Serunya Tradisi Mendirikan Rumah di Komunitas Adat Pasang

Hujan baru saja turun, tanah yang basah, udara yang dingin. Hiruk pikuk terdengar dari memenuhi udara menggema ke segala penjuru.

“Tarikk….lepas..,” terdengar teriakan serentak dari beberapa orang, yang diselingi tawa dan ungkapan-ungkapan yang tak jelas dari orang-orang lainnya. Setelah bersusah payah sekitar tiga jam, tiang-tiang dan rangka rumah panggung itu mulai berdiri kokoh.

Malam itu, Senin (10/10/2016), Mongabay berkesempatan menghadiri ritual mendirikan rumah atau ma’patindak bola di komunitas adat Pasang, Desa Pasang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Kebetulan rumah yang hendak didirikan tersebut adalah milik Rustan Arsyad, kepala desa setempat, sehingga hampir seluruh warga tampak hadir dalam acara yang tergolong langka itu.

Ma’patindak sendiri dapat diartikan mendirikan, sementara bola adalah rumah. Keunikan acara ini adalah terlibatnya banyak orang untuk ikut membantu, tanpa harus diminta oleh si pemilik rumah.

“Kalau misalnya ada informasi sebuah rumah hendak didirikan, maka tanpa diminta orang-orang dari seluruh penjuru kampung akan berdatangan untuk membantu, tidak hanya orang tua, namun anak-anak mudanya, laki-laki dan perempuan. Semangat gotong-royong sangat terasa dalam ritual ini,” ungkap Paundanan Embongbulan, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Manssenrempulu, Kabupaten Enrekang, yang turut hadir dalam ritual tersebut.

Ma’patindak bola ini sendiri memiliki sejumlah proses. Setelah rumah siap didirikan, maka di lokasi pendirian rumah terlebih dulu dilakukan acara doa dan pembacaan barzanji, berisi puja-puji pada Nabi Muhammad dan keluarganya. Tradisi di komunitas adat Pasang memang sangat dipengaruhi ajaran Islam.

Setelah prosesi barzanji ini dilakukan, yang diakhiri dengan doa keselamatan untuk pemilik rumah, maka di lokasi yang sama dilanjutkan dengan ritual maccera bola. Maccera biasanya diidentikkan dengan mengorbankan sesuatu, apakah itu ayam, kambing atau sapi. Untuk acara ma’patindak bola ini, yang dikorbankan adalah ayam dari tiga jenis, yaitu ayam berwarna hitam, putih dan bakka atau ayam dengan tiga warna, merah, hitam dan putih.

“Ayam hitam adalah persembahan untuk tanah, ayam putih untuk rumah atau bangunan sementara ayam bakka untuk penghuni rumah agar selalu sehat dan sejahtera atau berkembang atau bakka,” jelas Paundanan.

Dalam tradisi ma’patindak bola ini seluruh warga di komunitas adat Pasang, Kabupaten Enrekang, Sulsel akan turut terlibat meski tak diminta si pemilik rumah. Foto: Wahyu Chandra
Dalam tradisi ma’patindak bola ini seluruh warga di komunitas adat Pasang, Kabupaten Enrekang, Sulsel akan turut terlibat meski tak diminta si pemilik rumah. Foto: Wahyu Chandra

Setelah ritual maccera bola dilakukan dilanjutkan dengan pemasangan tiang-tiang dan rangka rumah. Proses inilah yang kemudian melibatkan banyak orang, yang bisa mencapai ratusan orang.

Menurut Paundanan, proses pemasangan tiang dan rangka ini sangat vital karena akan menentukan bangunan awal rumah. Setelah pemasangan tiang dan rangka ini selesai akan dilanjutkan dengan pemasangan dinding, lantai dan atap.

“Untuk pemasangan lantai dan dinding cukup melibatkan tukang profesional dan dibantu beberapa orang saja, sementara untuk pemasangan atap yang terbuat dari seng kembali akan membutuhkan tenaga bantu yang banyak.”

Setelah bangunan rampung dan sebelum digunakan atau ditinggali oleh pemilik rumah maka ada ritual terakhir yang harus dilakukan, yaitu ritual kesyukuran atau ritual masuk rumah. Biasanya disertai dengan pemotongan ayam atau kambing untuk dikonsumsi bersama.

“Jika pemilik rumah tergolong kaya dan jumlah warga yang terlibat dalam setiap proses pembangunan rumah terhitung banyak maka mereka memotong sapi,” jelas Paundanan.

Menurut Paundanan, hal lain yang perlu diperhatikan dalam ritual ma’patindak bola ini adalah pemilihan waktu. Jika tidak tepat maka diyakini akan berakibat fatal bagi kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan pemilik rumah dan keluarganya. Proses penentuan rumah ini biasanya melibatkan orang-orang tua yang memahami konsep hari baik.

