Penting Dilakukan, Restorasi Mangrove Sebaiknya Melibatkan Berbagai Pihak

Indonesia merupakan negara dengan ekosistem mangrove yang luas. Dari total luasan mangrove dunia yang mencapai 16.530.000 hektare, sekitar 3.741.533,35 hektare (tahun 2010) merupakan luasan mangrove Indonesia. Namun begitu, sekitar 1.085.044,672 hektare mangrove di Nusantara ini rusak.

Direktur Program Kehati, Teguh Triono menuturkan, seringkali program pembangunan mengorbankan mangrove. Padahal, dengan pengaturan zonasi, pembangunan yang dilakukan dapat menyisakan tempat-tempat yang secara ekosistem bagus untuk mangrove,” ujarnya pada workshop mengenai mangrove di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, pertengahan Oktober 2016.

Restorasi menjadi salah satu cara untuk mengembalikan kondisi hutan mangrove yang rusak agar pulih. Pemanfaatannya juga harus melibatkan masyarakat, sehingga akan ada rasa memiliki dan menjaga. “Manfaat signifikan dari sektor perikanan yang bertambah setelah mangrovenya tumbuh baik, dan juga dari ekowisata. Masyarakat dapat membuat pewarna alami dari mangrove yang nilainya cukup mahal.”

Teguh menjelaskan, keterlibatan masyarakat untuk menyusun kembali rancangan tata ruang, khususnya desa sangat penting. Selama ini, Kehati telah melakukan kesepakatan dengan pemerintah daerah di Brebes dan Pekalongan, terkait restorasi mangrove melalui penyusunan tata ruang. “Kami mendorong penyambungan hutan mangrove yang rusak mulai Cirebon hingga Banyuwangi.”

Kerusakan hutan mangrove, selain dampak pembangunan atau alih fungsi lahan, juga karena aktivitas masyarakat yang mencari nafkah dengan membuat arang dari batang mangrove. Dengan tersambungnya mangrove di koridor pantai utara Jawa, diharapkan akan mengurangi dampak abrasi dan erosi laut terhadap kawasan pesisir. “Di Jawa Timur, banyak yang rusak, pemulihan harus dilakukan,” tuturnya.

Kepiting bakau, biasa masyarakat menyebut. Mangrove yang terjaga tidak hanya akan meningkatkan hasil perikanan tetapi juga masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai pewarna alami. Foto: Rahmadi Rahmad
Kepiting bakau, biasa masyarakat menyebut. Mangrove yang terjaga tidak hanya akan meningkatkan hasil perikanan tetapi juga masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai pewarna alami. Foto: Rahmadi Rahmad

Penyerap dan penyimpan karbon

Peneliti Senior di Center for International Forestry Research, Daniel Murdiyarso, mengatakan ekosistem mangrove memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon yang baik. Blue carbon pesisir termasuk di antaranya mangrove, mempunyai kemampuan menyerap karbon hingga 20 kali dari hutan biasa. Sedangkan kemampuan menyimpan karbon maksimum hingga 5 kali hutan tropis.

“Keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi Indonesia. Terlebih, saat ini sekitar 40 persen terdegradasi dalam kurun waktu 30 tahun.”

Daniel menegaskan, upaya penyelamatan ekosistem hutan mangrove yang telah rusak tidak cukup dilakukan hanya dengan restorasi atau rehabilitasi. Penegakan hukum dan aturan menjadi syarat mutlak untuk mengembalikan ekosistem mangrove, yang selama ini banyak beralih fungsi ke proyek-proyek pembangunan.

Selain itu, adanya badan khusus yang mempunyai otoritas atau kewenangan lintas sektor untuk merestorasi dan mengkonservasi mangrove di Indonesia, sangatlah penting. Dua lembaga pemerintah seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seringkali bertentangan dalam hal konservasi atau konversi. “Perlu ada badan khusus yang tidak terkooptasi oleh lembaganya sendiri, yang diberi kewenangan kuat dan dana memadai.”

Ekosistem mangrove harus dijaga karena tidak hanya melindungi wilayah pesisir tetapi juga sebagai penyedia sumber daya perikanan. Foto: Rahmadi Rahmad
Ekosistem mangrove harus dijaga karena tidak hanya melindungi wilayah pesisir tetapi juga sebagai penyedia sumber daya perikanan. Foto: Rahmadi Rahmad

Terry Louise Kapel, Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengungkapkan setiap ekosistem pesisir terutama mangrove dan padang lamun menyimpan stok karbon. “Tiap ekosistem menyimpan stok karbon dalam jumlah berbeda, tergantung tipenya.”

Penelitian yang dilakukannya, yang melihat dinamika ekosistem pesisir dalam menyimpan karbon, berkaitan erat pada kualitas penyimpanan karbon dan dampak yang ditimbulkan bila terjadi kerusakan ekosistem. Menurutnya, kualitas lingkungan khususnya ekosistem mangrove, dapat dipertahankan dengan membenahi manajemen pengelolaan mangrove oleh lembaga yang bersinggungan dengan isu tersebut.

“Ketika pada ekosistem pesisir terjadi abrasi, ada penggerusan yang otomatis sedimen di wilayah itu terbawa ke tempat lain, yang akhirnya lepas.”

KKP kata Terry, memiliki perhatian yang cukup baik terhadap mangrove. Secara nasional, KKP memprogramkan penanaman enam juta mangrove yang difokuskan pada pantai utara Jawa, dalam kaitannya dengan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pesisir. “Untuk rehabilitasi ekosistem pesisir sekitar 20 juta hektare dan akan bertambah, sedangkan penanaman sudah dilakukan sejak 2009,” ujarnya.

Teguh Triono menambahkan, keterlibatan semua pihak untuk merestorasi ekosistem mangrove sangat penting. Terlebih, ikut menjaga dan melestarikan keberlangsungan suatu ekosistem.

“Pemerintah, masyarakat, hingga perbankan dapat ambil bagian dalam merestorasi mangrove melalui penyediaan bibit dan penanaman. Peran perguruan tinggi diperlukan dalam hal dukungan ilmiah,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,