Eksotisme Togian, Miniatur Endemisitas Sulawesi yang Mengagumkan (Bagian – 2)

Jumat, 7 Oktober 2016. Hujan deras dari pagi hingga siang mengguyur Desa Benteng, Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Praktis para penghuni desa seluas 245 kilometer persegi ini hanya berdiam diri di rumah masing-masing. Desa Benteng sendiri memiliki hutan seluas 3.000 hektare dan sebuah gunung menjulang bernama Gunung Keramat. Karena hujan, saya hanya diajak melihat babirusa yang terjerat di perkebunan milik warga di Desa Bangkagi, desa yang bersebelahan dengan Benteng. Jaraknya, enam menit naik sepeda motor.

Saya dipertemukan dengan Siangka Bunahi. Usianya 47 tahun. Mantan Kepala Desa Bangkagi yang hanya menjabat 2 tahun lebih. Siangka memilih mengundurkan diri untuk mengikuti pelatihan berbulan di Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Dia diajak Balai Taman Nasional Kepulauan Togean, sebagai kader konservasi.

“Saya sangat setuju dengan kehadiran taman nasional. Karena melihat langsung manfaatnya ketika berkunjung ke Pulau Jawa,” kata Siangka.

Baca: Eksotisme Togian yang Pantang untuk Dilupakan (Bagian – 1)

Setelah itu, Siangka mengajak saya ke kebunnya yang telah dipasang jerat. Ada hutan mangrove dengan jenis bruguiera, yang tinggi pohonnya menjulang ke atas serta semak belukar dan rawa yang harus kami lewati.

“Kebun saya luasnya 2,5 hektare. Ini tanah nenek moyang kami,” katanya.

Ketika mulai memasuki kebunnya, saya sudah melihat sisa-sisa tulang babirusa. Siangka ternyata mengajak saya melihat salah satu jerat yang sudah lama terpasang dan tersisa tengkorak kepala babirusa.

“Babirusa yang kena jerat saya biarkan begitu saja, karena saya tahu dagingnya dimakan biawak.”

Kebun saya sendiri, kata Siangka, biasa ditanami jagung, cengkih, ubi jalar, pepaya, dan rica. Babirusa paling suka ubi jalar. Siangka tahu kalau babirusa merupakan satwa dilindungi dan tidak akan ditemukan di tempat lainnya di luar Sulawesi. Namun katanya, sampai saat ini belum ada solusi untuk mengatasi persoalan tersebut.

“Kalau kami dilarang, artinya pemerintah ikut membunuh petani karena kami tidak bisa makan dari hasil kebun. Saya setuju babirusa dilindungi, tapi harus dipikirkan juga caranya agar kebun kami aman.”

Babirusa yang berada di Suaka Margasatwa Nantu. Foto: Rosyid A Azhar
Babirusa yang berada di Suaka Margasatwa Nantu. Foto: Rosyid A Azhar

Babirusa yang memiliki empat taring melengkung, telah lama mendapat minat tersendiri bagi para peneliti. Adalah Lynn Clayton, perempuan berkebangsaan Inggris yang berpuluh tahun meneliti babirusa di Hutan Nantu, Gorontalo.

Saya meminta pendapatnya tentang babirusa di Togian melalui surat elektronik. Menurutnya, babirusa di Togian telah menjadi spesies sendiri sejak 2002. Namanya Babyrousa togeanensis, sebelumnya satwa ini adalah sub-species bernama Babyrousa babyrussa togeansis. Jenis ini berbeda dengan yang ada di Sulawesi, juga tidak sama  dengan yang ada di Pulau Sula dan Pulau Buru.

“Saran saya, ketimbang banyak babirusa di Pulau Togian mati sia-sia dijerat, perlu disosialisasikan ke warga setempat bahwa satwa dilindungi ini sangat potensial untuk pariwisata alam internasional,” ujar Lynn Clayton.

