Tantangan Mengelola Bentang Alam di Nusa Penida

Warga Nusa Penida menyadari mereka hanya tergantung pada bentang alam yang indah dan pesisir untuk tempat hidup sekaligus menjualnya sebagai daya tarik wisata. Sejumlah pengusaha travel agent Bali bahkan mengusulkan istilah Raja Lima karena diyakini melebihi Raja Empat di Papua. Namun, dipilih tagline Blue Paradise karena 90% tujuan wisata adalah laut dan pesisirnya.

Namun ada banyak tantangan untuk keberlanjutan dan pelestarian pesisir di Nusa Penida. Misalnya perubahan iklim yang makin berdampak pada penurunan pertanian rumput laut, pengelolaan sampah, dan mitigasi laut dari dampak pariwisata massal. Hal ini didiskusikan dalam perjalanan menelusuri pulau di Nusa Penida Festival 2016.

Daerah ini masuk sebagai kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) dan baru saja ditetapkan  sebagai kawasan pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia. Nusa Penida adalah nama kecamatan untuk tiga gugusan pulau di Tenggara Pulau Bali. Dalam gugusan ini ada pulau terbesar Nusa Penida, lalu Nusa Lembongan, dan terkecil Nusa Ceningan. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) ini juga adalah kawasan Coral Triangle Center, segi tiga keberagaman karang dunia.

I Ketut Jagra, salah seorang petani rumput laut mengatakan sudah empat bulan berhenti bertani. “Panen banyak rusak, mending berhenti sebentar,” kata pria ini. Biasanya tiap pagi dan sore ia ke pantai membersihkan hama seperti tumbuhan berbentuk rambut yang menghambat pertumbuhan rumput laut atau untuk panen. Kini tinggal di rumah saja.

Perubahan iklim, misalnya musim yang berubah dan suhu air laut berakibat pada kualitas dan daya tahan rumput laut. Misalnya makin banyaknya pemutihan yang membuat rumput laut membusuk. Jagra tak mengenal istilah climate change dan belum tahu cara menghadapinya.

Tapi aktivitas pertanian rumput laut masih mudah ditemukan di pulau ini. Disebagian pesisir masih terlihat kotak-kotak berisi rumput laut di dalam air laut, anak-anak yang membantu orang tua memasang bibit di tali, dan aktivitas penjemuran di pinggir jalan raya.

Di sisi lain terlihat ada tantangan pengaturan tata ruang dan banyak timbunan sampah anorganik di tengah-tengah kebun dan pesisir pantai. Misalnya di ladang-ladang menuju salah satu objek wisata paling populer, Pantai Atuh.

Gugusan atol atau karang tak berpenghuni di Pantai Atuh, Nusa Penida. Kawasan ini dibiarkan apa adanya untuk memperlihatkan ekosistem tebing pulau. Foto: Luh De Suriyani
Gugusan atol atau karang tak berpenghuni di Pantai Atuh, Nusa Penida. Kawasan ini dibiarkan apa adanya untuk memperlihatkan ekosistem tebing pulau. Foto: Luh De Suriyani

Untuk menuju ke area ini, bisa ditempuh dengan berkendara sekitar satu jam dari dermaga Sampalan. Jalan menanjak dan berkelok karena melewati bukit. Beberapa kilometer menuju lokasi, kendaraan harus melalui jalan menyempit karena tata ruangnya belum direncanakan.

Jalan tanah berbatu petanda Pantai Atuh sudah mulai dekat. Jalan yang hanya cukup untuk satu mobil ini perlu konsentrasi melaluinya selama hampir 30 menit. Kawasan Banjar Pelilit, Desa Pejukutan ini terkenal dengan seni tradisi Tari Jangkang.

Setelah itu, ada sejumlah papan petunjuk menuju tempat parkir. Dari Bukit Molenteng, ini samudera di sisi terluar kawasan Provinsi Bali terlihat dengan sejumlah atol atau pulau karangnya. Untuk mencapai pantai berpasir putih cukup berkeringat.

Melalui turunan cukup terjal dari bukit karang, sekitar 15 menit. Hembusan angin samudera Hindia dan hantaman ombak membuat dada berdesir. Lebar pantai hanya sekitar 3-5 meter tergantung pasang surut, dan tidak cukup aman untuk mandi. Di sekitar sini, ada warga membuat rumah di atas pohon yang disewakan.

Sebuah warung menjual kelapa muda dan ubi rebus. Cemilan nikmat menikmati tebing-tebing eksotis Nusa Penida. Perlu waktu beberapa jam jika ingin eksplorasi kawasan ini. Ekosistem tebing dan goa dari hempasan ombak diyakini menyimpan keragaman biodiveritas. Sebuah tugu persembahyangan diletakkan di bibir tebing sebagai simbol kawasan ini harus dihormati dan dijaga kelestariannya.

