Orang Rimba Terusir, Kementerian LHK Tegur PT Wana Perintis

Perusahaan HTI, PT Wana Perintis,  melanggar kesepakatan tahun lalu, bahwa lahan 114 hektar merupakan wilayah Orang Rimba. KLHK menegur langsung perusahaan dan menegaskan lahan itu memang wilayah jelajah Orang Rimba. Besok akan dilakukan pertemuan warga dan perusahaan, difasilitasi Pemerintah Jambi.  

Orang Rimba terus mengalami nasib menyedihkan. Kali ini,  mereka terusir dan terintimidasi dari wilayah hidup mereka, di kebun karet PT Wana Perintis, di Terap,  Kecamatan Bathin XXIV,  Kabupaten Batanghari, Jambi.

Kawasan ini dihuni 169 keluarga Orang Rimba. Menurut Tumenggung Ngamal, wilayah itu dulu hutan Orang Rimba, merupakan tanah peranoon (tanah tempat melahirkan), tanah pusaron (tanah kuburan) dan tempat bebalai (pernikahan).

Terpenting, katanya, hutan ini sumber kehidupan Orang Rimba yang menyediakan hewan buruan dan berbagai tumbuhan buah serta hasil hutan lain.

Baca juga: Nasib Orang Rimba, Baru Terusir dari Kebun Sawit, Kini Terancam di Konsesi HTI

Pada 2010, hutan di bawah penguasaan empat Tumenggung yaitu Tumenggung Nyenong, Ngamal, Menyurau dan Ngirang, ini beralih menjadi kebun karet.

“Kinia kami hopi bisa keluar, jalanlah ditutup sama orang pete, ada adu jonder yang menghalang jalan. Kami bisa sampai di Jambi setelah keluar masuk kebun karena menghindari jalan yang biasa kami lewati,” kata Menti Ngelembo, penghulu adat Orang Rimba yang datang ke Jambi mencari bantuan bersama Tumenggung Menyurau, Ngamal. Mereka datang bersama Anak Dalam Bepalang dan sejumlah Orang Rimba lain.

Mereka ke Jambi mengadukan masalah ke Rajo Godong (Gubernur Jambi). Tekanan yang mereka alami sudah sangat berat.

“Kami hopi bisa nak bawa hasil hutan kami keluar.  Kami hopi basa bawa anak bini kami yang sakit berobat ke Puskesmas,” kata Ngamal.

Dia bilang, keadaan makin memburuk sejak Sabtu pekan lalu, ketika mereka diusir, diminta meninggalkan kebun– sejak tahun lalu mereka kelola. Rumah-rumah Orang Rimba dalam kebun karet dirobohkan perusahaan.

“Orang tu pasang ling ke pondok kami, sudah tunye tariklah pakai jonder langsung rubuh rumah kami,” cerita Ngamal.

Bahkan, shelter yang dibangun TNI di Terap–selama ini sebagai rumah singgah untuk layanan kesehatan dan pendidikan Orang Rimba kelompok ini—tak lagi ditempati. “Kami diusir dari rumah iyoi, sudah kosong, hopi adu bebudak bepelajoron di sio.”

Dia berharap, pemerintah turun tangan memberikan kepastian wilayah bagi Orang Rimba.

Perusahaan, katanya, harus patuh kesepakatan yang dibuat tahun lalu, bahwa Orang Rimba, berhak atas lahan 114 hektar di Wana Perintis. Ini bentuk ganti rugi dari hutan mereka sudah hancur oleh perusahaan.

Konflik lahan melibatkan Orang Rimba di kawasan ini berlangsung cukup lama. Berawal,  ketika kawasan hutan menjadi HTI Wana Perintis tahun 1996. Pertama-tama, tak terlihat aktivitas mencolok di wilayah ini, baru pada 2010, dalam operasi perusahaan menggandeng Family Raya Group, untuk land clearing, mengganti hutan dengan kebun karet.

Orang Rimba, tak tinggal diam, berbagai upaya mereka lakukan untuk mempertahankan wilayah meskipun, lagi-lagi mereka tersingkir. Hanya tersisa spot-spot hutan yang menjadi tanah pusaron (kuburan) Orang Rimba.

Orang Rimba tak terima. Mereka kini sulit cari pasokan makanan. Merekapun menuntut ganti rugi lahan seluas 114 hektar dari 7.000 konsesi Wana Perintis. Sesuai aturan, ada skema kemitraan bisa diterapkan untuk menuntaskan konflik ini.

Kasus Orang Rimba, wilayah ini pernah jadi perhatian pemerintah pusat atas kasus kematian beruntun pada 2015. Kala itu, KLHK dan Kementerian Sosial menegaskan perlu, memberikan ruang hidup dan sumber penghidupan bagi Orang Rimba.

