Apa Dampak Terpilihnya Donald Trump Bagi Lingkungan Hidup Global dan Indonesia?

Suasana konferensi perubahan iklim (COP 22) di Marakesh, Maroko, yang dimulai pada Senin kemarin (07/11/2016) berubah seketika menjadi kelam dan penuh kekhawatiran setelah kemenangan Donald Trump menjadi Presiden Amerika yang baru.

Hal tersebut terkait dengan masa depan Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang butuh 20 tahun negosiasi untuk disepakati semua negara dan  telah diberlakukan oleh Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 4 November 2016 kemarin. Perjanjian Paris yang didukung dengan diratifikasi oleh Amerika dibawah Presiden Barack Obama, menuju ketidakpastian karena terpilihnya Donald Trump.

Ini karena Trump dikenal luas sebagai tokoh yang tidak percaya atau menolak (denier) dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Hal itu tercermin dengan berbagai pernyataannya, baik sebelum dan selama kampanyenya menjelang pilpres kemarin.

Berbagai pernyataan Trump, seperti dikutip dari vox.com, antara lain bahwa pemanasan global merupakan tipuan Cina (a Chinese hoax). Trump juga akan membatalkan semua peraturan penting yang dibuat Obama untuk mengurangi emisi karbondioksida Amerika, termasuk rencana pembangkitan energi bersih yang merupakan rencana utama penurunan emisi karbondioksida.

Trump bahkan mengisyaratkan ingin menghapuskan badan perlindungan lingkungan hidup Amerika (Environmental Protection Agency / EPA). “Apa yang mereka (EPA) lakukan adalah aib,” katanya. Bila EPA dihapuskan, maka peraturan terkait pencemaran karena merkuri, ozon, batubara, dan banyak lainnya bakal tidak berlaku.

Trump juga mengatakan ingin mencabut semua anggaran pemerintah Amerika untuk energi bersih, termasuk penelitian dan pengembangan untuk tenaga angin, tenaga surya, tenaga nuklir, dan kendaraan listrik.

Dan terpenting bagi dunia, Trump mengatakan ingin menarik Amerika Serikat keluar dari perjanjian Paris Agreement. Padahal Amerika telah menjanjikan bantuan dana miliaran USD kepada program iklim PBB dan pengembangan energi bersih.

Sementara analisis terbaru oleh Lux Penelitian, seperti dikutip dari The Guardian memperkirakan bahwa kebijakan presiden Trump bakal menaikkan emisi gas rumah kaca (GRK) Amerika sebesar 16% pada akhir masa jabatannya bila dua periode menjadi Presiden Amerika. Padahal Amerika negara pengemisi GRK terbesar kedua dunia.

Prediksi emisi gas rumah kaca bila Amerika dipimpin oleh Donald Trump selama dua periode. Sumber : Lux-Research Inc
Prediksi emisi gas rumah kaca bila Amerika dipimpin oleh Donald Trump selama dua periode. Sumber : Lux-Research Inc

Kekhawatiran Global

Beragam tanggapan global, yang hampir kesemuanya khawatir tentang masa depan lingkungan hidup dunia setelah Donald Trump resmi terpilh jadi Presiden Amerika. Seperti dikutip dari The Guardian, kelompok lingkungan internasional yang hadir di COP 22 Maroko mengatakan akan menjadi bencana bila Trump benar-benar menarik Amerika dari Paris Agreement dan membuka peluang untuk eksploitasi batubara, minyak dan gas alam.

Mereka mendesak Trump untuk memperhatikan dan bertindak bagi kepentingan lingkungan hidup global.

“Presiden baru harus melindungi orang-orang yang dia layani dari kekacauan (karena dampak perubahan) iklim. Tidak ada keyakinan pribadi atau afiliasi politik dapat mengubah kebenaran yang sebenarnya bahwa setiap sumur minyak baru dan pipa mendorong kita semua lebih dekat dengan bencana. Pemerintahannya memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memenuhi komitmen internasional,” kata May Boeve, Kepala Pengkampanye Iklim  350.org.

Lembaga pendanaan iklim Christian Aid memperingatkan bahwa setiap upaya Trump untuk menghalangi Paris Agreement akan menjadi sebuah tindakan “ekonomi sabotase diri”.

