Sri Rohani, Perempuan yang Berani Pertahankan Lahan Pertanian Masyarakatnya

Faya Mar’atushsholihah menggelayut manja di gendongan ibunya. Bocah berusia sembilan bulan itu mengajak bercanda ibunya, Sri Rohani, 19 tahun. Sri datang dari Kebumen, Jawa Tengah, ke Jakarta membawa serta buah hatinya itu untuk menerima penghargaan sebagai satu dari sembilan Perempuan Pejuang Pangan 2016 dari Oxfam.

Juri menilai, Sri layak menerima penghargaan tersebut. Keterlibatannya dalam mempertahankan lahan pertanian di wilayah desanya merupakan perjuangan penuh tantangan. Sri Rohani bersama penduduk Dusun Miri, Wiromartani, Kecamatan Mirid, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, berusaha keras mempertahkan tanah sawahnya agar tidak dikuasai tentara.

“Sawah kami dipagari, dijadikan tempat latihan tentara. Kami tidak bisa bertani,” ujar Sri di sela acara penganugerahan itu di Jakarta, Ahad (16/10/2016).

Dia dan penduduk khawatir akan mendapat marabahaya ketika menggarap sawah, terutama saat TNI berlatih di area tersebut. Namun, jika tidak ke sawah, mereka tak bisa merawat tanaman yang sudah disemai. “Kami tanam semangka cabai. Kalau tidak, tanaman akan mati karena tidak disiram,” ujarnya.

Sri bersama warga setempat pun bergerak, mereka ingin mempertahankan tanah kelahiran dan mata penghidupan mereka itu. Sebagai petani yang mengelola lahan di kawasan Urut Sewu. “Kalau tanah kami direbut, pastinya akan mengganggu pangan. Kami tidak punya penghasilan ,”ujar perempuan tamatan sekolag dasar ini. Dia  tidak mampu meneruskan sekolah karena keluarganya yang terpisah ditambah kemiskinan yang mendera.

Protes masyarakat pada tentara karena lahan pertanian mereka dipagari dan digunakan untuk latihan militer. Foto: Capture video Dewi Nur Aeni
Protes masyarakat pada tentara karena lahan pertanian mereka dipagari dan digunakan untuk latihan militer. Foto: Capture video Dewi Nur Aeni

Sri diajak bibinya ikut demonstrasi yang dipimpin lurah setempat. Ia ikut aksi melawan tentara yang ingin menjadikan daerah mereka area latihan. Melawan kebijakan dan surat-surat yang menyatakan daerah tersebut digunakan sebagai wilayah latihan. Warga juga menolak pemagaran yang dilakukan oleh tentara, terhitung tahun lalu. Aksi itu, kata Sri Rohani, semula berlangsung tertib, namun kemudian menjadi rusuh karena ulah provokator.

Sri masih ingat, saat itu ia sedang hamil lima bulan. Malang, ia turut menjadi korban kekerasan. “Saya ditendang dari belakang, saya tidak bisa memikirkan kondisi saat itu. Terlebih pada kesehatan janin yang ada dalam kandungan.” Beruntung, jabang bayi itu selamat. Lahir tanpa kurang suatu apapun. Bayinya, Faya, kini tumbuh sehat.

Sri menuturkan, perjuangan yang dilakukannya itu demi tanah kelahiran dan pertanian, tempat masyarakat mencari makan. “Saya berharap, pertanian kami tidak terusik oleh kepentingan lain. Kampung yang damai dan masyarakat aman mengelola lahan.”

Keberanian dan keteguhannya untuk tetap menjaga sawahnya itulah yang membuatnya terpilih sebagai salah satu Perempuan Pejuang Pangan 2016. Dewi Nur Aeni mendokumentasikan profil Sri Rohani dan upayanya mempertahankan lahan yang menjadi mata pencariannya itu.

Selain Sri Rohani, ada Giyem (Pati), Ummi Kalsum (Aceh Besar), Seliwati (Luwu Utara), Daeng Karra (Makassar), Nurlina (Pangkep), Catur Rini (Bogor), Beatrix Rika (Sikka), dan Erna Leka (Tulang Bawang) yang mendapat penghargaan Perempuan Pejuang Pangan 2016.

Perempuan-perempuan tersebut dinilai terlibat langsung dalam mempertahankan lahan pertanian, memimpin pertanian dengan varietas lokal yang lebih adaptif terhadap iklim dan lingkungan setempat, serta membudidayakan pertanian hidroponik untuk mengatasi sempitnya lahan. Perempuan pejuang pangan di pesisir bahkan berperan penting dalam merestorasi hutan mangrove sebagai habitat ikan-ikan tangkapan nelayan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,