Eksotisme Togian yang Pantang untuk Dilupakan (Bagian – 1)

Langit makin mendung ketika Tuna Tomini melempar sauh. Kapal feri itu mengarungi lautan sekitar 12 jam lamanya. Bertolak dari pelabuhan Kota Gorontalo di malam hari, dan tiba tanpa sambutan matahari pagi di pintu Pelabuhan Wakai, Kepulauan Togian (Togean), Sulawesi Tengah.

Pagi di awal Oktober 2016 itu, penduduk sekitar Wakai menyambut kami di tepi dermaga. Mereka menyaksikan Kapal Tuna Tomini memuntahkan satu persatu penumpangnya, mulai dari barang, hingga kendaraan yang memenuhi tubuhnya. Para penjaja makanan beringsut masuk ke kapal menawarkan dagangannya kepada setiap penumpang.

Beberapa wajah pelancong kulit putih ikut turun dari kapal. Satu dua penduduk lokal mendatangi mereka sembari menawarkan jasa perahu dengan tujuan cottage yang berdiri di garis pantai Togian yang indah. Di sebuah pojok, jejeran ibu-ibu berteriak menawarkan jajanan. Nasi bersayur kangkung dan ikan karang bakar menjadi menu andalan. Tempat mereka jualan beratap daun rumbia dan bertiang kayu.

Gerimis turun ketika seorang lelaki paruh baya berkaos oblong, celana pendek, dan berkupluk mendekati saya yang baru saja turun dari feri.

“Jika ingin sewa perahu, saya siap antar,” kata Ashari Komendangi, nama lelaki itu.

Ali, panggilan Ashari, adalah satu dari sekian banyak orang sekitar Wakai yang saban hari menunggu kapal berlabuh sembari menawarkan jasa perahu.

Wakai adalah sebuah desa di Pulau Batudaka, salah satu pulau terbesar di Kepulauan Togian. Menyusuri Wakai adalah menyusuri ketenangan. Kendaraan tak ramai. Jarang sekali terlihat mobil. Jalan kampung belum lama diaspal, baunya masih kentara. Sepeda motor hanya sesekali lewat. Sebagian rumah tertata rapi, dan beberapa di antaranya terdapat penginapan. Pemandangan ini sangat lumrah karena Wakai adalah persinggahan para pelancong dari berbagai negara.

Wakai juga menjadi salah satu pusat kecamatan yang paling ramai di gugusan Kepulauan Togean. Di alun-alunnya terdapat lapangan bola dan tenis, serta tribun yang kerap dipakai sebagai upacara 17 Agustus. Pasar kecilnya setiap sore mempertemukan pembeli dan penjual. Sementara sebuah muara kecil membelah pasar ini yang dilintasi perahu warga.

Desa Wakai sendiri termasuk dalam administrasi Kecamatan Una-una dengan potensi perkebunan yang paling menonjol adalah kelapa dan cengkih. Meski laut lebih luas dari Wakai, namun tidak banyak warganya yang berprofesi sebagai nelayan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1.611 jiwa, warganya lebih memilih berkebun.

“Dinas Perikanan dari kabupaten memberikan bantuan mesin ketinting dan lampu LED, namun belum kami salurkan bantuannya karena masih mencari nelayan yang aktif,” ungkap David, Kepala Seksi Pemerintahan Desa Wakai.

Saya menemui David di Kantor Desa Wakai. Menurutnya, selain menjadi nelayan, banyak warga yang menjadi ojek perahu untuk wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Togean. Mereka juga menggarap kebun yang berada di hutan tak jauh dari rumah mereka.

“Tapi kebun warga ini sering diserang hama. Hamanya adalah babirusa.”

David bercerita tentang kebun yang dikelola bapaknya. Diakuinya, musuh utama petani di Wakai adalah babirusa. Untuk mengusirnya, petani membuat jerat. Setelah babirusa tertangkap, petani membiarkannya membusuk dimakan hewan lain, atau dibakar begitu saja.

