Perkasa di Depan Kapal Asing, Susi Pudjiastuti Kesulitan di Depan Kapal Dalam Negeri

Selama dua tahun menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengaku menerima banyak sekali tantangan. Namun, untuk sekarang, tantangan yang masih sulit ditaklukkan, adalah pemberantasan aksi illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing yang dilakukan pengusaha dan nelayan dalam negeri.

Pernyataan Susi tersebut diungkapkan dalam sebuah diskusi, Kamis (20/10/2016) di Jakarta, yang membahas kinerja pemerintahan Presiden RI Joko Widodo bersama wakilnya, Jusuf Kalla, selama dua tahun ini. Susi yang didapuk untuk berbicara tentang sektor kelautan dan perikanan Indonesia, menyebut bahwa tantangan yang dihadapi dalam dua tahun terakhir sudah ditaklukkan satu per satu.

“Mungkin yang paling signifikan adalah pemberantasan IUU Fishing. Namun, itu juga sudah hampir selesai, meski sekarang juga masih ada saja kapal pencuri ikan. Tapi bagi saya, sekarang itu tantangan terberat adalah melawan di dalam negeri,” ungkap dia.

Tanpa merinci siapa yang dimaksud di dalam negeri itu, tetapi Susi mengatakan, untuk bisa memenangkan pertarungan melawan para pelaku usaha di industri perikanan dan kelautan dalam negeri, itu butuh perjuangan ekstra keras.

Karena, kata dia, jika melawan pencuri ikan dari negara lain, penanganannya bisa diterapkan dengan cepat dan didukung regulasi yang tepat. Sementara, jika melawan pencuri ikan dari dalam negeri, itu masih belum didukung regulasi yang tepat.

“Tidak mudah untuk menindak pelaku lokal. Jika tidak didukung dengan political will dan juga tidak ada kekompakan dari kabinet kerja Pak Presiden RI, maka pembenahan tidak akan pernah bisa terwujud,” ucap dia.

Susi kemudian mencontohkan, di Thailand ada Teluk Siam yang sejak lama terkenal sebagai pusat tangkapan ikan bagi nelayan lokal. Namun, dalam bebapa waktu terakhir, Teluk Siam tidak bisa memproduksi lagi karena sumber daya perikanan di lokasi tersebut dinyatakan sudah habis.

Jika sudah demikian, menurut Susi, sekuat apapun usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah, maka itu tidak akan ada gunanya. Karena, jika sudah dinyatakan habis sumber daya perikanannya, maka itu sudah berakhir dan tidak akan bisa lagi berproduksi.

“Karena itu, siapapun harus mengerti, ketika ada pelarangan, maka itu artinya tidak boleh untuk mengambil ikan. Itu artinya, ikan yang ada di lokasi tersebut sudah kritis,” sebut dia.

Susi menambahkan, pentingnya menerapkan kedisiplinan bagi siapapun, karena sumber daya laut diyakininya menjadi satu-satunya sumber daya alam yang masih tersedia di Indonesia dan bisa dijaga dan dipulihkan kondisinya. Sementara, sumber daya lain justru akan terus menyusut tanpa bisa dipulihkan.

Pelaku Mark Down Kapal Ikan Indonesia

Dalam kesempatan sama, Susi juga menyoroti keberadaan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Perikanan Tangkap. Dalam perpres tersebut, diatur siapa yang berhak untuk mengelola perikanan tangkap dan asing adalah masuk dalam larangan untuk mengelolanya.

Bagi Susi, keberadaan Perpres tersebut untuk menegaskan bahwa kapal Indonesia masih sanggup untuk mengelola wilayah tangkapnya. Karenanya, dia mendorong kapal-kapal lokal untuk segera melakukan pengukuran ulang kapal yang akan digunakan.

Awak kapal sedang mengubah struktur kapal eks asing dari fiber menjadi kayu. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersama Satgas 115 melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pelabuhan Benoa, Bali, pada Selasa (03/08/2016), dan menemukan 56 kapal eks asing telah memanipulasi struktur badan kapal dari fiber ke kayu. Foto : Humas KKP
Awak kapal sedang mengubah struktur kapal eks asing dari fiber menjadi kayu. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersama Satgas 115 melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pelabuhan Benoa, Bali, pada Selasa (03/08/2016), dan menemukan 56 kapal eks asing telah memanipulasi struktur badan kapal dari fiber ke kayu. Foto : Humas KKP

“Kita minta ukur ulang, karena banyak yang melakukan markdown. Kita tahu kapal-kapal besar itu banyak juga di Indonesia. Tapi, di masa lalu, kapal berukuran besar tersebut memilih melakukan markdown supaya bisa dapat keringanan pajak dan dapat subsidi BBM dari Pemerintah,” papar dia.

Padahal, menurut Susi, jika tidak ada markdown, maka penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan bisa meningkat lagi. Dia menyebut, sejak reformasi kelautan dan perikanan diberlakukan, PNBP langsung melonjak hingga mencapai Rp250 miliar.

“Itu PNBP tahun ini. Tahun lalu PNBP kecil, karena saya tidak menarik pajak dari kapal-kapal besar. Saya beri kesempatan kepada mereka untuk melakukan pembenahan sendiri dan baru tahun ini PNBP bisa kita tarik,” ungkap dia.

Seperti diketahui, hingga saat ini, kapal yang mendapatkan izin baru 187 dari 1.132 kapal eks-asing yang diaudit. Dari jumlah total tersebut, sebanyak 374 kapal berasal dari Tiongkok, 280 dari Thailand, dan 216 dari Taiwan, Jepang dan Filipina masing-masing 104 dan 98 kapal.

Pengadilan Perikanan Dipertanyakan

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif mengapresiasi pencapaian positif yang terjadi selama dipimpin Susi Pudjiastuti. Namun, dia mengkritik, hingga saat ini keberadaan pengadilan perikanan masih belum berjalan baik.

“Pengadilan Perikanan itu masih belum efisien. Keberadaannya harus dievaluasi lagi,” ucap dia.

Kritik tersebut dilontarkan Laode, karena pengadilan perikanan itu didirikan pada awalnya untuk menegakkan hukum dalam sektor perikanan dan kelautan yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. Namun, setelah berdiri, ternyata pengadilan perikanan juga tidak efektif.

“Dulu, kalau ada kasus perikanan, pasti selalu kalah. Nah, kemudian didirikan pengadilan perikanan. Tapi, sama saja hasilnya. Makanya harus ada evaluasi untuk pengadilan perikanan,” ujar dia.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Himawan Radiptyo, menyebutkan, pemberantasan IUU Fishing yang dilakukan dalam dua tahun terakhir, menjadi prestasi dari sektor kelautan dan perikanan. Karena, di kepemimpinan periode sebelumnya, tidak ada yang berani menyelesaikannya.

“Dulu, saya berpikir bahwa kasus korupsi itu sangat besar posisinya di Indonesia. Tetapi, setelah itu, saya tahu bahwa IUU Fishing jauh di atasnya. Karena, di dalamnya ada korupsi, kriminal, perbudakan, narkoba, dan masih banyak lagi,” jelas Staf Ahli Satgas 115 IUU Fishing itu.

Berkaitan dengan kapal markdown, Himawan mengatakan, sebagian besar kapal yang melakukannya berukuran 30 gros ton (GT) ke bawah. Sementara, untuk kapal yang melakukan pengukuran ulang, dari jumlah total 18 ribu kapal yang harus melakukannya, tercatat baru 2.227 kapal saja yang sudah melakukannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,