Nilai Sakral Itu Bersemayam di Ladang Orang Iban Sungai Utik

Bermula dari ladang. Bagi orang Iban Sungai Utik, ladang itu simbol kehidupan. Bukan semata pemenuhan kebutuhan pangan. Lebih dari itu, ladang adalah manifestasi budaya leluhur.

Dari situlah, ladang menjadi sangat bermakna. Ada rentetan tata cara yang wajib dilakukan, sebelum proses membuka ladang dilakukan hingga masa panen tiba. Semua sudah termaktub dalam hukum-hukum adat.

Tapi, hari-hari terakhir musim tanam padi, warga Iban Sungai Utik di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat mulai resah. Rasa waswas berkecamuk di benak mereka.

Pemicunya tak lain adalah surat edaran Kepolisian Resor Kapuas Hulu. Sebuah Maklumat Bersama tertanggal 13 Juli 2016 tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun.

Baca: Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam

Berpijak pada Instruksi Presiden Joko Widodo, Maklumat Bersama ini diteken oleh Bupati, Ketua DPRD, Dandim, Kajari, Kapolres, dan Ketua Pengadilan Negeri Kapuas Hulu.

Surat ini sekaligus momok bagi warga Iban Sungai Utik yang umumnya peladang. Puncaknya ketika aparat kepolisian setempat “menjemput” Florentius Rengga untuk bersaksi di Polsek Embaloh Hulu. Pemanggilan warga Sungai Utik ini beririsan dengan kasus kebakaran hutan dan lahan yang diduga melibatkan warga lainnya seperti Ricard, Balon, dan Aminudin.

Beginilah tradisi kegotong-royongan masyarakat Iban Sungai Utik ketika menugal (menanam) padi di ladang yang sudah dibakar. Foto: Andi Fachrizal
Beginilah tradisi kegotong-royongan masyarakat Iban Sungai Utik ketika menugal (menanam) padi di ladang yang sudah dibakar. Foto: Andi Fachrizal

Mereka memang tidak dijebloskan ke penjara. Tetapi, kasus ini telah menciptakan suasana kampung yang tidak kondusif. Bahkan, kejadian tersebut memicu perlawanan masyarakat adat untuk tetap berladang dengan cara bakar. Alasannya, budaya Iban tak boleh redup oleh tekanan apapun.

“Turun-temurun kami berladang dengan cara bakar. Asapnya membawa kabar bahwa ada pemilik yang sedang bekerja. Kami melakukannya dengan tata cara yang jelas. Sesuai norma adat dan budaya leluhur. Prosesnya pun sangat cepat. Hanya berkisar dua jam api sudah padam,” kata Raymundus Remang, Kepala Desa Batu Lintang, dalam sebuah musyawarah adat di atas rumah panjang (betang) Sungai Utik.

Masyarakat adat Iban Sungai Utik membersihkan lahan untuk dijadikan ladang setelah sebelumnya bermusyawarah secara adat. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat adat Iban Sungai Utik membersihkan lahan untuk dijadikan ladang setelah sebelumnya bermusyawarah secara adat. Foto: Andi Fachrizal

Maklumat

Malam itu, Jumat (30/9/2016), suasana rumah yang dihuni 326 jiwa atau 91 keluarga ini terlihat takzim. Di bawah penerang lampu bertenaga surya, warga berkumpul di selasar rumah sepanjang 218 meter.

Di sana ada Bandi, Tuai (kepala) Rumah Panjang. Tokoh adat ini akrab disapa Apay Janggut. Dia didampingi Kepala Desa Batu Lintang dan sejumlah tokoh masyarakat serta tokoh muda setempat.

Musyawarah membahas soal Maklumat Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun dari pemerintah. Warga menolak keras maklumat itu. Sama seperti mereka menolak dituding sebagai pembakar hutan yang memicu bencana asap.

“Saya kira ini harus diluruskan. Tidak ada warga Iban Sungai Utik yang berani bakar hutan. Sanksi adatnya sangat berat. Kami hanya bakar ladang. Tak boleh disamaratakan dengan mereka yang bakar kebun dalam jumlah yang luas. Kami hanya mau hidup dalam komunitas budaya yang kami anut,” ujar Remang dengan suara terbata.

Baca juga: Hutan Adat itu Supermarketnya Orang Iban Sungai Utik

Sesekali pria 51 tahun itu menghela nafas. Dia hanya berharap pemerintah pusat lebih bijak dalam mengeluarkan aturan. Pemerintah pusat harus melihat bahwa ada komunitas masyarakat adat di pedalaman Kalimantan Barat yang sudah turun-temurun hidup harmonis dengan hutan dan sungai.