Siang itu, saya diajak Darmin Botutihe, petani di Wakai, ke kebunnya yang melewati tutupan hutan sangat bagus. Jaraknya sekira 30 menit naik motor. Di kebun seluas dua hektare lebih itu, Darmin menanam jagung, pisang, kelapa, ubi, dan kedelai. Kebunnya berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang masuk dalam Taman Nasional Kepulaun Togean.

Pemandangan indah di Pulau Kadidiri yang berada di Kepulauan Togian. Foto: Wikipedia
Pemandangan indah di Pulau Kadidiri yang berada di Kepulauan Togian. Foto: Wikipedia

Dari kebun Darmin ini, Pelabuhan Wakai terlihat sangat jelas. Juga pulau-pulau kecil lainnya. Di sini suara burung dengan berbagai jenis terdengar lepas. Karena banyaknya burung, Maman Pakaya, salah seorang keponakan Darmin yang ikut membantu di kebun, memasang jerat dua hari sebelumnya dan berhasil menangkap empat ekor burung nuri sekaligus. Burung itu berwarna hijau dengan mulut berwarna merah, seekornya lagi berwarna kuning, yang dipelihara sebagai pajangan rumah mereka.

“Kebun saya berbatasan langsung dengan taman nasional. Setiap sore burung rangkong sering bermain di pohon ini,” ucap Darmin.

Taman Nasional Kepulauan Togean memang dikenal dengan ekosistem lautnya yang indah, dengan luasan 292.000 hektare. Namun, tak banyak yang tahu kalau taman nasional ini juga memiliki ekosistem hutan yang masih terjaga seluas 70.000 hektare, dengan berbagai macam spesis endemiknya. Wilayah ini diresmikan sebagai taman nasional sejak 2004. Darmin sendiri mengaku beberapa kali mengikuti sosialisasi yang dilakukan oleh balai taman. Namun, ia menganggap masih banyak warga yang tidak bersepakat dengan taman nasional, termasuk dirinya sendiri.

“Saya tidak sepakat dengan taman nasional, karena membatasi wilayah masyarakat. Sementara tata batasnya juga tidak jelas sampai saat ini. Kalau untuk ekosistem laut, tidak jelas yang mana zona intinya, begitupun di hutan, kami tidak tahu zonasinya.”

Di kebun itu Darmin membangun pondok, tempat mereka istirahat sekaligus menetap beberapa hari jika panen. Tidak jauh dari pondok ada tumpukan jagung yang siap diangkut. Wilayah pemasarannya ke Gorontalo, karena aksesnya yang mudah menggunakan ferry. Tujuan lainnya ke ibukota kabupaten, Ampana, atau ke Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu.

Di wilayah hutan ini, Darmin tidak sendirian. Di sepanjang jalan akan terlihat beberapa warga berkebun. Salah satu tanaman yang menjadi favorit adalah cengkih. “Tapi, beberapa luasan kebun cengkih di sini justru dimiliki orang dari luar pulau, Manado.”

Pemandangan di Kepulauan Togian yang menyejukkan mata. Foto: Christopel Paino
Pemandangan di Kepulauan Togian yang menyejukkan mata. Foto: Christopel Paino

Satwa khas

Di Wakai, setiap warga yang saya tanyai apakah ada hama yang merusak perkebunan, jawaban mereka akan mengarah ke babirusa. Informasi itu tidak hanya disampaikan oleh laki-laki, namun juga ibu-ibu yang biasa berkebun. Salah seorang warga kemudian merekomendasikan saya untuk mencari tahu babirusa di Desa Benteng, Kecamatan Togian.

