COP-22 Marrakesh, Bahas Upaya Konkret Turunkan Suhu Bumi, Bagaimana Kontribusi Indonesia?

Konferensi para pihak (Conference of the Parties) ke-22 di Marakesh, Maroko, rencana berlangsung sampai 18 November ini, sudah dibuka Senin (7/11/16), tengah malam waktu Indonesia. Sebelum itu, pada 4 November 2016, Perjanjian Paris mulai berlaku setelah diratifikasi 100 dari 197 negara pihak. Indonesia, menjadi salah satu negara yang meratifikasi, masuk daftar per 31 Oktober 2016.

Perjanjian Paris telah diadopsi, pada pertemuan para pihak (COP) 22, Paris, Prancis, Desember 2015. Kali ini, para pihak akan fokus membahas isu-isu bagaimana mengimplementasikan Perjanjian Paris.  Semestinya, dalam pertemuan kali ini mereka mulai menghasilkan langkah-langkah konkret mencegah kenaikan suhu bumi.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan  Indonesia, mengatakan, kerjasama antarnegara sangat penting dalam merealisasikan Perjanjian Paris.

Siti bilang, Perjanjian Paris memiliki visi meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan bangsa lain di dunia secara timbal balik lebih efektif dan efisien.

“Baik aksi pencegahan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan dukungan pendanaan, penggunaan inovasi teknologi, peningkatan kapasitas didukung mekanime transparansi serta tata kelola berkelanjutan,” katanya dalam rilis kepada media.

Pentingnya pembiayaan

Soal dukungan pembiayaan juga menjadi penekanan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Patricia Espinosa. Dia mengatakan, keuangan, merupakan jantung keberhasilan pelaksanaan Perjanjian Paris.

“Di luar itu, keuangan di jantung mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan,” katanya dikutip dari website UNFCCC, dalam pembukaan acara khusus Komite Tetap Keuangan soal Penilaian Biennial dan Ikhtisar Iklim Arus Keuangan di COP-22, Selasa (7/11/16).

Tanpa arus keuangan sesuai keperluan, baik Perjanjian Paris maupun sustainable development goals (SDGs), katanya,  sebagian besar akan tetap jadi janji daripada kenyataan.

Dia senang, penilaian dalam dua tahun ini memperlihatkan perkembangan ke arah baik, pertama, ada upaya negara-negara maju bergerak setuju penyediaan dana US$100 miliar per tahun pada 2020.

Penilaian kedua mencatat, secara keseluruhan, keuangan iklim global pada 2014 menunjukkan peningkatan, dibandingkan penilaian sebelumnya.

Ketiga, penilaian merupakan upaya memberikan transparansi lebih besar mengenai pembiayaan iklim publik dan swasta.

Penilaian, katanya, juga jelas memperlihatkan, bagaimana arus pembiayaan iklim kecil konsisten dengan tren lebih luas dalam investasi global.

“Dalam hal ini, penilaian memberikan dasar sangat baik untuk pekerjaan yang harus dilakukan di sini, di Marrakesh dan di tahun-tahun mendatang,” katanya.

Espinosa mengatakan, pekerjaan mereka juga diinformasikan dalam penilaian ini, hingga memberikan gambaran di mana mereka perlu melipatgandakan usaha bersama guna memastikan kemajuan nyata.

Sofyan Djalil, paling kanan tampak di jajaran delegasi RI dalam pembukaan COP-22, Marakesh, Maroko. Foto: Humas KLHK
Sofyan Djalil, paling kanan tampak di jajaran delegasi RI dalam pembukaan COP-22, Marakesh, Maroko. Foto: Humas KLHK

Upaya Indonesia

Penyumbang emisi terbesar Indonesia, dari sektor kehutanan dan lingkungan. Untuk itu, ucap Siti, Indonesia berusaha meningkatkan tata kelola hutan, mencegah kebakaran hutan, memberantas penebangan liar (illegal logging), pengembangan energi terbarukan, sampai pengelolaan sampah.

“Kami terus bekerja bersama dengan kementerian terkait dan pemerintah daerah serta melaporkan terus menerus progres penurunan emisi kepada Presiden dan Wakil Presiden,” katanya, kala pembukaan paviliun Indonesia di pertemuan COP itu.

Senada dikatakan Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepla BPN. Menurut dia, Indonesia telah berupaya menekan emisi sektor kehutanan, seperti dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Instruksi Presiden Joko Widodo, katanya,  sangat jelas akan menekan dan membuka seluruh kasus karhutla.

Kontribusi penurunan emisi

Kesempatan sama, Nur Masripatin,  Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, mengatakan, tahun lalu Indonesia sudah menyampaikan Intended Nationally Determinated Contributions (INDCs) dengan target penurunan emisi karbon 29%, atau 41% dengan bantuan luar pada 2030.

Nationally Determinated Contributions (NDC) sudah disusun dan dibawa ke COP Maroko ini dengan susunan penyumbang terbesar tetap sektor hutan dan lahan sebesar 17,32%-23, disusul energi 11-14%, limbah (waste) 0,38%-1% dan proses industri serta penggunaan produk (industrial process and product use ) 0,10%-0,11%.

