar. Hari itu, Senin (03/10/2016) mereka diundang mengikuti pertemuan penyelesaian masalah ini oleh Komisi A DPRD Provinsi Sulsel di aula pertemuan Komisi A.

Pertemuan tersebut selain menghadirkan pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan BPN Sulsel, juga dihadiri oleh pihak PTPN XIV dan sekitar 20 warga Pulongbangkeng Utara, Takalar. Tak terlihat hadir pihak Pemkab Takalar dan BPN Takalar.

Menurut Daeng Lina kehidupan mereka kini berada dalam kondisi kemiskinan karena tak ada lagi lahan yang bisa ditanami padi, hanya ditanami tebu sesuai dengan keinginan perusahaan.

“Memang dulu kita dikasih lahan untuk dikelola tapi hanya sekali saja tanam padi lalu kemudian diambil secara paksa. Saya sendiri punya lahan sekitar dua hektar, saya sempat tanami padi sekali lalu lanjut tanam ubi. Tapi ubi tak sempat panen karena langsung dirusak paksa pakai traktor. Kita coba bertahan tapi ada Brimob.”

Pamannya yang bernama Daeng Genda, bahkan pernah ditangkap Brimob karena bertahan, dan sempat ditahan selama 5 bulan di Polda Sulsel, sekitar dua tahun silam. Ia ditangkap menjelang acara pesta perkawinan anaknya.

Menurut Daeng Lina, tak adanya lahan yang bisa dikelola membuat mereka mencari pekerjaan alternatif, sebagian besar sebagai buruh bangunan atau merantau ke Malaysia juga sebagai buruh. Ia sendiri kini menjadi buruh bangunan di Makassar.

“Sudah lima tahun ini saya bekerja sebagai buruh bangunan bagian campur-campur kerikil dan bahkan angkat semen, kerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Saya tak punya bangunan lagi sehingga hanya tinggal di bangunan proyek di Takalar.”

Daeng Genda memperlihatkan tanaman ubi yang ditanamnya belum sempat dipanen ketika mobil traktor dari PTPN datang membongkar dari lahannya di Pulongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulsel, pada 2015 lalu. Ia sempat ditahan selama 5 bulan di tahanan Polda Sulsel, beberapa tahun sebelumnya. Foto: Wahyu Chandra
Daeng Genda memperlihatkan tanaman ubi yang ditanamnya belum sempat dipanen ketika mobil traktor dari PTPN datang membongkar dari lahannya di Pulongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulsel, pada 2015 lalu. Ia sempat ditahan selama 5 bulan di tahanan Polda Sulsel, beberapa tahun sebelumnya. Foto: Wahyu Chandra

Nur Asiah, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar menjelaskan tujuan pertemuan tersebut adalah upaya untuk memediasi masyarakat petani Pulongbangkeng Utara dengan pihak Pemda Takalar dan PTPN.

“Pemda dan PTPN menganggap bahwa dengan adanya kesepahaman dan kerjasama dengan masyarakat selama ini maka seluruh masalah telah selesai, padahal kan tidak seluruh petani menyetujui hal itu. Informasinya pun tidak disampaikan secara luas. Masyarakat hanya tahu ada bagi-bagi lahan yang kemudian diharuskan ditanami tebu.”

Menurut Nur Asiah, seminggu sebelumnya pihaknya telah bertemu dengan Komisi A DPRD Sulsel untuk mempertanyakan kondisi ini, yang kemudian ditindaklanjuti dengan adanya pertemuan ini.

“Komisi A mencoba menghadirkan pihak-pihak terkait, seperti Bupati Takalar dan BPN Takalar tapi ternyata mereka tidak hadir. Yang hadir hanya utusan dari Gubernur, BPN Sulsel, PTPN X dan PTPN XIV.”

Menurut Nur Asiah, keberatan warga sebenarnya berangkat dari adanya ketidakjelasan janji PTPN untuk mengembalikan tanah warga setelah 25 tahun dikelola melalui Hak Guna Usaha (HGU). Setelah batas waktu 25 tahun ini, tanah warga tidak dikembalikan. Bahkan kemudian terdengar kabar bahwa HGU itu telah diperpanjang secara sepihak dari perusahaan dan pemerintah.

“Kenyataannya ini sudah lewat 30 tahun tanah tersebut diambil, melebihi batas waktu 25 tahun sebagaimana dijanjikan kepada mereka dulu. Seperti itu informasi dari petani di Desa Lassang Barat dan beberapa desa sekitar,” jelas Nur Asiah.