Esoknya, saya berangkat menuju Desa Benteng yang jaraknya 2 – 3 jam perjalanan menggunakan perahu katinting. “Di sini banyak babirusa. Mereka itu hama, suka merusak kebun warga,” kata Arfan Bente Sigi, warga Benteng yang menjabat Kepala Seksi Keuangan Kantor Desa Benteng,

Saya memutuskan menetap beberapa hari di sini. Tak ada sinyal telepon dan aliran listrik PLN. Pemerintah desa hanya menyediakan listrik memakai mesin genset berbahan bakar bensin yang menyala dari pukul 06.00 sore hingga 23.00 Wita, atau kadang ditambah satu jam hingga pukul 00.00 dini hari. Di malam hari, saya berdiskusi dengan warga. Dari mereka saya banyak mendapatkan informasi tentang satwa-satwa khas Togian dan Sulawesi.

Muhidin Ilyas, misalnya, bercerita bagaimana mereka melihat burung Alo atau rangkong di hutan dekat kebun warga. Selain itu, mereka sering bertemu tarsius, kuskus, hingga buaya di muara yang terletak di sudut kampung mereka.

“Kalau babirusa banyak. Karena sering kena jerat, dibiarkan begitu saja sampai membusuk dan menjadi tulang belulang atau dibakar,” katanya.

Siangka Bunahi, masyarakat setempat, memperlihatkan tengkorak babirusa yang bagi masyarakat dianggap sebagai hama. Foto: Christopel Paino
Siangka Bunahi, masyarakat setempat, memperlihatkan tengkorak babirusa yang bagi masyarakat dianggap sebagai hama. Foto: Christopel Paino

Arfan lalu bercerita mengenai burung-burung berukuran kecil, yang dalam bahasa Togean disebut Tonsi Pidi. Burung tersebut sering diburu anak-anak memakai ketapel, atau ada juga yang menangkapnya untuk dipelihara. Lalu saya memperlihatkan gambar burung kacamata togean (Zosterops somadikartai), spesies kacamata yang berbeda dengan spesies lainnya di daratan Sulawesi atau pulau Jawa pada umumnya.

“Kalau orang di sini bilang burung Kui-kui. Namun yang banyak masuk perangkap itu burung kecil hitam dan dadanya berwarna ungu,” kata Arfan.

Pagi berikutnya, ketika berada di perkebunan warga di gunung keramat Benteng, saya seperti melihat seekor burung kecil yang mirip dengan deskripsi kacamata togean. Burung itu melintas terbang dan bertengger pada salah satu pohon. Tidak lama, ia berpindah tempat. Arfan beserta Saman dan Muhidin yang menemani perjalanan saya membenarkan bahwa burung tersebut seperti ada dalam foto yang saya perlihatkan sebelumnya.

Dalam artikel Mongabay Indonesia berjudul, “Kacamata Togian, Yang Unik dari Kepulauan Togian” dijelaskan bahwa jenis kacamata ini mencuri perhatian para peneliti lantaran memiliki dahi hitam layaknya kacamata dahi-hitam Zosterops atrifrons yang banyak dijumpai di daratan Sulawesi, tetapi tidak memiliki lingkaran putih di sekeliling mata.

Burung ini pertama kali teramati pada Agustus 1996 di Pulau Malenge oleh Mochamad Indrawan dan Sunarto dari Universitas Indonesia. Selanjutnya oleh kedua peneliti yang sama, jenis kacamata ini kembali teramati pada Juni 1997 dan Mei 2001. Indrawan kemudian mengambil spesimen kacamata ini dan pada 2008 spesimen yang disimpan di Museum Zoologi Bogor tersebut dibandingkan dengan jenis kacamata lain di Wallacea. Hasilnya, kacamata dari Kepulauan Togean tersebut terbukti berbeda dalam hal proporsi tubuh, warna hitam lebih sempit dibanding pada atrifrons, dan paruh yang lebih tipis.

Berbeda dari anggota genus Zosterops lainnya, jenis ini tidak memiliki lingkaran putih di seputar mata. Selain itu, dari segi vokalisasi atau suara, kacamata ini juga berbeda dari jenis kacamata lainnya. Karena itu, burung ini kemudian ditetapkan sebagai jenis baru.

