Akhir Konflik dengan Wana Perintis, Orang Rimba Bisa Kelola Lahan

Tumenggung Nyenong, terlihat lega, pasca perdebatan alot membahas poin nota kesepakatan bersama antara Orang Rimba Kelompok Terab dengan PT Wana Perintis.

Nota kesepakatan dengan Orang Rimba, empat ketumenggungan, yakni,  Tumenggung Menyurau, Nyenong, Ngamal dan Nggirang ini, ada 10 poin dengan obyek kesepakatan areal 114 hektar berisi karet berumur tiga tahun. Karet ini bisa dikelola Orang Rimba sebagai agroforestry, silvofishfery, silvopasteur dan kegiatan lain untuk peningkatan ekonomi sesuai UU. Jangka waktu pengelolaan 25 tahun, dan kesepakatan berlaku, Selasa (25/10/16).

Meskipun begitu, ada beberapa poin yang membuat pembahasan poin-poin nota kesepakatan menjadi panjang dan penuh perdebatan. Salah satu poin kelima terkait hak dan kewajiban pihak kedua, dalam kesepakatan itu Orang Rimba, harus kena provisi sumber daya hutan (PSDH) dari hasil penyadapan karet.

Gatot Soebiantoro, Direktur Usaha Hutan Produksi, KLHK, menyebutkan, sesuai Peraturan Menteri Kehutanan  Nomor P.68 tahun 2014 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan PSDH, Ganti Rugi Tegakan dan Penggantian Nilai Tegakan.

 

Baca juga: Selesaikan Konflik Lahan, Begini Kesepakatan Orang Rimba dan Wana Perintis

Berdasarkan peraturan lahan 114 hektar Orang Rimba akan kena PSDH. “Karena ini sudah dikeluarkan dari total luasan wilayah kerja perusahaan 6.900 hektar,” katanya.

Gatot janji membahas lagi aturan lebih lanjut untuk mekanisme PSDH masyarakat adat ini. “Ini kita masih bahas lagi aturannya. Seperti hutan restorasi, kita juga bedakan dengan pola hutan tanaman industri. Kita akan bahas terkait masyarakat adat ini. Ga mungkin juga PSDH nol, pasti ada keringanan.”

Orang Rimba tak perlu bayar PSDH

Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, KLHK mengatakan, aturan yang ada memang menyebutkan semua pengelolaan hutan produksi harus kena PSDH kecuali untuk tujuan sosial.

Begitu juga Orang Rimba yang akan mengelola lahan 114 hektar ini, dalam kesepakatan tertulis kena tetapi nol rupiah.

Untuk itu, katanya, Orang Rimba, tak perlu khawatir akan membayar dana PSDH. “Orang Rimba, jangan khawatir. Tak akan ada pungutan apapun,” katanya via telepon Rabu (2/11/16).

KLHK, katanya,  juga tengah menyurati Kementerian Keuangan untuk memberikan dispensasi kepada pengelolaan hutan produksi buat tujuan sosial.

Harus siapkan aturan khusus

Ilham Kurniawan Dartias, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan, pemerintah harus menyediakan aturan khusus terkait PSDH ini.

Orang Rimba, katanya, masyarakat  adat yang harus dilindungi sesuai amanah Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No 71 tahun 2016 tentang tata cara pengenaan pemungutan PSDH, dana reboisasi, ganti rugi tegakan, denda eksploitasi dan iuran usaha pemanfaatan hutan soal obyek pengenaan PSDH tak mencantumkan kemitraan kehutanan masyarakat adat kena PSDH.

Orang Rimba, katanya, hanya mengelola sumber daya hutan sebatas mencukupi penghidupan bukan untuk bisnis.

“Kalau dikaji ulang lahan 114 hektar 169 keluarga. Jadi ga cukup satu hektar per kepala keluarga kalau kita bagi rata. Paling cuma setengah hektar, dengan harga karet sering anjlok, kan untuk penghidupan saja,” katanya.

Temenggung Nyenong hanya tahu, kalau nanti mereka menjual hasil sadapan karet kepada perusahaan harga sama dengan toke. “Nanti, kami jual karet ke perusahaan. Kami berharap harga sama dengan toke,”katanya.

