Begini Cara Anak Muda Ternate Lindungi Terumbu Karang

Sore itu, lima pemuda tampak sibuk di Kantor Nasijaha Dive Centre. Mereka sedang menyiapkan alat selam.   Ada yang menghidupkan mobil. Yang lain menaikkan alat selam ke mobil, sebelum melaju ke Pantai Ternate.  Mereka akan memandu para penyelam menikmati keindahan bawah laut Ternate.

Adalah Muhammad Tamsil, salah satu dari mereka. Dia berasal dari Kampung Kedaton Tidore, Kelurahan Muhajiran Ternate Tengah. Pemuda yang biasa disapa Asep ini bukan penyelam biasa. Selain menyelam, dia juga menggerakkan anak muda kampung menjaga pantai dan konservasi  terumbu karang.

“Awalnya,  anak muda di Kampung Kedaton Tidore,  belum sadar potensi besar di depan rumahnya. Sampah di pantai tak diurus, terumbu karang hancur dibiarkan begitu saja,”  katanya.

Tak mudah mengajak dan menggugah kesadaran para pemuda. Diapun memulai dari keluarga. “Saya awali bersama dua saudara. Kemudian mencoba menggandeng anak muda lain.”

Sebagai anak-anak pesisir mereka suka  laut.  Apalagi  akses dari rumah ke laut sekitar 100 meter. Pemuda kampung memang senang berenang di pantai, tetapi belum punya kesadaran membersihkan pantai. Mereka juga  menangkapi  ikan  atau merusak terumbu karang tanpa rasa bersalah.

Ketidakpedulian ini membawa dampak buruk, terumbu karang makin rusak.

“Ada kesalahan kami. Misal, saat mandi ke laut sering menangkap ikan atau mencabut terumbu karang. Belum lagi jangkar perahu merusak karang bawah laut.  Lama-lama kami berpikir. Jika dibiarkan,  sampah mengotori  pantai  dan terumbu karang  rusak, tak diurus ,  suatu saat  terumbu karang tinggal  cerita,” katanya.

Kesadaran dia datang setelah diskusi dengan teman- teman dan mempelajari masalah kerusakan terumbu karang melalui berbagai media.  “Istilahnya, kami belajar konservasi otodidak.”

Mulaikah mereka membersihkan pantai dan laut.

Sejak 2005, sebenarnya ada komunitas snorkeling pemuda setempat tetapi tak membersihkan laut.   Klub ini bernama Ngomi.

Klub snorkeling inilah cikal bakal  komunitas pemuda menjaga pantai dan menanam karang. Belakangan, ia berganti nama menjadi Ngomi Diving Klub.  Ngomi adalah nama lokal sejenis ikan kecil berwarna hitam di sela-sela karang.

Sebagai orang awam  konservasi,  Asep merasa harus banyak belajar.    “Saya sarjana ekonomi  tak belajar terumbu karang. Saya otodidak belajar dari media dan kawan-kawan,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Unhas ini.

Tiga bulan lalu, katanya, anak Kampung Kedaton Tidore tertarik kerja konservasi berkumpul membahas penyelamatan terumbu karang.

Kampung Kedaton Tidore , menghadap laut dan tengah kota. Ia menjadi daya tarik tersendiri. “Jika terumbu karang selamat, ikan-ikan makin banyak. Ini daya tarik tersendiri bagi wisatawan,” katanya serata mengatakan, warga akan mendapatkan manfaat dari kehadiran wisatawan.

DCIM101GOPROGOPR8098.
Bersih-bersih sampah di laut Ternate. Foto: M Rahmat Ulhaz.

 

 

Konservasi terumbu karang

Para pemuda Kampung Kedaton Tidore ingin rehabilitasi terumbu karang yang mati dan rusak.  Mereka ingin mengajak kampung tetangga,  Falajawa. Usaha mereka gagal.

“Kita menetapkan lokasi dari Pantai  Falajawa sampai Pelabuhan Ahmad Yani Ternate. Anak mudanya acuh,  jadi kita  batasi kampung kita dulu. Jika sukses , bisa jadi contoh ke luar.”

Setelah penentuan lokasi mereka mulai membersihkan pantai  termasuk  belajar menanam karang.

Ketika  wilayah pantai  sudah bersih, pemuda Kadaton sekitar 20 orang membuat transplantasi karang, menggantikan karang yang mati.

”Sebenarnya daerah bawah laut Pantai Kadaton sampai Falajawa  adalah wilayah konservasi terumbu karang, tetapi program itu gagal total,” ucap Asep.