Sejumlah pertemuan digelar. Orang Rimba menuntut pengesahan 114 hektar kebun. Kepastian ini, disampaikan dalam rapat di aula rumah Bupati Batanghari dipimpin langsung Dirjen Perhutanan Lestari KLHK, Dirjen Sosial Kemensos, Bupati Batanghari, Kadis Kehutanan Jambi, perwakilan perusahaan, Orang Rimba dan Warsi pada 25 Maret 2015.

Sejak itu, Orang Rimba mulai mengelola dan tinggal di kawasan itu. Belakangan,  ketika karet mau sadap, perusahaan kembali berulah dengan mengusir Orang Rimba dari lokasi dan meintimidasi. Perusahaan melanggar kesepakatan rapat.

“Kami menyesalkan perusahaan bersikap arogan dan intimidasi Orang Rimba, harusnya sesuai program pemerintah reforma agraria dan menyelesaikan konflik lahan terutama menyangkut masyarakat adat, pemerintah harus lebih tegas dan mendukung komunitas adat,” kata Robert Aritonang Antropolog Warsi.

Penyelesaian konflik, katanya, harus mulai dari persoalan menyangkut masyarakat adat yang paling termarginal. “Negara harus hadir untuk mereka. Mereka sangat lemah hingga mudah diintimidasi dan diusir. Negaralah yang bisa membela mereka.”

 

Shelter yang dibangun TNI dulu, kini kosong karena warga terusir. Foto: Elviza Diana
Shelter yang dibangun TNI dulu, kini kosong karena warga terusir. Foto: Elviza Diana

 

 

Pemerintah janji cari solusi

Setelah negosiasi cukup panjang, akhirnya delapan orang perwakilan Orang Rimba diterima Gubernur Jambi Zumi Zola. Ngelembo singkat menjelaskan, persoalan mereka.

Gubernur berjanji menindaklanjuti dan mencarikan solusi secepatnya. “Saya ada untuk kepentingan masyarakat, sepanjang itu sesuai UU dan peraturan. Lahan yang sudah diberikan kepada Suku Anak Dalam akan diperjuangkan,” ucap  Zola.

Dia menyayangkan tindak kekerasan dan intimidasi perusahaan pada Orang Rimba. Menurut dia, semua orang termasuk Orang Rimba berhak hidup aman.

Zola akan membicarakan lebih lanjut dengan bupati dan KLHK serta pihak terkait lain untuk melindungi hak-hak Orang Rimba.

Irmansyarh Rachman Kepala Dinas Kehutanan Jambi mengaku tak tahu menahu pengusiran Orang Rimba. Sejak pertemuan KLHK yang tak dihadiri perwakilan Orang Rimba dan Warsi, laporan perusahaan, Orang Rimba meninggalkan lahan 114 hektar.

“Informasi kita terima tak ada perusahaan mengusir. Orang Rimba yang meninggalkan lokasi. Hingga mereka pembersihan karena lokasi ditumbuhi semak,” katanya.

Irmansyah menyebutkan bilang, konflik lahan 114 hektar sudah ditangani Dirjen PSKL KLHK. Jadi, untuk penyelesaian kasus, katanya, akan berkoordinasi dengan KLHK.

Pada Kamis (13/10/16), Orang Rimba didampingi Warsi mendatangi KLHK diterima Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Mereka mengadukan perihal pengusiran ini. Di sana juga hadir Direktur Wana Perintis.

Dalam pertemuan itu, menghasilkan kesepakatan perusahaan tak akan mengusir dan mengintimidasi warga. Perusahaan akan menjamin itu.

Dirut Wana Perintis, Nurhasan menjamin keamanan Orang Rimba di lingkungan perusahaan. Dalam pertemuan itu,  juga dibahas lahan 114 hektar untuk Orang Rimba.

Perusahaan sepakat memberikan lahan kepada Orang Rimba dengan catatan hasil karet dijual kepada perusahaan. “Mekanisme akan dibahas di pertemuan besok, difasilitasi Dinas Kehutanan Jambi.”

Di lapangan,  Orang Rimba, masih terintimidasi. Mereka ketakutan. Sampai sekarang orang desa atau preman bayaran beserta warga yang menjadi karyawan perusahaan sekitar 30 orang masih ada di kebun 114 hektar. Kesepakatan, sepertinya belum dijalankan perusahaan.

Menti Nelembo, tetua adat mengatakan, mereka bahkan dilarang perusahaan keluar kawasan, padahal akan menghadiri pertemuan besok. “Tindakan ini melanggar HAM,” kata Robert.

Menteri LHK, Siti Nurbaya mengatakan, KLHK sudah melayangkan teguran kepada perusahaan.  Senada dikatakan Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono.

“Sudah kita tegor. Hari ini, lisan langsung kepada perusahaan. Mereka juga besok hadir dalam pertemuan,” katanya di Jakarta, Senin (16/10/16).

Dia mengatakan, perusahaan juga sudah sepakat karena wilayah itu area jelajah Orang Rimba, memang harus prioritas buat mereka. “Kita sudah fasilitasi.”

Mereka masih takut? “Sudah aman, kita jamin,” ucap Bambang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,