Warga setempat biasa memancing atau melakukan persembahyangan. Bendera merah dengan teks “danger” di sekitar kawasan ini menjadi pengingat untuk berhati-hati karena area ini masih dibiarkan alami tanpa pagar keamanan di sisinya.

I Ketut Ardana, Ketua asosiasi travel agent atau ASITA Bali menyebut istilah Raja Lima karena karakteristiknya seperti Raja Ampat di Papua. Sebagai penjual paket-paket wisata ia jelas melihat Nusa Penida sebagai daerah yang potensial ditawarkan ke turis. “Travel agent selalu cari yang baru untuk nambah daftar dagangannya. Bali begitu laris, apalagi telurnya,” ujarnya mengasosiasikan Nusa Penida sebagai telur emas dari ayam, bentuk pulau Bali.

Ketut Pesta, pengusaha biro perjalanan dan warga Nusa Penida mengatakan keterbatasan fasilitas di Nusa Penida jangan disembunyikan. Misalnya jalan rusak harus disampaikan apa adanya. “Pariwisata budaya tidak usah ngopi, kalau kering itu yang kita jual. Budaya pariwisata itu berperilaku budaya lebih ramah, jujur, bersih,” serunya.

Dari total jalan kabupaten di Nusa Penida 226 km, baru ditangani 100km. Sebagian belum realisasikan karena ada pemotongan anggaran di pusat dari dana alokasi khusus.

Sekitar 1000 orang warga Nusa Penida menarikan tari Jangkang yang khas di pinggir pantai untuk menunjukkan keragaman budaya dan alam. Foto: Luh De Suriyani
Sekitar 1000 orang warga Nusa Penida menarikan tari Jangkang yang khas di pinggir pantai untuk menunjukkan keragaman budaya dan alam. Foto: Luh De Suriyani

Filosofi dan spiritualitas menurutnya juga mendukung wisata berbasis alam. Nusa Penida memiliki banyak spot tempat suci, pura, dan kawasan sakral. Pengunjung didorong menikmati kemegahan alam sekaligus menikmati tantangannya. “Jangan mengharap sesuatu mulus, jangan khawatir karena pada jalan yang rusak orang nyebut nama Tuhan. Jangan takut gelombang keras, doa kami kuatkan saya untuk menerjang gelombang. Orang yang kuat karena terjangan,” Ketut Pesta memotivasi.

Selain pengelolaan KKP, Nusa Penida mendorong upaya konservasi di darat seperti penangkaran burung dilindungi jalak putih dan penyu.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementrian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi menyabut ada 5 prioritas di Nusa Penida yakni kawasan konservasi, KSPN, dan sebagai kawasan pulau kecil terluar terdepan. Pinggir pantai menurutnya harus lebih bagus dibanding di dalam pulau.

“Ibu menteri punya 3 dasar, apa pun kegiatan dasarnya adalah kedaulatan, pemanfaatan atau eksploitasi nuansanya berkelanjutan, serta berdampak bagi masyarakat,” tutur Andi.

Bupati Klungkung Nyoman Suwirta menyebut sekitar 90% wisata mengandalkan laut dan keindahan bawah lautnya. Kekhawatirannya adalah kerusakan terumbu karang akibat alam atau ulah manusia. Ia menyontohkan hilangnya terumbu di kawasan Jungut Batu, Nusa Lembongan.

Salah satu penyebab makin tak terkontrolnya turis, akibat banyaknya jalur masuk atau pelabuhan darurat. “Yang berkunjung 3000-an tapi yang tercatat resmi 600 orang karena banyaknya pintu masuk. Saya tak mau Nusa Penida seperti Gili Trawangan,” katanya.

Ide yang ingin diwujudkannya adalah menyatukan pintu masuk menjadi satu area atau pelabuhan segi tiga emas. Kemudian menghidupkan kantong-kantong kesenian dan kebudayaan agar tak semuanya nyemplung ke laut atau memilih watersport yang akan menambah beban ekosistem.

Pada musim khusus seperti musim migrasi pari manta dan mola-mola (sunfish) yang menjadi ikon di Nusa Penida, terjadi penumpukan aktivitas bawah laut di sejumlah spot. Puluhan speedboat akan terlihat berkumpul dengan hampir 100 orang menyelam dan snorkeling.

Sejumlah pihak kerap mengeluhkan hal ini. Sejumlah siasat coba dilakukan untuk mengurangi tekanan pada populasi hewan laut. Misalnya code of conduct  mengatur bagaimana perilaku menyelam agar tak mengganggu aktivitas kedua spesies itu. Misalnya jarak terdekat untuk melihat adalah 3 meter, tidak boleh menyentuh atau memegang ikan, memberi makan, dan lainnya.

Bahan edukasi lain adalah mendorong pengemudi perahu, jet ski, ponton, dan kapal lainnya menurunkan kecepatan saat memasuki KKP Nusa Penida. Desa adat dan dinas di Lembongan sudah mengeluarkan surat imbauan agar supir boat menurunkan kecepatan, tak lebih dari 5 knot di area zona perlindungan KKP.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,