Di Hutan Kehje Sewen, Lima Individu Orangutan Ini Dilepasliarkan

Ada yang berbeda di Kantor Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Selasa (18/10/2016). Pelataran kantor yang beralamat di Jalan Gajah Mada, Samarinda, itu tiba-tiba ramai kedatangan tamu khusus. Mereka adalah Ken, Saprol, Rafli, J-Lo dan Jamur, lima orangutan yang akan dilepasliarkan di hutan belantara Kehje Sewen, Kutai Timur dan Kutai Kartanegara.

Kelimanya duduk diam di kandang masing-masing. Ada empat mobil bak terbuka bertuliskan “Orangutan Warrior” yang membawa mereka dari Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival Foundation) di Samboja Kutai Kartanegara ke lokasi pelepasan, nantinya.

Kedatangan mereka sudah ditunggu Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Di depan pintu masuk, Awang melambai ke arah lima orangutan tersebut. Seakan mengerti lambaian, kelima orangutan itu balas mengintip dari bilik kandangnya.

Dihadapan tamu yang datang, CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite mengatakan, dari 2012 hingga 2016, BOSF menargetkan pelepasliaran sebanyak 250 orangutan. “Untuk pelepasan kali ini, sebenarnya hanya empat. Namun, ada tambahan satu orangutan yang pernah dipulangkan karena gagal hidup di habitatnya walau sudah mengikuti sekolah alam orangutan di BOSF.”

Dari lima orangutan tersebut, rentang usianya 10 – 26 tahun. Semuanya telah melewati proses rehabilitasi yang rata-rata 7 sampai 8 tahun. “Ketika ada orangutan yang lulus namun tidak ada hutan yang bisa dipakai untuk pelepasan, orangutan itu terpaksa masuk kandang lagi.”

Dijelaskan Jamartin, pusat rehabilitasi orangutan di Samboja Lestasi biasa disebut sebagai sekolah alam. Orangutan korban konflik dengan manusia, direhabilitasi dan dilatih untuk kembali ke habitatnya. Mereka sekolah dan diajarkan oleh guru serta pengasuhnya. Mereka belajar memanjat, menggelantung, dan melawan jika terdesak.

Pelepasliaran merupakan akhir dari proses penyelamatan dan rehabilitasi yang selanjutnya dipantau perkembangannya oleh tim khusus. “Kita berharap, orangutan yang kembali ke hutan ini akan membentuk populasi liar baru di kawasan Hutan Kehje Sewen. Termasuk Ken, satu orangutan yang pernah gagal adaptasi.”

Hingga akhir 2016, BOSF masih melepasliarkan 16 orangutan lagi. “Meski sudah mencapai target, kami masih kedatangan orangutan lagi. Ada 200 orangutan yang sudah antri sekolah,” ujarnya.

J-Lo yang siap kembali ke rumah aslinya, hutan. Foto: BOSF
J-Lo yang siap kembali ke rumah aslinya, hutan. Foto: BOSF

Habitat

Jamartin menjelaskan, BOSF tengah menghadapi masalah serius. Sekitar 30 hektare hutan kelola BOSF di Samboja Lestari yang terbakar 2015, kini ditanami warga sekitar untuk perkebunan. Padahal, hutan itu tengah ditanam ulang untuk kegiatan sekolah bayi-bayi orangutan. Namun, progres penanaman terganjal tumpang tindih lahan dengan areal transmigrasi Desa Tani Bhakti Samboja dan kawasan hutan adat. “Padahal, areal hutan kerja BOSF, semuanya kami beli sendiri. Dibuktikan dengan surat-surat resmi yang terdaftar di Pemda Kutai Kartanegara.”

Jamartin menegaskan, BOSF butuh dukungan dan komitmen pemerintah pusat dan daerah. Tidak hanya untuk menyediakan habitat layak, namun juga memperkuat penegakan hukum atas tindakan perusakan habitat, sebagaimana yang terjadi sekarang. “Kita semua harus berperan aktif demi terjaminnya kelestarian orangutan dan habitatnya.”

