Dulu Angkutan Ini Bawa Hasil Tani, Kini Jadi Koleksi

Dulu, gerobak sapi ini menjadi angkutan andalan warga. Tak hanya membawa hasil tani di lingkungan sekitar, bahkan untuk antarkota. Kini, angkutan bebas polusi ini sudah langka, lebih banyak menjadi koleksi ketimbang mengangkut barang-barang.

Sariman, 75 tahun, kerap dipanggil Mbah Montil,  tengah menyelesaikan gerobak sapi pesanan. Dengan hati-hati dia memasang anyaman bambu pada rangka kayu yang menyerupai jendela.

“Namanya Tepong. Dipasang di belakang gerobak untuk tutup,” katanya, menjelaskan nama dan fungsi bagian gerobak sapi yang sedang dikerjakan.

Saya menemui dia akhir bulan lalu di rumahnya di Gangsiran, Madurejo, Prambanan, sekaligus bengkel gerobak sapi.

Di tempat itu setidaknya ada dua gerobak sapi menunggu sentuhan reparasi. Satu buah lagi sedang dibangun. Salah satu dinding rumah penuh mural. Ada pula foto-foto, memperlihatkan saat dia bersama Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono ke-10 dan seniman Kartika Affandi.

“Itu saat saya dipanggil Sri Sultan sebelum akhirnya diadakan festival gerobak sapi beberapa waktu lalu,” katanya.

“Ini saat bertemu Kartika Affandi. Saya diminta membawa dua gerobak sapi untuk dilukis olehnya. Saya dibayar Rp2 juta, salah satu gerobak sapi dibeli Rp25 juta oleh Kartika.”

Sariman, bukan nama asing di kalangan pemilik dan pengemar gerobak sapi di seputaran Yogyakarta. “Sekitar 70% gerobak sapi di daerah sini buatan saya,” ujar dia..

Sejak 1965, dia membuat gerobak sapi. Leluhurnya dikenal sebagai tukang gerobak. Kakeknya bekel atau pamong desa di Madurejo, Prambanan, pemilik 10 gerobak sapi.

Gerobak sapi sang kakek biasa untuk mengangkut tebu ke pabrik gula Madukismo. Orangtuanya mewarisi gerobak, untuk mengangkut hasil pertanian.

“Sebelum 1975, gerobak sapi seperti truk sekarang. Tarif sekali narik berikut materialnya, misal batu bata sekitar Rp150 diantar sampai rumah,” kenang Sariman.

Sekitar 1980-an, keberadaan kendaraan tanpa bahan bakar ini, mulai surut. Laiknya truk, gerobak sapi mengangkut barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan hasil pertanian. Dulu, bahkan jadi angkutan antarkota.

“Bapak saya biasa menjalankan gerobak sapi ke Wonosari, seminggu dua kali. Bahkan Semarang. Kalau ke Wonosari waktu dua hari pulag pergi. Semarang dua bulan pulang pergi dengan rute Prambanan, Pasar Ngasem, Tempel, terus ke utara, sampai Semarang,”katanya.

Biasa, setiap menempuh jarak 15 kilometer sapi istirahat untuk makan sekitar tiga jam. Makanan sapi bisa dibawa dari rumah. Zaman dulu,  ada tempat-tempat khusus menjadi pangkalan gerobak sapi macam terminal bus era sekarang. Namanya Koplakan.

Gerobak dan sapi sedang istirahat. Foto: Nuswantoro
Gerobak dan sapi sedang istirahat. Foto: Nuswantoro

Di sana, biasa ada menjual makanan sapi maupun bajingan, sebutan untuk pengemudi gerobak sapi di Jawa, khusus Yogyakarta sekitar. Di Yogyakarta, koplakan besar ada di Pasar Ngasem dan Karang Kajen.

Menurut Sariman, sapi di Yogyakarta, selain untuk membajak sawah juga menarik gerobak. Berbeda dengan kerbau, hanya membajak.

“Sapi stamina lebih kuat. Kerbau tak tahan panas, sapi tahan panas. Kerbau kalau narik gerobak jarak jauh tak kuat. Kalau sapi kuat narik dua hingga tiga bulan, asal nggireke (mengendalikan gerobak) kuat,” katanya.

Seiring perkembangan zaman, bentuk dan bahan gerobak sapi berubah. Dulu, masih sederhana, sekarang banyak variasinya, misal, kalau dulu atap terbuat dari bambu dan ijuk. Sekarang memakai seng. Kayu bisa apa saja.

“Kayu besi, sonokeling, atau mahoni, sesuai selera pemesan dan harga. Kalau dulu memakai kayu jati. Dengan rangka kayu jati biaya pembuatan gerobak sapi minimal Rp20 juta. Kalau kayu asal-asalan Rp10 juta sudah bisa,” ucap Sariman.

Motif hiasan sekarang juga beraneka. Umumnya gambar dekoratif wayang, hewan ternak atau ikan. Sementara roda gerobak sapi asli dari besi. Harga lebih mahal dari roda ban truk.

“Sekarang sudah langka. Kalau roda ban cukup menghabiskan Rp3 juta hingga Rp4 juta. Roda besi bisa sampai Rp10 juta untuk roda saja. Mirip roda delman, hanya pakai besi. Tidak pakai karet,” katanya.

Dalam sebulan rata-rata Sariman bisa menyelesaikan satu gerobak sapi. Dia dibantu anak-anaknya, Budi Santoso, Triwidayanto, Kiswantoro, Ruri Setyawan, dan Ari Wibowo. Ruri menemani Sariman saat saya menemui.

“Ujung melengkung di depan namanya trucuk,” kata Ruri menerangkan bagian-bagian gerobak sapi. “Semua bagian punya nama.”

Tepong nama penutup belakang gerobak. Rem disebut klusut. Tali rem namanya gulak. Kayu panjang menengadah ke atas namanya manukan. Tempat leher sapi disebut sambilan, kayu yang menggelantung untuk mengunci leher sapi disebut angkul-angkul.

Tali kekang disebut dadung. Batang leher gerobak disebut cancatan. Sikon adalah segitiga yang menghubungkan cancatan dengan badan gerobak. Di belakangnya ada tumpangsari tempat bajingan duduk mengendalikan sapi.

Empat tiang kecil disebut drajuk. Per roda atau ban disebut gonjo, rangka segi empat menopang gerobak disebut watonan. Payonan adalah atap gerobak, dan gribig adalah anyaman bambu sekaligus dinding di kanan dan kiri gerobak.

“Embel-embel adalah semacam sirip di belakang gerobak. Dulu anak-anak kecil suka sekali bergelayutan di embel-embel ini,” kata Ruri, sambil menirukan gaya saat anak-anak bergelayutan.

Gerobak Sariman kerap dicari kolektor, dimiliki beberapa tokoh penting, dan menjadi koleksi Taman Mini Indonesia Indah.

Sariman bilang, gerobak sapi kini lebih banyak jadi koleksi pribadi, pajangan, atau pengisi acara budaya. “Sudah amat jarang mengangkut barang.”

Sariman, sedang menyelesaikan satu bagian gerobak. Foto: Nuswantoro
Sariman, sedang menyelesaikan satu bagian gerobak. Foto: Nuswantoro
Gerobak sapi dan sepeda, dua angkutan bebas polusi. Foto: Nuswantoro
Gerobak sapi dan sepeda, dua angkutan bebas polusi. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,