“Transisi global ke ekonomi zero karbon tidak dilakukan oleh satu orang. Seluruh dunia tidak akan mengambil risiko bencana iklim global karena satu orang,” kata Mohamed Adow, juru bicara Christian Aid.

“Greenpeace dan jutaan orang di seluruh dunia akan bersatu untuk memerangi perubahan iklim dan menciptakan dunia yang adil untuk semua orang. Mari kita gunakan saat ini untuk meningkatkan kekuatan perjuangan untuk iklim dan perjuangan untuk hak asasi manusia di seluruh dunia,” kata Annie Leonard, Direktur Eksekutif Greenpeace Amerika mewakili kelompok LSM lingkungan Amerika.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon (kiri) menyalami Presiden AS Barack Obama (kanan) disaksikan oleh Presiden Tiongkok, Xi Jinping (tengah) dalam acara KTT G20 di Hangzhou, Tiongkok pada Sabtu (03/09/2016). Dalam acara tersebut, Amerika dan Tiongkok menyatakan bakal meratifikasi Paris Agreement untuk penanganan perubahan iklim global. Foto : UN.org
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon (kiri) menyalami Presiden AS Barack Obama (kanan) disaksikan oleh Presiden Tiongkok, Xi Jinping (tengah) dalam acara KTT G20 di Hangzhou, Tiongkok pada Sabtu (03/09/2016). Dalam acara tersebut, Amerika dan Tiongkok menyatakan bakal meratifikasi Paris Agreement untuk penanganan perubahan iklim global. Foto : UN.org

Ségolène Royale, menteri lingkungan Perancis yang terlibat dalam Paris Agreement mengatakan Amerika tidak bisa menarik diri dari perjanjian Paris dengan mudah. “Perjanjian Paris melarang keluar semua pihak (negara peratifikasi) untuk jangka waktu tiga tahun, ditambah periode pemberitahuan selama setahun, sehingga akan ada empat tahun yang stabil,” katanya.

Sementara Maroko sebagai tuan rumah COP 22 menyatakan perundingan harus berlanjut. “Tidak ada kemungkinan mundur dari negosiasi pada apa yang telah disepakati di Paris  Kita hanya bisa terus maju,” kata Salaheddine Mezouar, Menteri Luar Negeri Maroko.

Amerika Tidak Bisa Egois

Sedangkan Presiden dan CEO World Resources Institutes (WRI), Andrew Steer mengatakan Amerika dibawah presiden baru Donald Trump harus bertindak dan memimpin dalam isu-isu kritis yang menjadi perhatian utama bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dunia di masa depan. Ini termasuk mengatasi perubahan iklim, investasi di energi bersih, dan revitalisasi Amerika dengan infrastruktur yang berkelanjutan dan tangguh.

“Sebagai seorang pengusaha, Presiden terpilih Trump perlu memahami bahwa investasi di energi bersih menciptakan lapangan kerja dan mengarahkan inovasi. Amerika memiliki banyak kesempatan untuk membuat ekonomi lebih efisiensi dan modern yang cocok untuk abad ke-21,” kata Steer seperti dikutip dari situs WRI.

Transisi global ke arah rendah karbon, ekonomi yang tahan perubahan iklim tak terbendung. Bulan lalu IEA (Institute for Environmental Assessment) menaikkan proyeksi secara tajam tentang supply tenaga surya dan angin. Hampir 200 perusahaan terbesar di dunia telah berkomitmen untuk menetapkan target gas rumah kaca berbasis ilmu pengetahuan dengan pemahaman bahwa hal itu merupakan kepentingan mereka untuk melakukannya. Lebih dari 650 Walikota di dunia, telah berkomitmen dengan jelas untuk mengatasi emisi kota mereka,” lanjutnya.

PLTU3-Turbin Angin di pesisir pantai Baru Bantul memberikan asupan energi murah dan ramah lingkungan. Foto Tommy Apriando

“Trump sebagai Presiden yang akan membangun pemerintahannya, kami berharap timnya akan mulai memahami bahwa tindakan iklim yang cerdas dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, membawa pekerjaan yang baik di tengah Amerika. Pemerintah juga akan menyadari bahwa tindakan iklim sekarang menjadi bagian inti dari diplomasi internasional AS. Negara ini telah berkomitmen untuk Perjanjian Paris dan bergerak maju dengan kesepakatan global. Ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan kredibilitas Amerika di dunia,” tambah Steer.