Kawasan Sulawesi diyakini memiliki setidaknya 9 – 10 spesies burung kacamata termasuk yang ada di pulau-pulau yang terisolir. Isolasi ini telah mengakibatkan terbentuknya variasi baik dalam morfologi maupun dalam perbedaan suara dan nyanyian.

Taring babirusa yang ditunjukkan oleh masyarakat setempat. Foto: Christopel Paino
Taring babirusa yang ditunjukkan oleh masyarakat setempat. Foto: Christopel Paino

Sunarto di Majalah Burung Nomor 2/TH.IV/April 2010 menuliskan, ketika kali kedua menginjakan kaki di Kepulauan Togian 1996, ia tergabung dalam ekspedisi Earthwatch yang bertujuan mendokumentasikan kekayaan avifauna Kepulauan Togian. Saat itu,  di Pulau Malenge, dan dari balik keker, terlihat sekelompok burung yang berperilaku dan sifat-sifat lainnya menyerupai burung kacamata atau Zosterops spp.

“Bedanya, salah satu diagnostik kelompok burung kacamata, yakni lingkar putih berbentuk seperti kacamata yang kita temukan pada burung kacamata umumnya, tidak terlihat pada kelompok burung di Malenge,” tulis Sunarto.

Namun, dalam buku Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea yang ditulis oleh Brian J. Coates dan K. David Bishop, tidak dijelaskan secara detail mengenai jenis kacamata togian ini. Keduanya hanya menyebut kacamata sulawesi (Zosterops consobrinorum), kacamata makassar (Zosterops anomalus), kacamata laut (Zosterops chloris), kacamata gunung (Zosterops montanus), dan kacamata belukar (Zosterops everetti).

Menurut Sunarto, proses deskripsi kacamata togian dibantu oleh Profesor Pamela Rasmussen, ahli taksonomi burung dari Michigan University. Alhasil setelah bertahun diamati di tiga pulau di Kepulauan Togian dan rekaman suara serta spesimennya yang dibandingkan dengan koleksi keluarga burung serupa diberbagai museum, maka deskripsi kacamata togian sebagai jenis baru diterima dalam publikasi ilmiah. Tepatnya di jurnal paling bergengsi dunia ornitologi: Wilson Journal of Ornithology.

“Burung ini dinamai Zosterops somadikartai untuk menghargai pengabdian Profesor S. Somadikarta, ornitologis terhormat di tingkat internasional yang telah berjasa bagi perkembangan dunia ornitologi di Indonesia,” tulis Sunarto.

Peta Kepulauan Togian. Sumber: Togean.net
Peta Kepulauan Togian. Sumber: Togean.net

Menurut Brian J. Coates dan K. David Bishop, Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang aneh dan ukurannya paling besar dan secara geologis paling kompleks di kawasan Wallacea. Sementara untuk Kepulauan Togian sendiri dalam catatan keduanya, dimasukan sebagai salah satu sub kawasan yang penting di Sulawesi.

Dalam pengantar di buku itu, Coates dan Bishop mengatakan bahwa buku tersebut memberikan deskripsi ringkas bagi 697 jenis burung penetap dan migran, yang menurut catatan yang dapat dipercaya sudah diketahui ada di kawasan Wallacea sampai 31 Juli 1996. Dari jumlah keseluruhan, 249 jenis adalah endemik, angka yang sangat mengesankan dan ditambah dengan tiga jenis yang baru ditemukan. Menurut mereka, informasi yang tersedia untuk banyaknya jenis memang tidak lengkap dan bahkan kadang tidak ada.

“Semakin bertambah pengetahuan kita tentang burung-burung di kawasan Wallacea, kemungkinan kelanjutan dan kelangsungan hidup mereka untuk jangka panjang juga akan meningkat,” tulis Coates dan Bishop.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,