Ketika Pabrik Semen dan Sawit Ancam Biduk-Biduk

“Biduk-Biduk bukan untuk pabrik semen dan sawit.” Begitu poster dan spanduk, dibawa ratusan massa tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Karst Kaltim (AMPKK).

Mereka berjalan dari Tugu Perjuangan, Depan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman, menuju Kantor Gubernur Kalimantan Tumur, di Samarinda, Selasa, (26/10/16).

Pagi hari, sekitar pukul 9.30 itu, mereka menyampaikan penolakan pabrik semen dan perkebunan sawit.

Izin keluar dari Pemerintah Kaltim melalui Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD) untuk perkebunan sawit dan pabrik semen di Kecamatan Biduk-Biduk.

Izin diperoleh PT. Kebun Sawit Nusantara (KSN) 17.021 hektar, dari Kampung Giring-giring, Teluk Sulaiman, Teluk Sumbang, hingga Tanjung Mangkalihat, Kecamatan Sandaran, Kutai Timur.

Sedang izin semen kepada PT Semen Alam Bhana Lestari Resources 1.007 hektar di Kutai Timur dan Berau. Lalu, PT. Gawi Manuntung Resources 149 hektar di Kabupaten Berau, PT. Berlian Biduk Jaya seluas 2.11,52 hektar di Berau. Juga PT. Semen Borneo Indonesia 20.319 hektar di Kutai Timur, PT. Semen Kaltim 173 hektar di Kampung Teluk Sumbang, PT Alam Bhana Lestari (PT ABL) 1.074 hektar terbentang dari Kampung Teluk Sumbang hingga Tanjung Mangkalihat, serta delapan perusahaan semen lain.

“Karst Sangkulirang Mangkalihat bukan untuk sawit dan semen. Sumber air akan hilang dan lingkungan rusak,” kata Pradarma Rupang, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, ketika orasi.

Panas terik matahari pukul 10.15, menyengat kulit. Ratusan massa aksi tiba di depan Kantor Gubernur Kaltim. Pekikan tolak pabrik semen dan sawit bersahutan.

“Tolak pabrik semen di Biduk-Biduk! Tolak perkebunan sawit! Tolak!,” teriak massa aksi.

Limabelas menit berselang, truk Molen Semen melintas di jalan depan kantor Gubernur. Seketika massa aksi menghentikan, membentangkan spanduk dan berorasi bergantian.

Labuan Cermin merupakan danau dua rasa, asin dan tawar. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Labuan Cermin merupakan danau dua rasa, asin dan tawar. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Fitri Irawan, juru bicara aksi mengatakan, AMPKK tegas menolak investasi kebun sawit maupun pabrik semen. Investasi ini akan berdampak buruk pada kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan.

Penerbitan izin itu tanpa konsultasi dan partisipasi publik. Ada indikasi izin melanggar Peraturan Gubernur Nomor 67/2012 tentang Bentang Alam Karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kaltim. Selain itu melanggar kawasan ekosistem essential karst yang dinyatakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Secara prosedur, penerbitan izin lokasi juga melanggar Peraturan Gubernur Nomor 17/2015 mengenai penataan pemberian izin dan non perizinan serta penyempurnaan tata kelola perizinan di sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan sawit.

Pradarma mengatakan, kebijakan Pemprov Kaltim, dari analisa data dan peta tak hanya prosedur penerbitan izin terindikasi melanggar beberapa kebijakan. Setelah overlay menggunakan peta rencana tata ruang dan wilayah, lokasi izin masih ada kawasan lindung geologi yang tumpang tindih.

Ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat tak sekadar warisan budaya tetapi penopang ekonomi dan kehidupan masyarakat Berau dan Kutai Timur (Kutim). Lebih 100.000 atau 13 kecamatan, di Berau dan Kutim menggantungkan air dari sungai bawah tanah karst, untuk kebutuhan sehari-hari.

“Seharusnya didorong untuk pariwisata, bukan pertambangan dan sawit yang jelas merusak,” kata Pradarma.

Karst di Berau, katanya, memberikan pendapatan besar bagi masyarakat di sektor pariwisata. Biduk-biduk dikenal danau dua rasa, di Labuhan Cermin. Ada juga endemik Kaltim, seperti orangutan dan bekantan.