Ketika proses pembersihan lahan selesai, masyarakat adat akan membuat sekat api sebelum dibakar untuk menjaga kemungkinan api menjalar ke tempat lain. Foto: Andi Fachrizal
Ketika proses pembersihan lahan selesai, masyarakat adat akan membuat sekat api sebelum dibakar untuk menjaga kemungkinan api menjalar ke tempat lain. Foto: Andi Fachrizal

Pernyataan Raymundus Remang ini diperkuat Apay Janggut. Dengan suara datar, dia bergumam: “Kami sangat menghargai tanah, hutan, dan menaruh hormat pada sungai. Kami sudah terikat oleh garis hidup yang tak bisa dipisahkan. Dan, budaya kami adalah simbol penghormatan terhadap alam. Tidak mungkin kami rusak,” katanya.

Apay Janggut, tokoh berperawakan khas di komunitas Iban Sungai Utik ini turut mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi dan minta segera dicabut. “Tidak boleh lagi ada warga yang dipanggil polisi gara-gara bakar ladang,” tegasnya.

Masyarakat memanfaatkan tumbuhan lokal seperti bambu untuk dijadikan alat pemadam kebakaran. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat memanfaatkan tumbuhan lokal seperti bambu untuk dijadikan alat pemadam kebakaran. Foto: Andi Fachrizal

Adat yang terusik

Sabtu (1/10/2016), matahari baru saja terbit dari Timur ketika Apay Janggut turun dari rumah panjang. Tokoh adat ini diikuti puluhan warga lainnya. Dia ingin menunjukkan cara orang Iban berladang. Langkah kakinya terlihat masih kokoh, meski usia sudah menggerogoti.

Tidak begitu jauh dari kampung, Apay Janggut menghentikan langkahnya. Melalui serangkaian ritual, dia tunjukkan cara orang Iban membuka lahan untuk dijadikan ladang.

Mulai dari ritual, pembersihan, pembuatan sekat api, persiapan alat pemadam dari bambu, hingga pembakaran. Melalui pola tradisional ini, pembakaran lahan dijamin tidak akan menjalar. Mereka juga melihat arah angin dan menjaga hingga api benar-benar padam.

Tokoh muda Iban Sungai Utik, Herkulanus Sutomo menilai sangat penting bagi semua pihak untuk mencermati esensi dari rintai pengawa bumai betaun (siklus berladang). “Pemerintah harus tahu supaya tidak keliru dalam membuat berbagai aturan atau kebijakan,” katanya.

Beginilah kondisi hutan adat Sungai Utik yang dijaga sangat ketat oleh masyarakat adat Iban, Kapuas Hulu. Foto: Andi Fachrizal
Beginilah kondisi hutan adat Sungai Utik yang dijaga sangat ketat oleh masyarakat adat Iban, Kapuas Hulu. Foto: Andi Fachrizal

Berladang, kata Sutomo, ada dalam satu rentetan yang penuh dengan nilai adat dan budaya. Mulai dari Ngerunsur Aek atau mengusir penyakit dan hama hingga Gawai Taun atau pesta panen. “Setahu saya ada 25 tahapan ritual adat yang dilakukan warga dalam siklus berladang,” katanya.

Menurutnya, inilah kekayaan budaya yang tidak ternilai dan masih dilakukan hingga sekarang. Ritual adat itu dimaksudkan untuk memohon izin kepada yang mahakuasa agar apa yang akan dilakukan selalu mendapat berkat dan perlindungan.

Ketua Badan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kapuas Hulu, Dominikus Uyub menilai, tidak ada yang salah jika masyarakat adat membakar ladang. “Aturannya kan jelas. Selain hukum adat, ada regulasi yang mangatur semua itu,” katanya.

Dia mencontohkan, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga mengatur soal itu. Bahwa, membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing.

Pintu gerbang Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
Pintu gerbang Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Di Sungai Utik, kata Uyub, semua tahapan berladang itu dilakukan melalui landasan nilai-nilai tradisional. “Luas ladang mereka yang dibakar per kepala keluarga itu tak cukup sehektar. Di dalamnya ditanami varietas lokal. Mulai dari terong, jagung, dan padi lokal,” cetusnya.

Jika itu yang dilakukan warga, sambung Uyub, kenapa harus ada pemanggilan polisi untuk sebuah kasus kebakaran hutan dan lahan. “Tidak ada alasan pemerintah untuk melarang masyarakat adat berladang dengan cara bakar tanpa memberikan solusi yang tepat,” katanya.

Ketua Forum Ketemenggungan Kapuas Hulu, Lambertus Batok mengamini pernyataan Uyub. Menurutnya, maklumat bersama pemerintah dan instansi vertikal dengan melarang warga membakar ladang, secara tidak langsung telah mencederai perasaan masyarakat adat.

Dalam pandangan Batok, kebijakan itu sudah keliru karena tidak berpihak pada masyarakat. Sejatinya, pemerintah tidak boleh bertindak asal melarang saja, tanpa melihat nilai-nilai lokal yang sudah dianut warga secara turun temurun.

“Janganlah buat kegaduhan di tengah kehidupan masyarakat adat. Mereka sudah teruji dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan alam, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini lahir,” jelas Batok.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,