Tergusur Perusahaan, Konflik Lahan Petani Tulang Bawang Berlarut-larut

Pendeta Sugianto, seorang aktivis tani. Dia mendampingi petani yang tergusur perusahaan tebu di Lampung. Kala sedang di Jakarta, berusaha minta bantuan penyelesaian konflik lahan warga, Sugianto malah ditangkap polisi dengan tudingan terkait amuk massa petani di posko penjagaan perusahaan.

Tengah malam itu, 12 Oktober 2016, kepolisian Tulang Bawang, Lampung menangkap Sugianto di Kantor Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Mampang Prapatan IV, Jakarta Selatan.

Sehari sebelumnya Sugianto bersama anaknya, Kresna dan tiga petani dari Banjar Margo, Tulang Bawang, mendatangi kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Kresna mengatakan, mereka ke Jakarta, minta bantuan penyelesaian konflik lahan, antara petani tergabung Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB) dan PT. Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL).

Usai makan malam, pukul 19.30, kedua petani dampingan Sugianto meminta pulang ke Tulang Bawang. Sugianto, dan Kresna dan satu petani menginap di KPRI.

Di KPRI, sekretariat ramai, ada rapat. Kresna pamit ke kontrakan, Sugianto bersama rekan naik ke lantai II. Sekitar pukul 22.00, polisi berdatangan ke sekretariat KPRI.

Pukul 12.30, sekitar 15 penyidik Polres Tulang Bawang membawa surat penangkapan. Saat itu, Sugianto sedang tidur. Seorang petani tak ikut ditangkap.

“Bapak ditangkap polisi dari Tulang Bawang. Dibawa ke Mabes Polri, dan dibawa ke Tulang Bawang,” kata Kresna ketika dihubungi Mongabay, Sabtu, (15/10/16).

Kala ditangkap beberapa orang menjadi saksi, yakni Sastro, Dadan, Deni, Irwan, Yayan, Rozi. Sekitar pukul 02.30, polisi kembali datangi KPRI. Mereka mengambil barang milik Sugianto, berupa tas berisi laptop dan dua telepon genggam.

Alian Setiadi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, kuasa hukum petani, mengatakan, Polres Tulang Bawang mengkriminalisasi enam petani dan seorang pendamping tani dari Banjar Margo, Tulang Bawang.

Enam petani itu, yakni Hasanudin, Sujarno, Juanda, Rajiman, Sukirji, Toekiman dan pendamping aktivis petani, Sugianto.

“Mereka ada di tahanan Polres Tulang Bawang. Kami meminta penangguhan penahanan,” katanya.

Alasan polisi menangkap, atas tuduhan kerusuhan pada 2 Oktober 2016.

Kejadian bermula ketika sekitar 2.500-an petani menduduki lahan mereka yang diklaim BNIL pada 8 September 2016.

Petani membuat tenda-tenda di tengah perkebunan dan meminta pemerintah segera bertindak mengembalikan tanah warga.

Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mengecam polisi atas penangkapan aktivis dan petani di Tulang Bawang.

“Sugiyanto bukan penghasut petani seperti dituduhkan polisi.

Polisi seharusnya melindungi masyarakat bukan menangkap masyarakat yang memperjuangkan hak,” katanya kepada Mongabay.

Konflik lahan di Tulang Bawang, mulai 1986 dan 1988. Saat itu, tanah atau hunian tujuh desa diberikan Gubernur Lampung kepada tiga anak perusahaan Sungai Budi Group. Salah satu anak perusahaan itu, BNIL.

Pada 1991, BNIL dibantu Bakorstanasda–Korem 043 Garuda Hitam mengosongkan areal tujuh desa secara paksa dan kekerasan. Masalah tak selesai dengan pengusiran, Menteri Dalam Negeri membuat kebijakan penyelesaian masalah dengan menyertakan korban penggusuran dalam program transmigrasi swakarsa.

Di program ini,  setiap korban mendapatkan ganti tanah seluas dua hektar dengan perincian: seperempat hektar untuk pekarangan, tiga per empat hektar lahan pangan dan satu hektar usaha wajib plasma BNIL.

Berdasarkan kebijakan Mendagri, Gubernur Lampung menerbitkan izin lokasi BNIL seluas 6.600 hektar dengan perincian, 5.100 hektar lahan inti dan 1.500 hektar plasma. Tanpa diketahui motivasi, BNIL dibantu aparat Bakorstanda– Korem 043 Garuda Hitam memaksa warga menandatangani blanko kosong dan memberikan uang Rp100.000 bagi yang tanda tangan.

Akhirnya, warga mengetahui, blanko kosong itu Berita Acara Penyerahan Lahan (plasma) dan ganti rugi. Artinya, masyarakat kehilangan lahan plasma satu hektar diganti uang Rp100.000.

Berdasarkan Berita Acara ini, berisi pengajuan permohonan kepada Gubernur Lampung mengubah status lahan plasma menjadi inti. Gubernur Lampung meluluskan permohonan BNIL. Perusahaanpun memiliki lahan inti 6.600 hektar.

“Berdasarkan izin Lokasi yang dimiliki, BNIL mendapatkan sertifikat HGU dari BPN seluas 6.474,85 hektar,” katanya.

Iwan mengatakan, masyarakat memperjuangkan hak mereka. Faktanya, tak semua korban gusuran dari tujuh desa mendapatkan pekarangan, dan lahan pangan. Mereka merasa masih berhak atas lahan plasma satu hektar itu.

Perjuangan petani sudah 25 tahun. Pemerintah tak pernah menanggapi serius tuntutan petani. Pemerintah, katanya,  selalu meminta petani tak anarkis, sabar dan sedang proses.