Setelah menghubungi Lynn Clayton, saya meminta tanggapan Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Togean, Kuppin Simbolon. Baik terkait zonasi taman nasional yang dianggap berbenturan dengan ruang kelola masyarakat, maupun keberadaan satwa endemik tersebut. Namun Kuppin tidak merespon pertanyaan saya melalui pesan singkat. Saya hanya bisa menghubungi Richard, penyuluh Taman Nasional Kepulauan Togean, yang bertugas di Seksi Wilayah II Lebiti.

“Apa yang dilakukan masyarakat mungkin bagian dari proteksi mereka, karena menganggap babirusa bagian dari hama. Harus dilihat pemasangan jeratnya, di dalam atau luar kawasan. Yang pasti, keinginan kami adalah kepentingan masyarakat dan kelestarian ekosistem termasuk satwa yang dilindungi, sama-sama terjaga,” ungkap Richard.

Menurutnya lagi, pengelolaan taman nasional sesuai undang-undang dan berbasis zonasi. Tidak akan membatasi ruang ekonomi masyarakat, dan pihaknya melakukan tahapan public hearing atau dengar pendapat di tingkat tapak.

“April dan Mei lalu kami melakukan pengambilan data ke lapangan, diskusi serta sosialisasi ke masyarakat terkait zonasi,” ungkap Richard.

Pelabuhan Laut Wakai, Kepulauan Togian (Togean), Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino
Pelabuhan Laut Wakai, Kepulauan Togian (Togean), Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino

Peristiwa

Pada 1858, naturalis terkenal di dunia, Alfred Russell Wallace, mengirim surat kepada rekannya; Charles Darwin, sang pencetus teori evolusi melalui seleksi alam. Wallace melakukan perjalanan selama delapan tahun dari Sumatera sampai Papua. Namun dalam suratnya itu, Wallace mengaku sangat terpesona dengan kunjungannya ke Sulawesi.

Dalam buku Ekologi Sulawesi, yang ditulis Anthony J. Whitten, Muslimin Mustafa, dan Gregory S. Henderson, terbitan Gajah Mada University Press (1987), dalam salah satu babnya bercerita tentang kekaguman Wallace terhadap Pulau Sulawesi. Fauna Sulawesi tampak demikian khas, sehingga ia menduga pulau yang menyerupai huruf “K” tersebut merupakan bagian atau pernah tersambung baik dengan Benua Asia maupun Pasifik-Australia.

Pria berkebangsaan Inggris itu kemudian menarik garis di sebelah timur Filipina melalui Selat Makassar dan antara Bali dan Lombok. Garis tersebut kemudian hingga hari ini dikenal sebagai Garis Wallace. Pada 1910, atau tiga tahun sebelum ia meninggal, Wallace menentukan bahwa keunggulan bentuk-bentuk Asia di Sulawesi harus dicerminkan dengan menggeser garis tadi ke sebelah timur Sulawesi.

Pemandangan di KEpulauan Togian. Sumber: Wikipedia
Pemandangan di KEpulauan Togian. Sumber: Wikipedia

Kepulauan Togean termasuk memiliki sejarah geologi yang mempengaruhi utama tanah, tumbuhan, dan hewan yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah peristiwa meletusnya Gunung Api Colo di Pulau Una-una yang menimbulkan kerusakan paling besar di Sulawesi.

Salah satu saksi mata meletusnya gunung itu pada 14 Juli 1983 adalah Saparin. Ketika itu, lelaki yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Wakai ini masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di sebuah bibir pantai di pagi hari, Saparin yang membolos sekolah saat itu melihat asap membumbung tinggi di udara. Dia berlari ketakutan dan memberi tahu peristiwa tersebut kepada salah seorang aparat kepolisian di kampungnya.

“Saat itu tanggal 23 Juli 1983, sesudah lebaran Idul Adha. Gunung sudah meletus, tapi asap di hari itu tiba-tiba keluar dari Pulau Una-una, dan semua warga panik,” kata Saparin.

Dalam “Ekologi Sulawesi” disebutkan bahwa sepanjang pengetahuan, gunung api ini hanya meletus sekali sebelumnya pada 1898. Letusan saat itu memuntahkan abu sebanyak 2,2 km kubik yang menutup areal seluas 303.000 km persegi, yang jaraknya hampir mencapai batas antara Serawak dengan Kalimantan Timur, sejauh 800 km.

