Berada di Ketinggian, Tetapi Mengapa Kota Sungaipenuh Kerinci Rawan Banjir?

Jika ada sebuah kota yang berada di tengah sebuah taman nasional, itulah Sungaipenuh. Kota ini berada di tengah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Berada di ketinggian antara 700 – 1.000 mdpl. Kota ini berada di sebuah lembah di kawasan Kerinci Jambi, berpenduduk sekitar 90 ribu jiwa, dengan luas 39.150 hektar, sekitar 23.117,6 hektarnya merupakan kawasan TNKS.

Secara topografis wilayah ini dikelilingi oleh barisan perbukitan dan pegunungan, dan berjarak sekitar 16 kilometer dari Danau Kerinci yang luasnya sekitar 4.200 hektar. Diperkirakan kedalaman ada yang mencapai 110 meter. Sumber utama air Danau Kerinci berasal dari Gunung Rayo.

Secara alami Danau Kerinci mengalirkan airnya ke sejumlah anak sungai yang bermuara ke Sungai Merangin yang selanjutnya mengalir ke Sungai Batanghari sebelum ke laut.

Saat ini Danau Kerinci dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air persawahan dan pertanian, ikan tangkap dan pembesaran, penggalian pasir, serta sebagai lokasi objek wisata.

Sebagai penghubung antara kota dan danau, selain sungai juga terdapat kawasan rawa yang dijadikan area lahan persawahan.

Yang menjadi persoalan, persawahan di kota Sungaipenuh tersebut yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan, lambat laun sekarang sebagian berubah menjadi lahan perumahan maupun pertokoan setelah ditimbun.

“Termasuk pula pembangunan jalan yang melintas daerah rawa, sehingga air yang mengalir tidak selancar sebelumnya,” jelas Dicky Al-Musra, seorang penggiat lingkungan di Sungaipenuh, saat dijumpai Mongabay di pertengahan Oktober lalu.

“Kami cemas nian dengan seringnya banjir melanda kota kami ini.”

Pemikiran Dicky ada benarnya. Sebagai kota yang terdiri dari rawa, sungai, dan perbukitan, Sungaipenuh selalu kaya dengan air.

Apalagi curah harian rata-rata dalam satu tahun berkisar 49,4-169,9 milimeter. Jika sebelumnya kondisi tersebut banyak memberikan berkah bagi masyarakat, saat ini hampir setiap tahun sebagian besar kawasan Sungaipenuh mengalami banjir.

Penambangan pasir di Danau Kerinci. Foto Taufik Wijaya
Penambangan pasir di Danau Kerinci. Foto Taufik Wijaya

Mengapa terjadi banjir?

Dicky memperkirakan hal tersebut dikarenakan sungai dan Danau Kerinci tidak mampu menampung arus air yang turun dan datang. Baik secara langsung maupun yang dialirkan dari wilayah perbukitan yang mengurung Sungaipenuh sebagai wilayah tangkapan air.

Wilayah pemukiman yang sering mengalami banjir berada di Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Tanah Kampung, Kecamatan Bungkal, Kecamatan Kumun Debai. Semuanya berada di kota Sungaipenuh.

“Akibat danau tak mampu menyeimbangkan air yang datang dan yang dialirkan, sungai-sungai pun meluap. Seperti Sungai Batang Merao yang mengalir di desa kami,” kata Dicky.

“Apalagi desa kami ini berada di bawah Bukit Sumedang, yang volume airnya cukup banyak,” lanjutnya. Sungai Batang Merao merupakan satu dari beberapa sungai yang mengalir ke Danau Kerinci.

Selain banjir, ancaman saat musim penghujan di Sungaipenuh yakni longsor. Dijelaskan Dicky beberapa desa yang rawan longsor di Sungaipenuh antara lain Tanah Kampung, Koto Baru, Koto Dian, Sungai Jernih, Aur Duri, Lawang Agung, Karya Bhakti dan Koto Renah.