Program konservasi yang melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM lingkungan hidup gagal ditengarai pengawasan minim. Setelah transplantasi, koral-koral dibiarkan begitu saja. Padahal, kawasan itu pantai ramai yang kerap direnangi anak-anak.

”Yang renang injak karang. Tak sedikit berenang masih pakai sepatu. Otomatis patah semua karang.”

Selain perenang, juga banyak speedboat dan perahu parkir melempar jangkar. Pengepul besi tua ikut ambil bagian juga.  ”Transplantasi karang waktu itu memakai besi tua sebagai wadah mengikat karang. Besi digergaji sama pengepul lalu dijual.”

Belajar dari pengalaman, Asep cs menggeser areal transplantasi karangnya sedikit ke selatan. Ke pantai jauh lebih sepi, tepatnya di belakang ikon kota “I Love Ternate.” Transplantasi juga tak menggunakan besi tua, tetapi pipa dan beton batangan.

Kalo pakai beton, apa lagi yang mau mereka ambil?”

Untuk membuat beton, mereka ramai-ramai patungan. Ada beli pasir, semen, hingga kopi, makan dan rokok. Kaum tua turut berperan. Mereka menyediakan teh hangat dan makanan ringan saat Asep dan teman-teman bekerja.

”Bahkan masih saja ada yang ngomong kita hanya dimanfaatkan segelintir oranglah, kita hanya buang-buang waktulah. Saya minta teman-teman tutup telinga,” kata Asep mengenang.

Bibit  karang mereka ambil dari Kampung Falajawa. Media atau wadah pakai semen dan besi bekas  sepanjang  80 cm sampai satu meter, ditanam karang berjarak sekitar 20 cm.

“Gerakan ini mandiri.  Ada usulan buat proposal dana tetapi saya tak mau.  Selagi masih ada semangat  pasti ada jalan.”

Setelah menanam ribuan batang karang,  dalam  empat bulan berjalan mereka sambil membuat modul penanaman karang.

Ketika  modul karang siap masuk ke laut, kendala lain menghadang. Ternyata, tak semua pemuda ini mengantongi sertifikat menyelam. Untuk menurunkan beton transplantasi hingga kedalaman empat meter, menyusun, dan mengecek setiap saat, perlu keahlian menyelam.

Tak ada pilihan lain, dia mengajari selam anak-anak ini bergantian. ”Sekali turun, saya bawa dua orang. Setelah itu, gantian yang lain.”

Begitu kemampuan dasar menyelam sudah mumpuni, tranplantasi karang dimulai. Tiga bulan setelah acropora-acropora itu ditanam, mereka terus setia mengecek kondisi karang setiap hari.

”Tiap hari, setelah selesai dengan rutinitas, di kepolisian, kantoran, maupun kerja pelabuhan, mereka pasti turun cek karang. Kalau karang mantap, lanjut ambil karung plastik untuk angkut sampah.”

DCIM101GOPROGOPR8132.
Mengumpulkan sampah-sampah di laut pakai karung. Foto:M Rahmat Ulhaz.

Pemerintah getol reklamasi

Asep cs, menyayangkan, pemerintah Kota Ternate getol  reklamasi. Dampak negatif pengurukan laut seperti pencemaran laut, peninggian muka air laut, dan habitat biota laut musnah.

Asep bilang, sebelum 1995, sepanjang Pelabuhan Ahmad Yani hingga Pantai Falajawa, mudah temukan dugong dan hiu berjalan. Sekarang, nyaris mustahil, terutama dugong,” katanya.

Asep cs bermimpi lingkungan mereka dapat menjadi proyek percontohan pelestarian lingkungan pesisir. Jika swadaya tranplantasi karang ini sukses, hal sama ingin mereka terapkan ke seluruh pesisir di Ternate. Mereka akan mengajak pemuda-pemuda pesisir.

”Itu jangka panjang. Saat ini kita fokus menjaga ekosistem di kampung sendiri.”

Asep meminta, pemerintah peka  melihat aksi nyata kelompok-kelompok ini. Pemerintah, katanya,  jangan hanya membuat kerusakan lingkungan. Begitu juga dalam merancang  infrastruktur termasuk tempat publik, tak boleh merusak lingkungan.

“Perlu  ada  aturan kawasan konservasi, misal, ada area larangan berenang karena akan merusak terumbu karang,” ujar dia sambil berharap, anak muda bisa menumbuhkan rasa kepedulian lingkungan.

 

DCIM101GOPROGOPR8100.
Ada yang siap menyelam mengecek transpantasi karang, ada yang mengumpulkan sampah di laut. Foto: M Rahmat Ulhaz.
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,