Catatan KPA, sejak 1991,  delapan nyawa melayang, baik warga gusuran maupun pam swakarsa bentukan BNIL. Kekerasan terus berlangsung, pemerintah diam saja.

“Akibat penggusuran dan perampasan tanah, korban gusuran hidup miskin,” ucap Iwan.

Warga sudah lapor Komnas HAM. Bahkan, Komnas HAM, pada 29 September 2016, mengundang para pihak di Hotel Horison, Bandar Lampung untuk mediasi. Gubernur Lampung dan BNIL tak hadir.

Pertemuan hanya menghasilkan imbauan. Waktu bersamaan, Kapolda Lampung mengundang Gubernur Lampung, Bupati Tulang Bawang, Kejaksaan Tinggi, membahas langkah-langkah penyelesaian konflik BNIL.

“Pertemuan diselenggarakan Kapolda menghasilkan kesepakatan membentuk satgas yang dikendalikan Gubernur Lampung.”

Satgas bentukan Gubernur ini, koridor penyelesaian dengan istilah win-win solution, tak ada pencabutan HGU.

Ilustrasi. Perusahaan tebu datang, lahan tani warga Tulang Bawang ini hilang. Foto: Sapariah Saturi
Ilustrasi. Perusahaan tebu datang, lahan tani warga Tulang Bawang ini hilang. Foto: Sapariah Saturi

 

 

Kekerasan kepada petani

Pada 1 Oktober 2016, pukul 08.30, tenda massa STKGB sepi. Anggota meninggalkan tenda. Yang berjaga antara komplek tenda massa STKGB dengan tenda pam swakarsa kosong. Hanya ada Komang.

Tiba-tiba muncul tiga orang pam swakarsa, masuk  tenda massa STKGB.

“Mereka hanya sedikit. Kita saja mampu,” begitu ucapan seorang pengaman perusahaan seraya menelpon seseorang.

Setelah itu tiga orang pam swakarsa memberi tanda, memanggil pasukan yang siap di belakang mereka untuk maju.

Melihat pergerakan itu, seorang di tenda memberitahu massa STKGB.

Massa STKGB memukul kentongan. Mereka berteriak.  “Pam menyerang……”

Tak lama, massa STKGB berkumpul, langsung menghadang pam swakarsa yang bergerak maju. Jumlah lebih sedikit.

Massa berhadap-hadapan. Saling memaki. Saling mengejek dan pamer kesaktian. Belum terjadi bentrok.

Massa STKGB makin banyak. Kentongan dan pengumuman di masjid membuat massa STKGB di rumah segera ke lokasi pendudukan.

Seorang pam swakarsa memamerkan kesaktian dengan membacok-bacokkan golok di dada dan lengan. Ini memancing kemarahan massa STKGB. Didahului letusan senapan gejluk, massa STKGB menyerang pasukan pam swakarsa yang bersenjata.

Pam swakarsa melarikan diri. Massa STKGB mengejar sampai perkemahan mereka. Tak ada polisi. Hanya lima anggota TNI yang mencoba mencegah kemarahan massa, namun tak berhasil.

Massa marah. Mereka merusak, membakar semua barang yang diduga milik pam swakarsa. Ada 39 sepeda motor rusak, 15 dibakar, satu traktor dibakar, satu mobil BNIL sebagai pengirim logistik dirusak. Sekitar pukul 10.00, massa STKGB meninggalkan area pam swakarsa.

Pada 2 September 2016, puku 8.00 pagi, massa STKGB dapat informasi pam swakarsa akan menyerang. Mereka pukul kentongan. Pengumuman lewat mesjid. Serangan tak ada.

Sekitar pukul 9.00 pagi helikorpter Kapolda Lampung mendarat di base camp BNIL. Pukul 13.00 pasukan Brimob datang ke lokasi, lengkap dengan gas air mata, senapan laras panjang dan kawat berduri.

Hingga pukul 17.00, pasukan Brimob melakukan pengusiran. Massa STKGB melawan. Mereka menduduki tanah, tanpa senjata apapun. Pukul 18.00,  massa STKGB berhasil dihalau. Pimpinan STKGB, Sujarno, ditangkap.

Seorang pimpinan STKGB sempat menyampaikan kepada Kapolres Tulang Bawang bahwa keadaan ini bisa menjadi kerusuhan. Kapolres tak memberikan tanggapan, malah lanjut pengusiran.

Pukul 18.30, warga memblokir Jalan Lintas Timur. Mereka berdiri di badan jalan, menebang kayu dan membakar ban bekas. Satu mobil tronton di parkir melintang. Bis Kramat Jati di parkir melintang. Kunci mobil diambil massa.

Brimob menembakkan gas air mata, menembaki warga, mengejar, menyisir dan menangkap.  Kepala seorang warga kena tabung gas air mata. Seorang bayi kena gas air mata.

Pengejaran ke rumah-rumah penduduk. Massa STKGB bersembunyi di ladang-ladang, 12 orang ditangkap.

Dari 3-8 Oktober 2016,  polisi masih mengejar beberapa pimpinan STKGB. Tiga Oktober, pukul 20.00, polisi menjebol pintu rumah warga di RK IV, Bujuk Agung. Polisi mengira di rumah itu bersembunyi pimpinan STKGB.

Jumlah polisi di Desa Bujuk Agung dan Agung Jaya makin banyak. Masyarakat ketakutan dan bersembunyi di kebun karet. Mereka membuat tenda. Tenda-tenda persembunyian yang ditemukan polisi diobrak-abrik.

Mongabay, berusaha menghubungi Kapolres Tulang Bawang, namun tak ada respon.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,