Sesudah tanggal 14 Juli 1983 itu, sebanyak gempa bumi sebanyak 100 kali mengguncang Una-una, dan pada 18 Juli 1983 terjadi semburan air tanah yang besar, yang terperangkap di bawah gunung api yang panas dan diubah menjadi uap bertekanan tinggi. Meledak membangkitkan semburan uap dan reruntuhan batuan setinggi 500 meter.

Desa Benteng, Kecamatan Togean. Desa ini memiliki gunung keramat yang diklaim sebagai gunung tertinggi di Kepulauan Togian dan merupakan asal muasal orang Togian. Foto: Christopel Paino
Desa Benteng, Kecamatan Togean. Desa ini memiliki gunung keramat yang diklaim sebagai gunung tertinggi di Kepulauan Togian dan merupakan asal muasal orang Togian. Foto: Christopel Paino

Seperti yang diungkapkan Saparin, letusan magma pertama terjadi pagi hari, 23 Juli 1983, yang menyemburkan jambul abu dan bahan lain setinggi 1.000 meter ke udara. Puncak kedahsyatan terjadi siang hari ketika pulau itu pecah dan dihancurkan oleh apa yang disebut “nuee ardente”, suatu massa gas menyala dengan suhu sangat tinggi dengan bagian-bagian padat yang memijar. Abu dari awan setinggi 15.000 meter itu dapat mencapai Pulau Laut, sebuah pulau yang terletak 900 km jauhnya di sebelah tenggara Kalimantan dan menutupi 90 persen sisa Pulau Una-una sampai setebal 2-6 meter.

Penduduk yang berjumlah 7.000 jiwa dapat diungsikan dari Una-una tepat pada waktunya. Ini dianggap suatu prestasi yang mengaggumkan. Semua rumah, tanaman, hewan, ikan karang, dan ikan-ikan dekat pantai terbinasakan, kecuali sepanjang jalur sempit di bagian timur pulau.

“Warga yang ada di Pulau Una-una banyak yang mengungsi ke Ampana, Wakai, atau pulau-pulau terdekat. Setelah semuanya aman, ada warga yang balik ke Una-una, namun ada yang bertahan dan menetap, seperti di Wakai ini,” ujar Saparin.

Gunung Api Colo hanyalah satu dari sekian banyak gunung api di Sulawesi atau sekitar Sulawesi yang pengaruhnya besar terhadap populasi manusia di sekitarnya. Sulawesi sendiri mempunyai 11 gunung api yang aktif dibandingkan dengan 17 di Jawa, 10 di Sumatera, dan 6 di Halmahera.

“Sampai saat ini Gunung Api Colo di Una-una masih sering kami lihat mengeluarkan asap,” kata Abdul Saman Djabar, warga Desa Benteng.

Salah satu kuburan keramat di puncak Gunung Benteng yang dipercaya sebagai asal muasal orang Togian. Foto: Christopel Paino
Salah satu kuburan keramat di puncak Gunung Benteng yang dipercaya sebagai asal muasal orang Togian. Foto: Christopel Paino

Kepulauan Togian

Asal muasal Kepulauan Togian yang terletak di wilayah Teluk Tomini dan disebut-sebut sebagai miniatur endemisitas Sulawesi ini, minim referensi dari perspektif historis. Dalam “Ekologi Sulawesi” lebih banyak dijelaskan manusia prasejarah di Sulawesi, wilayah selatan atau daratan Sulawesi pada umumnya.

Secara geografis Kepulauan Togian berada di tengah Teluk Tomini, di antara lima pulau besar, yaitu Pulau Batudaka, Pulau Togian, Pulau Talatako, Pulau Walea Kodi, dan Pulau Walea Bae. Selain itu, kepulauan ini dikelilingi gugusan pulau-pulau kecil sebanyak 67 pulau.