Setiap kali banjir, persawahan di Sungaipenuh mengalami gagal tanam atau panen. Akibat banjir yang melanda Sungaipenuh pada akhir 2015 dan awal 2016 lalu, sekitar 194 hektare sawah yang tergenang air. Persawahan di Sungaipenuh umunya dilakukan penanaman dua kali musim dalam setahun.

Salah satu sudut pemukiman masyarakat di kota Sungaipenuh, Kerinci, Jambi. Foto Taufik Wijaya
Salah satu sudut pemukiman masyarakat di kota Sungaipenuh, Kerinci, Jambi. Foto Taufik Wijaya

Sedangkan sebaliknya pada saat musim kemarau, sebagian masyarakat mulai merasakan krisis air, khususnya mereka yang menetap di perbukitan atau di dataran tinggi.

“Itu semua karena banyak hutan yang rusak, dijadikan perkebunan maupun pertanian,” kata Okta Riko, penggiat lingkungan hidup dari KBC (Kerinci Birdwatching Club).

Okta sendiri menetap di Desa Tanjung, Kecamatan Hamparan Rawang, yang hampir setiap tahunnya mengalami banjir.

Bukan hanya banjir, longsor dan kekeringan, yang mengancam Sungaipenuh, juga kebakaran hutan dan lahan. Pada awal Oktober 2016 lalu, sekitar 20 hektar hutan dan lahan di Bukit Sentiong, Kecamatan Sungai Bungkal, terbakar.

“Setiap musim kemarau selalu ada kebakaran. Saya kira pemerintah harus membina atau membantu para petani agar mereka tidak membuka hutan dan mengolah lahan tanpa bakar. Bukan hanya dilarang,” jelas Okta.

Mengutip Rudy Syaf, manajer komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) Jambi awal 2016 lalu, kerusakan hutan di Jambi selama 10 tahun terakhir mencapai 934 ribu hektar dari 2,1 juta hektar luas hutan di Jambi.

Sementara hutan alam atau primer yang berubah menjadi HTI, perkebunan, hutan sekunder seluas 883 ribu hektar.

Persawahan dan pertanian sayur di Sungaipenuh yang menyebabkan hutan TNKS terus tergerus. Foto Taufik Wijaya
Persawahan dan pertanian sayur di Sungaipenuh dengan latar belakang bukit yang terus tergerus. Foto Taufik Wijaya

Rusaknya Kawasan Lindung

Terbukanya kawasan hutan di kaki Gunung Rayo, untuk pertanian dan perkebunan oleh masyarakat desa maupun pendatang, di sekitar Kecamatan Danau Kerinci dan Kecamatan Keliling Danau yang berada di atas Danau Kerinci, menjadi problem serius saat ini.

Akibatnya berubahnya tata ruang, dari yang sebelumnya vegetasi tegakan pohon menjadi area pertanian, membuat pada saat hujan turun di wilayah Gunung Rayo, tidak mampu lagi tertampung sepenuhnya.

Padahal kerusakan DAS ini langsung berpengaruh dengan keberadaan Sungai Penuh. Sebagai kawasan resapan daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, desa-desa yang tercakup rawan banjir mencapai 244 desa. Demikian pula, sekitar 180.305 hektar lahan pertanian dan pemukiman menjadi langganan banjir.

Selain Sungaipenuh kawasan rawan longsor di DAS Batanghari, adalah Kabupaten Kerinci, Merangin dan Sorolangun.

Menurut Iskandar Zakaria, salah seorang budayawan Sungaipenuh, keberadaan Sungaipenuh tergantung kepada bagaimana masyarakat mampu mengelola alamnya.

Jika masyarakat tidak menjaga hutan dan lahan sekitar Danau Kerinci, bukan tidak mungkin kota Sungaipenuh akan tenggelam karena banjir atau sebaliknya mengalami kekeringan.

“Satu-satunya cara menghindari hal tersebut, pemerintah dan masyarakat menjaga hutan dan danau dari kerusakan,” katanya.

Semoga Kota Sungaipenuh tidak tenggelam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,