Berdasarkan surat dari PTPN XIV kepada Serikat Tani Pulongbangkeng (SPT) yang isinya menyebutkan bahwa HGU diterbitkan pada tahun 1994 melalui SK Menteri Agraria/Kepala BPN No 27/HGU/BPN/94 tertanggal 18 Mei 1994 tentang Pemberian HGU atas nama PTP XXXII di lahan seluas 4.562,95 hektar dan SK No 156/HGU/BPN/97 tertanggal 30 Desember 1997 tentang Pemberian HGU atas lahan seluas 1.987,27 hektar, sehingga total luasan lahan HGU PTPN XIV adalah 6.550,22, yang akan berlaku hingga tahun 2023/2024.

“Inilah yang menjadi dalih mereka ketika warga menuntut pengembalian lahan, bahwa HGU baru akan berakhir pada tahun 2023 dan 2024. Faktanya, perusahaan telah menggusur lahan masyarakat dan melakukan penanaman tebu sejak tahun 1981-1982, sehingga HGU itu seharusnya telah berakhir. Makanya kemudian banyak masyarakat yang kembali menanam di lahannya, yang kemudian memicu tindakan refresif perusahaan yang didukung oleh Brimob, seperti pemukulan, penangkapan, penahanan dan bahkan penembakan.”

Nur Asiah berharap melalui pertemuan ini akan ada tekanan dari Pemprov Sulsel kepada Pemda Takalar dan PTPN sebagai bagian dari solusi.

“Kita sudah tidak bisa lagi berharap pada Pemda Takalar sehingga harapan kami satu-satunya pada Pemprov Sulsel,” tambahnya.

Sayangnya dari pertemuan ini pihak Pemda Takalar tak hadir, sementara dari PTPN sendiri informasi yang mereka dapatkan jauh dari yang diharapkan.

“Mereka menyatakan telah melakukan berbagai upaya dan pemberian CSR, salah satunya dengan melakukan sunatan massal. Harapan kami tentu jauh dari sekedar sunatan massal ini.”

Lahan Daeng Genda seluas 4 hektar Pulongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulsel, yang tidak lagi bisa ditanami setelah diambil secara paksa oleh PTPN yang melibatkan Brimob pada 2015 lalu. Foto: Wahyu Chandra
Lahan Daeng Genda seluas 4 hektar Pulongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulsel, yang tidak lagi bisa ditanami setelah diambil secara paksa oleh PTPN yang melibatkan Brimob pada 2015 lalu. Foto: Wahyu Chandra

Selain itu, pola kemitraan yang dikembangkan pihak PTPN dan pemerintah selama ini dinilai rancu karena pemberian lahan kepada masyarakat hanya sebatas hak kelola bukan hak milik dan hanya boleh ditanami tanaman tebu.

“Kalau dilihat secara logika namanya saja yang dikeren-kerenkan sebagai mitra kerjasama padahal sebenarnya mereka jadi pekerja, karena hanya boleh tanam tebu dengan masa kontrak yang tak jelas.”

Menurut Yohannes Pardede, administrator Pabrik Gula Takalar, masalah dengan petani Pulongbangkeng Utara sebenarnya sudah selesai yang difasilitasi oleh Bupati Takalar, dimana pada tahun 2015 lalu telah ada kesepakatan yang dibangun berupa kerjasama antara Pemda Takalar dengan PTPN. Pemerintah dalam hal diwakili oleh Koperasi Cinta Damai Sejahera

“Sudah ada namanya Serikat Tani Pulongbangkeng yang kemudian berubah namanya menjadi Koperasi Cinta Damai Sejahtera, ya biar mereka bergabung ke situ saja gitu. Itu sudah ada kesepakatan Bupati Takalar dengan perusahaan. Sudah tak ada masalah sebenarnya. Saya juga kaget ada ini. Saya akan mempertanyakan ke bupati kok ada lagi seperti ini,” tambahnya.

Menurut Andi Yagkin Padjalangi, Ketua Komisi A DPRD, pihaknya akan berupaya menjembatani masalah ini dengan meminta kepada Gubernur untuk menyurati Bupati Takalar, sehingga akan ditindaklanjuti oleh Bupati Takalar.

“Hanya saja kami minta agar tindaklanjut masalah ini nanti diselesaikan setelah Pilkada di Takalar karena takutnya ini akan ditunggangi dengan kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Tapi nantinya follow up dari pertemuan ini saya minta ke gubernur untuk menyurat ke bupati.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,