Dia mencontohkan, di Kaltim, pertambangan batubara jadi bukti pertambangan bukan menyejahterakan warga Kaltim. Pertambangan, katanya, makin menyengsarakan dan merusak lingkungan karena pertanian menurun dan sumber air hilang.

“Tambang terbukti tak bisa berdampingan dengan lahan pertanian. Tambang memberi sumbangsih kehancuran, dan memutus satu generasi,” katanya.

Kala kebijakan pemerintah mengutamakan investasi ekstraktif, Jatam memprediksi tahun 2020 kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem Kaltim hancur.

Salah satu sudut Labuan Cermin di Biduk-Biduk. Foto: Edy Sudiono@TNC
Salah satu sudut Labuan Cermin di Biduk-Biduk. Foto: Edy Sudiono@TNC

***

Pukul 10.45, terjadi pemukulan terhadap Ahmad, oleh kepolisian dan Satpol Pamong Praja. Dia ditendang, dipukul dan diseret. Bibir memar, kuping dan leher lecet.

“Ini perjuangan. Warga Biduk-Biduk berjuang agar sumber air terjaga,” kata Ahmad.

Polisi bahkan beberapa kali tersulut emosi. Ketika massa mendesak masuk ke Kantor Gubernur. Kepolisian mengeluarkan anjing buas, untuk memecah aksi.

Ramli, warga Biduk-biduk, Kabupaten mengatakan, di sana ada goa, pertanian, nelayan, pesisir pantai, dan sumber air melimpah yang harus dilihat menyeluruh.

“Kondisi alam penopang dari obyek wisata, harus dijaga. Tambang dan sawit akan mematikan pendapatan warga,” katanya.

Cahyo Rahmadi, peneliti satwa karst mengatakan, sisi biodeversitas, dari tahun 2004, menghasilkan temuan menarik. Ada jenis baru, ada 10 kala cemeti, ikan, dan kepiting goa.

“Hadirnya pabrik semen ancaman nyata, tak hanya di Biduk-Biduk, tetapi  di Kutai Timur. Menjadi persoalan serius, karena masih banyak satwa endemik belum terungkap.”

Dia bilang, Indonesia tak memperhatikan biodiversitas goa. Dokumen Amdal, katanya, sama sekali tak perhatikan hal ini.

Amdal hanya bicara dampak ekonomi dan lingkungan, sebatas menjaga karst untuk dilindungi. Amdal hanya mencatumkan daftar satwa dilindungi, tetapi tak memperhatikan satwa ranah jasa ekosistem.

Biduk-Biduk lebih potensi menjadi pariwisata dari pada pertambangan dan sawit, seperti tertulis dituntutan massa aksi. Foto Tommy Apriando

Aksi protes warga menolak Biduk-Biduk jadi tambang semen dan kebun sawit. Foto: Tommy Apriando

Dia mencontohkan, dari komponen biotik, temuan spesies hanya menyebutkan status dilindungi atau tidak. Tak berpikir ketika karst sebagai tambang, berapa kehilangan biodiverstas.

Tambang juga akan menghilangkan spesies yang berperan terhadap ekosistem, seperti kekelawar membantu regenerasi hutan.

“Sepanjang membaca dokumen Amdal belum pernah melihat pertimbangan biodiversitas sebagai jasa lingkungan,” katanya.

Cahyo juga Presiden Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI) mengatakan, permasalahan serius lain, ketika karst dan hutan diganti sawit dan pertambangan, akan mengubah iklim mikro, terkhusus ketersediaan pangan. Contohnya, ketika hutan menyokong banyak serangga untuk pakan walet di Sangkulirang, ketika monokultur, pakan walet terganggu.

Menurut dia, jika alasan pembangunan pabrik semen untuk memenuhi kebutuhan di Kaltim, data nasional semen di Indonesia surplus.

“Jika rantai mayoritas di Jawa, jawabnya persoalan distribusi belum merata. Jika penambahan tambang semen untuk persoalan kebutuhan, belum mendesak,” katanya.

Adapun alasan kesejahteraan mayarakat, bisa diperdebatkan. Tambang karst tak serta merta signifikan mengurangi kemiskinan se kabupaten, bahkan kecamatan.

