Keyakinan Giyem, Bila Terjaga, Alam akan Selalu Sediakan Sumber Pangan

Giyem lahir dari keluarga petani 41 tahun lalu di Desa Larangan, Tambakromo, Pati, Jawa Tengah. Dari kecil, dia melihat ayah dan ibunya bekerja keras menghidupi Giyem bersama tujuh saudaranya. Semua hasil dari bertani.

Kini, Giyem juga petani. Bagi dia, bertani itu pilihan hidup. Bedanya, saat ini, pegunungan karst Kendeng, tempat mereka bergantung sumber air, akan ada beberapa pertambangan dan pabrik semen.

Di Pati,  ada  PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak usaha PT Indocement. Di Rembang, ada PT Semen Indonesia. Pemerintah daerah telah memberikan izin tambang yang digugat warga ke pengadilan.

Baca juga: Warga Pati Melawan Bupati dan Perusahaan Demi Menjaga Alam

Giyem terpilih salah satu perempuan pejuang pangan, yang diselenggarakan Oxfam Indonesia dan Rimbawan Muda Indonesia.

Perjuangannya bersama para kartini Kendeng melawan rencana penambangan batu gamping. Aksi di Pati, sampai ke Jakarta, mendatangi berbagai kementerian dan lembaga negara buat mengadu. Bahkan, April lalu,  menyemen kaki di depan Istana Negara, dia lakukan demi mempertahankan kelestarian karst dan lahan tani.

”Jangan malu menjadi seorang petani,” katanya kepada Mongabay di Bogor, Senin (17/10/16).

Aksi para Kartini Kendeng, termasuk Giyem, menyemen kaki di depan Istana Negara, menuntut penutupan tambang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Foto: Sapariah Saturi
Aksi para Kartini Kendeng, termasuk Giyem, menyemen kaki di depan Istana Negara, menuntut penutupan tambang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Foto: Sapariah Saturi

Beberapa saudaranya, ada menjadi guru, pedagang dan merantau ke kota. Tidak buat Giyem. Dia kokoh jadi petani walau pekerjaan tampak lebih berat dari menjadi karyawan dengan gaji bulanan.

Bertani, menurut Giyem, menjadi jantung bagi perut-perut warga di Indonesia.  Pemerintah tergantung pada mereka.

Sayangnya, pemerintah seakan tak menyadari perbuatan mereka mengancam produksi pangan petani dengan memberikan izin-izin tambang  di wilayah sumber air.

”Pemerintah tak tahu perjuangan kelompok petani. Kita berjuang juga untuk pemerintah. Jateng itu harus menjadi lumbung nusantara,” katanya dengan logat kental Jateng.

Setiap hari, Giyem bangun pukul 04.00 untuk menyiapkan segala keperluan mereka sekeluarga, mulai sarapan, membereskan rumah, hingga memberi pakan ternak. Sekitar pukul 06.30, dia berangkat ke sawah.

”Kalau musim padi, atau jagung, kacang tanah dan kacang hijau,”katanya.

Pangan di Indonesia berada di tangan petani terutama para perempuan, namun pekerjaan mulia ini seakan tak lagi dianggap. Giyem bersama keluarga membuktikan, bisa hidup layak dari bertani.

Hasil jerih payah membuahkan hasil memuaskan. Kedua anaknya berpendidikan. Anak pertama, menjadi petani, sudah berkeluarga dan punya anak. Anak kedua, sudah sarjana. ”Semua berkat pertanian.”

Baca juga: Warga Pati Tolak Pendirian Pabrik Semen, Kenapa?

Keluarganya mengelola lahan di tiga lokasi, masing-masing satu hektar. Selama ini, mereka tak perlu membeli bahan pangan karena punya hasil sendiri.

Bertani sudah mendarah daging bagi Giyem. Foto: Lusia Arumingtyas
Bertani sudah mendarah daging bagi Giyem. Foto: Lusia Arumingtyas

Bagi dia, bila terjaga, alam selalu menyediakan sumber pangan manusia. Alam sebagai biyung atau ibu pun sangat dimuliakan.

”Bagi kami, impor ini sebuah langkah bodoh yang sangat diharamkan para petani lokal.”

Tak hanya ulet bertani, perempuan ini juga aktif dalam gerakan lingkungan. Dia bergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Perjuangan dia jelas, kala Pegunungan Kendeng dikeruk dan rusak, dampak buruk bakal menimpa semua. Warga kehilangan sumber air bersih, lahan pertanian bisa kesulitan pengairan. ”Kalau pertanian diancam semua, dimana lumbungnya?” katanya.

Upaya warga Pegunungan Kendeng melawan industri ekstraktif yang berpotensi menghancurkan alam mereka beberapa kali berbuah manis, dari PTUN di Pati, mengabulkan gugatan warga—meskipun bupati dan investor banding— sampai kemenangan warga Rembang di Mahkamah Agung, 5 Oktober 2016.

Baca juga: Lawan Pabrik Semen, Mahkamah Agung Menangkan Warga Rembang

”Kami, teman-teman pejuang senang, gak cuma kemenangan kita juga kemenangan pemerintah. Ternyata masih berpihak dengan masyarakat,” katanya.

Meskipun begitu, kemenangan di pengadilan baru langkah awal. Terpenting, di lapangan, alam harus benar-benar terjaga, perusahaan tak lagi membuka lahan.

”Disana masih bekerja, terus bekerja, padahal dimenangkan masyarakat,” katanya, mengacu kasus pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jateng.

Fathurrozak, sineas muda yang mendokumentasikan perjuangan Giyem, mengatakan, para perempuan Kendeng sudah berjerih payah mengelola lahan, malah kapitalis mau masuk.

Fathur mengenal Giyem sejak perjuangan awal bersama para Kartini Kendeng. Melalui suara dan gambar, Jek, panggilan akrabnya, menyuarakan perjuangan para perempuan ini.

Sebagai anak petani, diapun merasakan kekhawatiran sama, terlebih petani perempuan yang sering tak dianggap oleh pemerintah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,