Orang Rimba, perusahaan dan pemerintah foto bersama usai penandatanganan kesepakatan di Jambi. Foto: Elviza Diana
Orang Rimba, perusahaan dan pemerintah foto bersama usai penandatanganan kesepakatan di Jambi. Foto: Elviza Diana

Tunggu tata  batas selesai

Keempat kelompok Tumenggung Orang Rimba ini belum bisa kembali ke lahan 114 hektar karena ada perbedaan peta klaim diajukan Orang Rimba dan perusahaan.

Binsar Nainggolan, Manajer Lapangan Wana Perintis memint,a hingga ada penyelesaian perbedaan peta, Orang Rimba belum bisa kembali ke lahan. Dia bilang, guna meminimalisir bentrokan. “Kami berharap, Orang Rimba tak kembali dulu ke lokasi, sampai masalah peta selesai,” katanya.

Temenggung Ngamal keberatan dengan keputusan ini. Baginya, setelah selesai tanda tangan, mereka bisa keraktivitas di lahan 114 hektar seperti biasa. “Kamilah hampir sebulan meninggalkan lokasi. Saat ini hidup berpencar-pencar. Kalau biso jangan lamo-lamo,” katanya.

Senada dengan itu Temenggung Nyenong, mengatakan, mereka tak tahu menahu soal peta dan nota-nota kesepakatan. Yang mereka inginkan, hidup kembali sebelum pengusiran. “Kami hopi mengerti tentang poin-poin nota kesepakatan, kami inginkan hanya kembali ke lahan.”

Meskipun demikian, Nyenong akan mengikuti semua keputusan nota kesepakatan, “Selama lahan dan luasan jugo samo 114 hektar, idak apo-apo kalau harus menunggu. Kami dak mau kalau lahannyo diganti, kami sudah berkorban tenaga untuk merawat karet tu,” katanya.

Selain tenaga mengelola lahan 114 hektar, Nynong juga menyebutkan kalau areal itu tanah peranoan dan wilayah adat dalam ritual besale bagi mereka.

“Kalau sekaranglah digusur semua, kalau dulu itu tempat melahirkan bagi kami di Rimba atau disebut tanah peranoan. Juga tempat kami bertemu dewo dan nenek moyang, besalas atau besale,” katanya.

Eka W. Soegiri, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK menjanjikan secapatnya perbedaan peta ini diselesaikan.  “Paling tiga hari sudah selesai soal peta itu. Kita juga akan ke lapangan meninjau langsung kondisi Orang Rimba.”

Binsar menyebutkan perbedaan peta klaim di arah sebelah barat, dimana kebun pembibitan masuk dalam kawasan 114 hektar. “Perbedaannya di areal sebelah barat, ada kebun pembibitan masuk.”

Dia berharap, nota kesepakatan ini bisa dijalankan kekedua pihak. Pihak, katanya, pada ketidakpahaman Orang Rimba budidaya karet.

Untuk itu, akan ada tim bersama terdiri dari pemerintah, dan pendamping,  Warsi. “Kalau kami, perusahaan susah berkomunikasi dengan mereka (Orang Rimba-red).”

Dalam nota kesepakatan juga membahas pembentukan tim bersama 15 orang terdiri dari perusahaan, Orang Rimba, Dinas Kehutanan Jambi. Juga Dinas Sosial Batanghari dan Jambi dan UPT yang mengurus hutan produksi dan Warsi.

Masih banyak kasus

Terkait penyelesaian konflik kehutanan di Jambi, Kepala Dinas Kehutanan Irmansayah Rachman mengatakan, masih banyak harus mereka selesaikan. “Sebagian sudah ada kesepakatan, seperti di Senyerang, Bathin Sembilan dengan PT Restorasi Ekosistem. Orang Rimba dengan Wana Perintis, Kemitraan di REKI juga, Kemitraan juga di PT Arangan Hutani Lestari,” katanya.

Yang lain, masih berjalan seperti PT WKS dangan masyarakat empat kabupaten yaitu Tebo, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur dan TanjungJabung Barat. “PT Wana Kasita Nusantara dan Agro Alam Semesta yang masih belum rampung.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,