“Tukang sebenarnya maunya tiang dipasang pagi tadi, tapi oleh orang tua disarankan dikerjakan malam ini karena bertepatan dengan masuknya 10 Muharram,” jelas Paundanan.

Empat pesan leluhur

Menurut Paundanan, kuatnya semangat gotong-royong di komunitas adat Pasang tak terlepas dari masih sangat kuatnya masyarakat adat Pasang dalam memegang pasang atau pesan leluhur.

“Ada empat inti dari pesan leluhur melalui pasang ini, yaitu malelu sipakainga’, artinya siapapun yang keliru itu harus diingatkan. Kedua, mali’ siparappe’, yang berarti kalau ada yang hanyut maka harus diselamatkan, sebagai kewajiban seluruh warga. Itulah makanya gotong royong di sini sangat kuat,” tambah Paundanan.

Maccera bola, ritual lain yang dilakukan berupa memotong ayam dari tiga jenis, yaitu berbulu hitam, putih dan bakka (campuran putih, merah dan hitam). Foto: Wahyu Chandra.
Maccera bola, ritual lain yang dilakukan berupa memotong ayam dari tiga jenis, yaitu berbulu hitam, putih dan bakka (campuran putih, merah dan hitam). Foto: Wahyu Chandra.

Lalu ada juga pesan berupa ra’ba sipatokkong yang berarti bahwa jika ada yang rugi atau tidak mampu maka harus dibantu. Ketika sudah mampu maka harus bekerjasama, yang disebut tokkong sipakarudani, sebagai pesan terakhir.

“Keempat inti pesan leluhur ini menjadi bekal sepanjang peradaban dan di manapun masyarakat Pasang berada. Itulah yang disampaikan Latau Pakka sebagai pembawa pesan pertama di Pasang ini,” jelas Paundanan.

Latau Pakka sendiri dalam kosmologi masyarakat adat Pasang dianggap sebagai Tomanurung atau orang yang diturunkan dari langit di Buntu (Gunung) Pasang, yang berada di sebelah selatan kampung ini.

“Ketika Latau Pakka muncul ia membawa pesan-pesan sebagai aturan hukum di Pasang. Setelah pasang ini lengkap disampaikan, Latau Pakka langsung menghilang entah kemana. Untuk memperingati turunnya Latau Pakka inilah kemudian diadakan ritual maccera manurung tiap tahunnya.”

Pasang atau pesan yang disampaikan Latau Pakka ini sendiri disebut Sajo atau ajaran yang tidak tertulis berisi hukum-hukum adat, baik dari terkait pertanian, keyakinan, kemaslahatan hidup, dan kehidupan manusia. Orang yang menyampaikan sajo ini disebut massajo, yang hanya disampaikan di saat ritual tahunan maccera manurung.

Kelembagaan adat adat Pasang sendiri memiliki empat pilar yang disebut Appa’ Allirinna Wanua, yang dianalogikan sebagai tiang rumah di empat sisi.

“Kalau diibaratkan tiang rumah maka baru bisa berdiri jika berjumlah empat tiang, tapi kalau hanya satu atau dua belum bisa berdiri.”

Keempat pemangku adat ini terdiri atas Tomatua atau pimpinan, lalu ada yang disebut Dulung, sebagai penanggung jawab urusan pertanian. Ada juga yang disebut Sara’ yang mengurusi masalah keagamaan, dan terakhir adalah Sanro atau dukun, yang mengurusi masalah kesehatan.

Terkait pengelolaan sumber daya alam, menurut Paundanan, di komunitas adat Pasang ini berlaku hukum pamali. Misalnya dalam hal pengelolaan sawah, dimana setiap 10 hari terdapat pamali tertentu yang harus ditegakkan oleh pemangku adat.

“Selama di tanah belum tumbuh akar padi, yang biasanya 10 hari, maka pemangku adat tak boleh berhubungan suami istri. Setelah itu, 10 hari selanjutnya, ada lagi pamali lain, dimana warga harus membuat lappa-lappa, potong ayam dan berdoa agar padi segera tumbuh akarnya dan kelak daun padi bisa lebih subur.”

Menurut Paundanan, ketika pamali ini dilanggar maka padi biasanya tidak akan tumbuh dengan baik dan itu berarti ada pemangku adat yang melanggar.

Dalam hal pengelolaan hutan, pamali terkait arah angin, dimana penebangan pohon hanya bisa dilakukan jika angin bertiup dari arah barat. Pengambilan kayu di hutan pun hanya dilakukan jika ada warga yang baru saja menikah namun belum memiliki rumah sendiri.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,