Tak banyak yang tahu kalau pusat sejarah Togian berada di Desa Benteng. Desa ini memiliki gunung yang diklaim sebagai gunung tertinggi di seluruh Kepulauan Togian. Gunung ini kemudian disebut sebagai Gunung Keramat. Kuburan-kuburan tua dengan ukuran panjang mulai dari 7 hingga 15 meter ada di puncak gunung ini.

“Sebab nenek moyang orang Togian yang ada di seluruh kepulauan ini berasal dari Benteng, dari Gunung Keramat Benteng,” kata Rusli L Andi Ahmad, tetua adat di Desa Benteng.

Perkampungan nelayan di Kabupaten Tojo Una-una. Sumber: Wikipedia
Perkampungan nelayan di Kabupaten Tojo Una-una. Sumber: Wikipedia

Saya berkesempatan mendaki gunung itu. Bagi penduduk setempat, untuk mencapai puncaknya butuh waktu satu jam. Namun ketika saya mendaki, waktu tempuhnya dua jam lebih. Di puncak gunung, terdapat kuburan-kuburan tua. Bahkan ada beberapa pecahan piring beraksara Tiongkok.

Dalam cerita legenda masyarakat adat Togian, manusia yang pertama mendiami Kepulauan Togean berasal dari tetesan langit atau kayangan melalui titian pelangi. Kemudian turun ke bumi di atas dataran Gunung Benteng dan menjelma menjadi manusia.

Jumlah mereka tujuh orang yakni; Datu Yangi (laki-laki), Datu Raowa (laki-laki), Datu Lingaut (laki-laki), Datu Mbuya (perempuan), Datu Raeyo (perempuan), Datu Ntana (laki-laki), Datu Ntundengi (perempuan). Sebagai pimpinan adalah Datu Yangi. Kemudian ia mengambil kesimpulan untuk menikahkan Datu Raowa dengan Datu Raeyo, Datu Lingaut dengan Datu Mbuya, serta Datu Ntana dengan Datu Ntundengi.

Ketiga pasangan suami istri inilah yang dipercaya menjadi asal mula nenek moyang orang-orang di Kepulauan Togian. Mereka menetap di puncak Gunung Benteng. Setelah beranak pinak, mereka turun ke dataran rendah, mencari tepi pantai membangun permukiman agar mudah mencari ikan. Dalam bahasa Togian, mereka disebut Manurung yang artinya manusia dari kayangan. Mereka kemudian berdiaspora ke sepanjang pulau-pulau di Togian, mencari hidup dan mengelola sumber daya alam baik di darat maupun di laut.

“Nah, orang-orang suku asli Togian yang tersebar di pulau-pulau ini semuanya berasal dari Benteng,” tegas Rusli lagi.

Setelah menetap di daerah ketinggian di Gunung Benteng dan dataran rendah di kepulauan, mereka mulai mengenal bentuk pemerintahan. Raja pertama yang memimpin kerajaan Togian, perempuan bernama Sari Buah. Kerajaan tersebut berada di Desa Benteng ini. Ketika Sari Buah menjadi raja, Togian didatangi Belanda pada abad ke-18.

Wallacea. Grafis: Aip Abbas/ Burung Indonesia
Wallacea. Grafis: Aip Abbas/ Burung Indonesia

Pada akhir pemerintahan Raja Sari Buah, orang Bugis datang sekitar 1790 menggunakan perahu layar besar. Mereka ingin hidup berdampingan dengan masyarakat Togian. Setelah itu, pada 1835, orang-orang Bajo masuk ke Togian. Tujuannya sebagaimana orang-orang Bugis. Dua etnis tersebut diharuskan mentaati perintah-perintah raja beserta hukum adat yang berlaku.

Rusli menuturkan, saat ini, masyarakat yang mendiami gugusan Kepulauan Togian bukanlah orang asli. Mereka telah kawin dengan para pendatang, seperti dari suku Gorontalo, Saluan, Manado, dan sebagainya. Tak hanya itu, karena keindahan Kepulauan Togian, masyarakat mancanegara menjadikan pulau-pulau dan keindahan bawah lautnya sebagai destinasi paling diminati. (Selesai)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,