“Terlepas dari partai politik, Amerika ingin udara bersih dan air bersih untuk keluarga dan anak-anak mereka. Mereka ingin melindungi kesehatan mereka dari gelombang panas yang parah dan peristiwa cuaca ekstrim. Mereka ingin menikmati alam dan sumber daya alam bumi. Setelah pemilihan presiden yang memecah belah ini, Presiden terpilih Trump harus segera membawa rakyatnya bersama-sama dan memenuhi kewajibannya untuk melindungi dan meningkatkan kehidupan semua orang Amerika,” pungkas Steer.

Posisi Amerika

Ketika berkampanye untuk menjadi Presiden Amerika Serikat, tepatnya pada tangal 31 Agustus 1988, George H.W. Bush menyatakan “Those who think we are powerless to do anything about the greenhouse effect are forgetting about the White House effect.  In my first year in office, I will convene a global conference on the environment at the White House. It will include the Soviets, the Chinese…. The agenda will be clear. We will talk about global warming.”

“Itu adalah janji kampanye yang tak pernah dipenuhinya.  Itu juga adalah pernyataan terakhir yang pernah dikemukakan seorang pembesar partai Republik AS yang berbunyi pro kepada tindakan mengatasi perubahan iklim,” kata Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability yang dihubungi Mongabay.

“Setelahnya, segala upaya untuk mengatasi perubahan iklim tak pernah muncul dari partai itu.  Ketika terpilih menjadi anggota senat AS pertama kali di tahun 1994, James Inhofe (Rep – Oklahoma) menyatakan bahwa pemanasan global adalah hoax, dan sejak itu seperti menjadi sikap resmi partai.  Semeyakinkan apapun bukti-bukti ilmiah, partai ini tak menggubrisnya,” lanjutnya.

Ini menyulitkan Presiden Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat sepanjang ia berkuasa.  Namun, Obama tetap berhasil melakukan beberapa hal penting terkait perubahan iklim dengan kekuasaan eksekutifnya, termasuk menandatangani Kesepakatan Paris.

Jalal mengatakan salah satu hal pertama yang akan dilakukan Presiden Donald Trump yang berasal dari Partai Republik itu adalah menunjuk Myron Ebell, seorang penolak perubahan iklim, sebagai pimpinan Pokja Environmental Protection Agency (EPA) dalam tim transisinya. Ebell juga adalah kandidat terkuat pimpinan EPA.

Sementara, Jim Inhofe sudah berkuasa menjadi pimpinan Komite Lingkungan dan Pekerjaan Umum di Senat AS selama beberapa tahun terakhir.  Jadi, sekarang ada Trump, Ebell, dan Inhofe yang memiliki kekuasaan sangat besar dalam menentukan kebijakan lingkungan AS, dan seluruhnya adalah pendusta perubahan iklim.

Menurut Jalal, dampak Donald Trump menjadi Presiden Amerika adalah penguatan kembali industri energi fosil dan pelemahan energi terbarukan.  Kedua, penarikan kembali dukungan AS dari Kesepakatan Paris.  Ketiga, penciutan pendanaan untuk tindakan nyata mengatasi perubahan iklim.  Yang kemudian perlu diingat adalah bahwa ketiganya bukan cuma punya pengaruh terhadap AS, namun juga terhadap seluruh dunia, termasuk Indonesia.

“Penguatan industri fosil tentu berarti peningkatan emisi. Para pakar sudah menyatakan bahwa bila dunia ingin punya peluang untuk menahan pemanasan global maksimal 2 derajat Celsius di tahun 2100, kita harus memastikan 2/3 dari total cadangan terbukti energi fosil untuk dibiarkan tidak dieksploitasi.  Eksploitasi energi fosil secara massif oleh AS akan membuat seluruh dunia makin sulit mencapai target 2 derajat itu.  Kalau masih mau dicapai, maka pemotongan energi fosil dan sumber-sumber emisi lainnya haruslah dilakukan dengan lebih dalam lagi oleh negara-negara lain,” katanya.

