Liputan Gili Matra : Ancaman Pariwisata Massal terhadap Lingkungan Gili Matra (Bagian 3)

Sejak 2011, Pemerintah Indonesia menjadikan Lombok dan Gili Matra (Gili Meno, Gili Ayer, dan Gili Trawangan) sebagai salah satu dari dua Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) di Nusa Tenggara Barat.

Kawasan Gili Matra sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada 2009.

Tulisan ketiga ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang meliput ke Gili Matra. Liputan untuk melihat dampak pariwisata terhadap kawasan konservasi Gili Matra.

 ***

Matahari belum terlihat di Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Pulau wisata di sisi barat Lombok ini belum sepenuhnya terbangun.

Seorang laki-laki berselimut sarung duduk di pantai menunggu matahari terbit. Di depannya, seorang ibu bermain dengan anaknya di pasir. Ombak hanya berkecipak ringan di dekat Pelabuhan Gili Trawangan, pusat keramaian di pulau ini. Pantai yang sehari-hari riuh itu masih sepi.

Berjarak sekitar 300 meter dari mereka, empat perempuan mancanegara sedang asyik melakukan yoga di atas pasir. Mereka menghadap ke arah pantai sisi timur pulau. Nun jauh di seberang sana, matahari pelan-pelan muncul dari balik anak gunung Rinjani. Cahayanya menyapa pulau paling ramai dibanding dua pulau lainnya, Gili Meno dan Gili Air, ini.

Pelan-pelan, Gili Trawangan terbangun. Di jalan utama, beberapa orang sudah hilir mudik naik sepeda, kendaraan utama di pulau ini. Sebagian lainnya berjalan kaki.

Ketika turis-turis mulai menikmati pagi, Labib pun memulai pekerjaannya sebagai tukang angkut sampah di Gili Trawangan. Tiap hari, sejak pukul 6.30 WITA, dia mulai menyisir jalan utama pulau dari bagian paling selatan. Bekerja sendiri, Labib memindahkan isi tong sampah di kanan kiri jalan ke bak cidomo pada September lalu.

Mengenakan penutup muka dari kaos dan topi, sehingga hanya mata yang terlihat dari wajahnya, Labib menjadi tukang sampah sekaligus menjadi kusir cidomo, kendaraan khas Lombok yang ditarik kuda. Dia sama sekali tidak memilah sampah organik dan anorganik. Hanya mengambil botol-botol plastik dan memasukkannya ke kantong berbeda.

Semua sampah lain dia masukkan ke cidomo. “Nanti ada petugas lain yang memilah sampah,” ujarnya.

Setelah bak cidomo penuh, Labib memacunya ke bagian tengah pulau. Dia melewati jalan-jalan selebar 3 meter di pemukiman Gili Trawangan. Dari tempat paling ramai di sisi timur pulau, dia memacu cidomo di jalan beton sebelum kemudian memasuki daerah lebih kumuh dengan jalan berdebu.

Labib, seorang petugas pengambil sampah mengumpulkan sampah ke cidomo di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Labib, seorang petugas pengambil sampah mengumpulkan sampah ke cidomo di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

Di salah satu lokasi, Labib menurunkan karung berisi botol-botol plastik yang dia kumpulkan secara terpisah. Di tempat itu dia biasa menjualnya. Tiap satu karung beratnya sekitar 10-11 kg. Harga botol bekas itu Rp 300 per kg. “Lumayan untuk tambahan pendapatan tiap hari,” kata Labib.

Dia kembali memacu cidomo pengangkut sampah. Meninggalkan kepulan debu di jalan perkampungan.

Empat pekerja lain menyambut Labib ketika dia tiba di tempat pembuangan sampah di bagian tengah Pulau Gili Trawangan. Mashudin dan Jalaluddin termasuk di antara para tukang sampah tersebut. Mereka menerima sampah yang dibawa Labib maupun tukang angkut lain.

Tugas mereka menurunkan sampah-sampah itu dari cidomo. Dengan menggunakan cangkul dan gancu, Mashudin dan teman-temannya menggaruk sampah dari bak cidomo, menurunkannya ke lautan sampah di tempat tersebut. Mereka memisahkan sampah organik dan non-organik, mengumpulkan sampah-sampah yang bisa didaur ulang, terutama botol-botol kaca.

Tiap hari Mashudin dan tukang sampah lain bekerja hingga sekitar pukul 6 petang dipotong istirahat siang. Dulu, kata Mashudin yang sudah 12 tahun bekerja di tempat pembuangan sampah, mereka bisa selesai bekerja pada pukul 8 pagi. Namun, saat ini sampai Maghrib pun kadang belum selesai. Padahal, sudah ada tujuh petugas pemilah sampah.

“Sampah makin banyak karena makin banyak hotel,” kata Mashudin.

Aroma busuk menyengat dari tempat sampah. Lalat-lalat tak berhenti berterbangan di antara sisa-sisa makanan, tisu, botol beling, dan sampah lainnya. Puluhan sapi asyik memamah sisa-sisa sampah. Mashudin, Jalaluddin, dan pekerja lain bekerja di antara aroma busuk dan asap pembakaran sampah pagi itu. “Seperti tidak habis-habis sampahnya,” Jalaluddin menyahut.

Sampah terus Bertambah

Seiring kian berkembangnya pariwisata di Gili Trawangan, sampah kini menjadi isu pelik. Sebagai pulau kecil, dengan luas hanya sekitar 340 hektar, daya tampung Gili Trawangan agak terbatas. Padahal, di sisi lain, sampah terus bertambah.