Soal besaran kontribusi sektor dalam NDC ini–sejak awal, kala bahasan INDC–, dari 29% penurunan emisi sampai 2030, yang akan menjadi sektor tertinggi itu energi termasuk transportasi. Pembahasan cukup panjang, berbulan-bulan, berakhir, sektor lahan tetap penyumbang tertinggi.

Sebelum ini, Siti mengatakan, penetapan angka NDC itu melalui pembahasan  alot. “Itu hasil nego yang berat, tadinya kan energi yang tinggi. Setelah dilihat kondisi batubara, pembangunan infrastruktur kita,  ya udah, tanahnya aja yang paling diketatin,” katanya, pekan lalu di Jakarta.

Dari sektor lahan, katanya, berbagai langkah dan kebijakan pengurangan emisi sudah berjalan, seperti mengurangi kebakaran hutan, restorasi gambut, moratorium gambut dan hutan alam serta sedang disusun moratorium sawit.

Menurut dia, kondisi lingkungan sudah kritis. Andai penanggalan dalam bulan (1-30 hari), lingkungan berada pada hari ke-29.

“Kondisi lingkungan nih, kalau satu bulan itu 30 hari, kita di hari ke-29. Karena itu usaha dari sektor kehutanan harus paling luar  biasa,” katanya. Penyebabnya, ucap Siti, sudah puluhan tahun terjadi dan tak tertangani.

Meskipun begitu, kata Nur, besaran kontribusi penurunan emisi dalam NDC bisa berubah terutama sektor energi. Dia menilai, dengan menteri dan wakil menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru, masih terbuka diskusi buat peningkatan energi terbarukan.

“Itu kita bisa review lagi, bisa gak kita meningkatkan ambisi sektor energi untuk mengurangi beban sektor lahan. Kemudian, kalau kita melihat ada potensi lain juga, seperti sektor aviasi.”

Dengan begitu, katanya, sebenarnya masih optimis bisa merevisi sektor energi.

Dia bilang, awal-awal menempatkan energi berkontribusi besar karena tren seperti itu. “Tapi setelah kita bicarakan, ini kok kayaknya berat sekali. Sekarang yang bisa kita dorong lebih jauh itu pengembangan energi terbarukan dan kebijakan di sektor transportasi,” katanya.

Menurut Nur, dalam negoisasi di COP nanti, akan membahas aturan main dalam NDC. “Di situ bicara, bagaimana feature NDC, kemudian memberikan pemahaman sama di internasional agar transparan. Apa saja yang dimasukkan dan masing-masing berapa serta asumsi yang dipakai apa saja,” katanya. Dari sana, akan mencerminkan apa yang harus dilakukan pada tiap sektor.

Tak jauh beda dikatakan Emma Rachmawati, Direktur Mitigasi, Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, KLHK. Menurut dia, di COP22 ini akan melanjutkan negosiasi di Paris.

“Waktu itu (Paris) negosiasi kita bisa adopsi agreement. Setelah kita adopsi, tentu kita bicara bagaimana bisa implementasi,” katanya, pekan lalu.

COP-22 ini, katanya, akan fokus membahas upaya implementasi Perjanjian Paris. Pada pertemuan ini juga akan menagih komitmen pendanaan negara-negara maju. Dalam COP-22 ini, katanya, komitmen sudah harus jelas. “Kalau dulu kan baru disampaikan komitmen berapa, nanti di sana benar-benar nagih mana konkretnya.”

Dalam pertemuan itu, juga akan membahas dukungan negara-negara maju selain pendanaan seperti transfer tehnologi, maupun peningkatan kemampuan. “Karena negara berkembang punya hak untuk dapat bantuan negara maju,” katanya.

Kini, posisi negara maju dan berkembang sama, sama-sama harus menurunkan emisi.  “Bedanya tergantung NDC. Jadi kalau negara berkembang merasa kemampuan rendah, target NDC sesuai kemampuan aja. Bahkan negara kecil target lebih ke adaptasi,” ucap Emma.

Indonesia, katanya, negara berkembang yang lebih maju dengan komitmen tinggi, 26% sampai 2020 dan 29% pada 2030, seharusnya, secara nasional punya target lebih ambisius.

Konsisten

Kontribusi penurunan emisi dari 29% sudah terbagi-bagi per sektor. Dengan begitu, katanya, tinggal mengatur mekanisme, dari perencanaan, pelaksanaan sampai pelaporan seperti apa.

“Yang paling berat adalah bagaimana kita bisa konsisten melakukan itu. Karena kan kita (biasanya) bagus di aksi tapi gak bagus di-maintenance,” katanya.

Dia mencontohkan, bangun biogas, hanya bertahan satu sampai dua tahun, tak ada pengaturan agar operasi berlanjut.

“Yang pasti itu harus terukur, tak bisa di atas kertas doang. Fakta di lapangan gimana? Apa betul biogas itu masih beroperasi?”

Dalam pengukuran pencapaian penurunan emisi nanti, akan datang tim verifikasi internasional langsung melihat pekerjaan-pekerjaan di lapangan.

Dia sadar, aksi-aksi penurunan emisi ini perlu kerja berat, dan menjadi pekerjaan besar bersama.

“Saya sih melihat ini kesempatan untuk kita. Kita dituntut bersungguh-sungguh mengelola itu. Kalau kita kelola limbah dengan baik, (misal), pe-er kita untuk reduksi emisi jadi lebih rendah,” ujar dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,