Perubahan iklim dipengaruhi oleh penggunaan energi fosil. Source: eco.business.com
Perubahan iklim dipengaruhi oleh penggunaan energi fosil. Source: eco.business.com

Terkait dengan hal itu, penarikan dukungan AS terhadap Kesepakatan Paris juga akan sangat menyulitkan dunia. Walaupun, menurut banyak sumber, penarikan dukungan itu setidaknya membutuhkan waktu empat tahun, namun ketidakpastian akan membayangi seluruh negara.

AS adalah negara dengan emisi terbesar kedua setelah Tiongkok, kalau bukan yang pertama, sehingga penarikan dukungan AS akan membuat Kesepakatan Paris tidak efektif.  Apalagi, hingga sekarang (I)NDC yang disetorkan masih jauh dari yang diperlukan untuk mencapai target kenaikan 2 atau 1,5 derajat Celsius.

“Ini berarti negara-negara lain perlu bersiap memotong emisinya jauh lebih dalam lagi, dan/atau berunding dengan AS dengan lebih keras lagi,” lanjut Jalal. Ini tentu tidak diinginkan oleh para negara peratifikasi Paris Agreement.

Dukungan pendanaan dari AS terhadap pengelolaan perubahan iklim dipandang cukup signifikan, walau bukan yang terbesar.  Namun, kehilangan atau berkurangnya pendanaan itu kepada dunia internasional akan semakin menyulitkan target pendanaan USD100 miliar per tahun yang dibutuhkan mulai 2020.  “Ini akan membuat banyak negara berkembang kesulitan melakukan mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim,” jelas Jalal.

 

Dampak Bagi Indonesia

Semua hal tersebut akan sangat mempengaruhiIndonesia.  Indonesia adalah salah satu negara dengan emisi yang besar, yang diharapkan memotong emisinya dengan lebih dalam.  “Target 29% pada tahun 2030 itu dipandang oleh para pakar kelewat rendah dibandingkan kontribusi yang semestinya.  Dengan kemungkinan menguatnya energi fosil di AS, tekanan agar Indonesia memotong emisinya juga akan menguat,” terang Jalal.

“Kalau AS memulai tindakan nyata menarik dukunganya pada Kesepakatan Paris, tekanan itu jelas akan lebih menguat lagi. Dan, Indonesia akan diminta turut aktif berunding dengan AS untuk tidak membiarkan mereka meninggalkan Kesepakatan Paris,” lanjutnya.

Dana AS yang kini ada di Indonesia sendiri sangat signifikan, terutama yang terkait dengan adaptasi.  Kalau ini dikurangi, atau bahkan dihilangkan sama sekali, maka kesulitan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim akan sangat meningkat.

Tetapi, ini semua menghadirkan pembelajaran yang sangat penting untuk Indonesia.  “Pertama, jelas sekali bahwa perubahan iklim sudah dan akan terus memengaruhi Indonesia, sehingga mitigasi dan adaptasi perlu dilakukan dengan jauh lebih serius dibandingkan sekarang,” terang Jalal.

Kedua, keseriusan itu perlu dicerminkan oleh koherensi kebijakan di berbagai sektor, atau tindakan inkoheren seadanya yang dilakukan tidak akan membawa Indonesia ke dalam situasi yang lebih baik.

“Ketiga, posisi yang kokoh terhadap perubahan iklim (yaitu jalan menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan, sebagai wujud mitigasi dan adaptasi) sudah seharusnya diambil dan ditunjukkan ke dunia internasional agar Indonesia lebih memiliki posisi yang terhormat dalam perundingan,” katanya.

Keempat, Indonesia semakin perlu menunjukkan keaktifan dalam diplomasi dengan negara-negara penghasil emisi yang besar, dan negara-negara kepulauan, agar Kesepakatan Paris bisa berjalan.  Termasuk, nantinya aktif membujuk AS untuk tidak meninggalkan Kesepakatan, agar beban negara-negara lain tidak menjadi semakin berat.

“Terakhir, Indonesia harus memerlakukan sumberdaya eksternal dalam penanganan perubahan iklim benar-benar sebagai suplemen saja, karena sesungguhnya memang tidak benar-benar bisa diandalkan.  Indonesia harus memastikan sumberdayanya sendiri memadai, sehingga bila tak ada bantuan dari manapun, masyarakat sekarang dan generasi mendatang bisa bertahan terhadap dampak perubahan iklim,” pungkas Jalal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,