(Baca : Ancaman Pariwisata Massal terhadap Lingkungan Gili Matra, Bagian 1)

Penambahan sampah itu seiring dengan terus tumbuhnya berbagai fasilitas wisata seperti hotel, toko, restoran, kafe, dan tentu saja pemukiman. Menurut data Dusun Gili Trawangan, saat ini terdapat 442 usaha pariwisata di pulau tersebut. Paling banyak adalah pondok atau homestay sebanyak 157 usaha. Selain itu ada toko dan kos-kosan (103), bungalow dan hotel kecil (71), hotel kelas menengah (54), vila (44), serta hotel mewah, resort, dan dive shop (13).

Dari segi jumlah penduduk, menurut Kepala Dusun Gili Trawangan, Lukman, saat ini ada 500 kepala keluarga atau sekitar 2.000 jiwa. Adapun jumlah pekerja sekitar 2.000 orang. Mereka yang keluar masuk sekitar 1.000 per hari. Jumlah turis rata-rata sampai 3.000 per hari. Makin banyak kunjungan, makin banyak sampah mereka hasilkan.

Masalahnya, sebagian besar usaha tersebut tidak memiliki pengolahan sampah dari awal. Penginapan Ombak misalnya sama sekali tidak mengolah sampah dari hotel mereka. Sampah dari 12 kamar penginapan ini semuanya langsung dibuang ke tempat sampah untuk kemudian diangkut petugas.

Seorang warga mengambil sampah sampah botol plastik dari tempat sampah di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Seorang warga mengambil sampah sampah botol plastik dari tempat sampah di Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

“Kami cukup bayar uang bulanan ke FMPL (Front Masyarakat Peduli Lingkungan, red) yang akan mengambil sampah,” kata Ishak, pengelola penginapan kecil ini.

Besar kecilnya pembayaran uang pengelolaan sampah ini tergantung besar kecilnya hotel juga. Penginapan kecil semacam Ombak Homestay cukup membayar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu. Namun, hotel besar bisa sampai Rp4 juta – Rp5 juta per bulan. Hotel Samba yang menghasilkan sampah 4-5 karung hitam tiap hari, misalnya, membayar Rp500 ribu per bulan.

Tapi, uang saja tak menyelesaikan masalah sampah. Tanpa ada pengolahan sama sekali, sampah di Gili masih jadi masalah. Ketua Pelaksana Harian FMPL Akmal mengatakan pada musim sepi (low season), jumlah sampah mencapai 12 ton. Pada musim ramai (high season) mencapai 17 ton. “Lebih dari 60 persen berupa sampah organik,” kata Akmal.

Pembongkaran sampah-di TPS Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Pembongkaran sampah-di TPS Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

FMPL sendiri berdiri sejak 1998. Namun baru sejak 2003 mereka memiliki akta notaris sebagai yayasan. Organisasi ini menjadi satu-satunya kelompok yang bertugas mengelola sampah di Gili Trawangan. Kegiatan utama mereka mengambil sampah-sampah dari hotel, vila, bahkan rumah warga untuk dibawa ke tempat pembuangan sampah (TPS). Sesekali mereka juga memberikan pendidikan tentang lingkungan ke anak-anak sekolah.

Saat ini FMPL memiliki 20 staf, di mana 12 staf pengambilan sampah seperti Labib dan 8 staf di tempat pembuangan sampah seperti Mashudin. Mereka yang sepenuhnya menangani semua sampah di pulau ini. Sampah organik hanya mereka bakar. Sampah botol-botol kaca mereka gerus menjadi pasir bahan pembuatan bata.

Belum ada upaya serius untuk mengurangi jumlah sampah dan atau mengolah sampah lebih lanjut. Karena itu, sampah lebih banyak ditumpuk di TPS.

Pemilahan sampah di TPS Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Pemilahan sampah di TPS Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

Menurut Kepala Dusun Gili Trawangan, Lukman, pengelolaan yang belum optimal itu pun melahirkan masalah lain, terbatasnya lahan TPS. Saat ini, luas TPS hanya 40 are. Itu pun statusnya menyewa kepada pihak lain dengan tarif Rp5 juta per bulan. Sampah pun terus menumpuk hingga 1,5 meter. “Luas lahan TPS tidak cukup. Kita perlu minimal 1 hektar agar penanganan sampah bisa lebih baik,” kata Lukman.

Jalan yang kemudian dipilih para petugas adalah membakar sampah, sesuatu yang justru merusak kesehatan pekerja ataupun mengganggu wilayah sekitarnya. “Banyak penginapan dan hotel di sana komplain karena asap pembakaran,” kata Lukman.

Karena itu FMPL ataupun Dusun Gili Trawangan sudah meminta agar Pemerintah Kabupaten Lombok Utara membantu pengelolaan sampah tersebut. Menurut Akmal mereka pernah mencoba membawa sampah-sampah plastik ke luar pulau, tepatnya ke Lombok. “Tapi terkendala kondisi alam seperti ombak yang besar sehingga tidak bisa dibawa keluar,” katanya.

Akmal menambahkan pada akhir September 2016 lalu, Pemkab Lombok Utara baru melakukan peletakan batu pertama pembangunan TPS terpadu di Gili Trawangan untuk mengolah limbah cair dan limbah padat. Dia berharap, pembangunan tempat olah sampah sampai tuntas itu nantinya bisa menjawab terus membludaknya sampah di Gili Trawangan.

(Baca : Ancaman Pariwisata Massal terhadap Lingkungan Gili Matra, Bagian 2)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,