Habitat yang menyempit merupakan masalah utama orangutan. Mereka yang kehilangan tempat tinggal, terpaksa mencari pakan di kebun warga. Ini yang menjadikan konflik orangutan dengan masyarakat tak jarang berujung kematian. “Orangutan butuh area untuk tetap bertahan hidup. Jika satu hektare saja hilang, kita akan kesulitan untuk menyejahterakan nasibnya.”

Sebelum dilepasliarkan, orangutan direhabilitasi terlebih dahulu yang lamanya bisa mencapai 7 tahun. Foto: BOSF
Sebelum dilepasliarkan, orangutan direhabilitasi terlebih dahulu yang lamanya bisa mencapai 7 tahun. Foto: BOSF

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Sunandar Trigunajasa mengatakan, masalah korservasi satwa dan habitatnya merupakan tanggung jawab bersama: pemerintah daerah, masyarakat, swasta, maupun organisasi masyarakat.

“BKSDA Kaltim menyambut baik kerja sama yang selama ini terjalin baik. Tidak hanya dengan Yayasan BOS, namun juga dengan lembaga konservasi lain. Mari bekerja lebih giat untuk melestarikan alam kita yang kaya,” ujarnya.

Senada, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, melepasliarkan orangutan kembali ke habitat alaminya merupakan kegiatan sangat bermanfaat. “Saya mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian hutan untuk mengurangi dampak pemanasan global. Orangutan membantu menjaga kualitas hutan dengan kebiasaannya menebar biji.”

Awang menuturkan pihaknya mendukung penuh upaya pelepasliaran tersebut. “Harapannya, orangutan yang hidup di Kehje Sewen ini nantinya berkembang menjadi populasi liar yang mandiri dan berkelanjutan.”

Perjalanan menuju Hutan Kehje Sewen, yang merupakan hutan alami dan ideal untuk kehidupan orangutan yang dilepasliarkan. Foto: BOSF
Perjalanan menuju Hutan Kehje Sewen, yang merupakan hutan alami dan ideal untuk kehidupan orangutan yang dilepasliarkan. Foto: BOSF

Rumah asli

Untuk menuju kebebasannya, lima orangutan (tiga jantan dan dua betina) ini akan menempuh perjalanan darat dari Samboja Lestari ke Muara Wahau, ibu kota Kecamatan di Kabupaten Kutai Timur. Perjalanan ini butuh waktu 12 jam yang  setiap 2 jam rombongan akan berhenti, memeriksa kondisi orangutan.

Dari Muara Wahau, perjalanan dilanjutkan 5 jam sampai akhirnya ke titik awal di Hutan Kehje Sewen. Tidak berhenti, perjalanan dilanjutkan menyebrangi Sungai Telen. Kandang transport yang berisi orangutan akan diseberangkan menggunakan perahu ces.

Hutan Kehje Sewen merupakan lahan konsesi PT. RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia) yang didirikan oleh Yayasan BOS, 21 April 2009. Tujuannya spesifik,  mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) bagi pelepasliaran orangutan. Kehje Sewen diadopsi dari bahasa Dayak Wehea yang berarti orangutan.

18 Agustus 2010, RHOI mendapatkan IUPHHK-RE tersebut dari Kementerian Kehutanan yang sekarang bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk hutan seluas 86,450 hektar di Kabupaten Kutai Timur dan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Izin konsesi yang berlaku 60 tahun dengan perpanjangan 35 tahun itu, memang menyediakan habitat layak hidup dan perlindungan bagi orangutan. Dana untuk membayar perizinan sebesar 1,4 juta Dollar Amerika diperolah dari para donor asal Eropa dan Australia.

“Dipilihnya Hutan Kehje Sewen, karena daerah tersebut belum terjamah manusia. Di sana dipastikan, orangutan tidak terganggu. Mereka akan hidup dan membuat populasi baru di rumah aslinya, hutan belantara,” ujar Jamartin.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,