Sempajadi kericuhan antara warga dan polisi. Foto: Tommy Apriando
Sempajadi kericuhan antara warga dan polisi. Foto: Tommy Apriando

Solusi

Cahyo memberikan solusi,  kesejahteraan di Biduk-biduk besar pada potensi wisata dengan berbagai gunung karst, pantai, tebing, dan goa.

Pemda Berau,  harus mengambil peluang ini. Potensi yang ada dirawat, dan bangun infrastruktur.

Industri Semen membutuhkan batugamping kualitas kadar karbonat lebih 60%, dan batugamping yang mengalami proses kartifikasi.  Karst Biduk-Biduk sebagian besar dikeluarkan dari RTRW Kaltim.

Berdasarkan hasil kajian rencana pengelolaan  ekositem karst Kalimantan dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan (P3EK) 2015, potensi karst Kalimantan mencapai 3.624,860,84 hektar dari 4.437.761,16 hektar kawasan batugamping.

Hanya 307.000 hektar diakui kawasan karst dalam RTRW provinsi. Di Biduk-biduk, potensi karst 68,319.05 hektar. Karst kawasan ini terintegrasi perbukitan, hutan alami, dan pesisir.

“Kawasan karst penyangga utama menyimpan potensi air, telaga-telaga karst, fenomena air dua rasa, sistem sungai bawah tanah yang saling terhubung. Ini harus menjadi kawasan lindung,” kata Petrasa Wacana, Koordinator Bidang Konservasi, Advokasi dan Kampanye MSI.

Labuan Cermin yang tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga sensasi danau dua warna. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Labuan Cermin yang tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga sensasi danau dua warna. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Alasan Pemprov Kaltim, kekurangan semen. Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI) kapasitas kesediaan semen 2016–2018 di Kalimantan, mencapai 4.300 ton, kebutuhan semen 5.500 ton.

Kapasitas kesediaan semen di Sulawesi 13.000 ton, kebutuhan semen hanya 5.504 ton. Artinya, Sulawesi kelebihan produksi semen 2,5 kali lipat dari kebutuhan Sulawesi.

“Apakah kekurangan kapasitas semen di Kalimantan, harus dijawab dengan menambah industri dengan mengorbankan 3,3 juta potensi karst? Alangkah lebih baik mempermudah jalur distribusi dari Sulawesi ke Kalimantan. Lebih murah daripada membuka baru,” kata Petra.

Petra juga melihat, Biduk-biduk sebagai ekowisata, yang terintegrasi dari perbukitan karst, hutan, dan pesisir.

Adapun obyek wisata antara lain, Labuan Cermin, hutan mangrove Pulau Sigeding, danau dan goa Karst Teluk Sulaiman, Air terjun Teluk Sumbang, Pulau Kaniungan, dan Sungai Serai.

Tahun 2016, wisatawan mencapai 26.000 baik lokal maupun mancanegara. Biduk-Biduk penghasil ikan, satu hari produksi 24 ton ikan didistribusikan ke Berau, Balikpapan dan Samarinda.

Di Selat Teluk Sulaiman, tempat migrasi penyu. Jika potensi ini tak terganggu, apabila dilakukan valuasi ekonomi terhadap potensi di Biduk-Biduk jauh lebih besar manfaat dibanding mengorbankan karst.

Pakar Kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno sebulan lalu, melakukan penelitian ke Biduk-biduk. Menurut dia, Berau masuk tujuan wisata unggulan ekonomi kreatif.

Bagi dia, sangat berisiko, jika menambang karst dan jadi perkebunan sawit. Pemda,  seharusnya kembangkan sebagai daerah wisata, bersumber jasa lingkungan.

“Tak  ditambang dan bukan sawit. Mata air banyak dan bagus, keragaman pantai, karst, masyarakat adat dan pesisir, jadi potensi ekonomi kaya,” ucap Eko.

Dikutip Tribun Kaltim, (27/10/16), Gubernur menggunakan pertimbangan lokasi tak tergolong karst dilindungi sesuai Pergub 67 tahun 2012.

“Silakan saja investor jalan terus. Urus semua proses dan jangan diganggu,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,