Diburu, Burung Berkicau Itu Terancam di Habitat Aslinya

Sebelum matahari tinggi, Maryadi (48) memandikan burung kacer, peliharaannya. Sebuah botol semprot menjadi alat sakti yang ia gunakan untuk memandikan burung kicaunya itu. Isinya air hujan yang dicampur rebusan daun pandan. “Biar wangi, dan burungnya tenang. Seperti kita pakai parfum,” ujar warga Sei Bangkong, Kota Pontianak, Kalimantan Barat ini.

Dia tak pernah membaca literatur bagaimana cara merawat burung, hanya mengikuti intuisi saja. “Kita juga kalau wangi merasa segar. Saya rasa burung juga begitu,” tambahnya. Maryadi mengaku, mendapatkan kacer itu dari temannya yang kerap mencari ‘bibit’ yaitu sebutan untuk burung kicau yang belum jadi. Harganya Rp30 ribu.

Maryadi memang tidak membeli burung yang sudah ‘jadi’ di toko burung. Menurutnya, ada kepuasan tersendiri melatih burung yang masih alami hingga berkicau merdu. Di samping itu, jika beli di toko harganya meningkat. “Kacer dulunya mudah dijumpai di kebun warga. Belakangan, setelah jenis ini diikutkan dalam perlombaan kicau, sulit didapat. Sebab,  kicauan kacer tak kalah merdu dengan murai batu.”

Kucica kampung (Copsychus saularis) adalah anggota keluarga Turdidae. Burung yang memiliki kemampuannya berkicau ini banyak dijumpai di pasar burung Kalimantan Barat. Foto: Dok. Planet Indonesia
Kucica kampung (Copsychus saularis) adalah anggota keluarga Turdidae. Burung yang memiliki kemampuannya berkicau ini banyak dijumpai di pasar burung Kalimantan Barat. Foto: Dok. Planet Indonesia

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, mengatakaan penangkapan burung kicau di alam merupakan masalah utama belakangan ini. “Kita memang tidak bisa menghitung populasi jenis burung kicau di habitat aslinya. Juga, belum ada riset keberadaannya di alam,” ujarnya saat menggagalkan pengiriman 300 individu kacer, Sabtu (5/11/2016).

BKSDA Kalbar bekerja sama Petugas Pos Pelabuhan Laut Dwikora meminta keterangan CP, warga Kelurahan Sungai Jawi Luar, Pontianak Barat, yang kedapatan hendak mengirimkan ratusan kacer hasil tangkapannya dari alam itu ke Pulau Jawa. “Dari keterangan pelaku, satwa tersebut dibeli dari masyarakat sekitar Kabupaten Sambas. Burung-burung tersebut hendak dibawa ke Semarang, namun tanpa dilengkapi dokumen yang sah,” jelas Sustyo.

Walau tidak dilakukan penahanan, pelaku diwajibkan menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya. Sustyo mengatakan, kacer memang bukan jenis satwa dilindungi. Kesalahan pelaku adalah mengirimkan satwa tersebut, tanpa dilengkapi dokumen hasil pemeriksaan instansi terkait. Masyarakat pencinta burung, serta para pemilik toko burung baiknya melakukan penangkaran. “Jadi, yang diperjualbelikan seharusnya keturunan pertama, dari hasil penangkaran. Bukan indukan yang berasal dari alam.”

Satwa hasil pengamanan tersebut dilepasliarkan di sekitar kawasan Cagar Alam Mandor, Kabupaten Landak dan Cagar Alam Raya Pasi Kota Singkawang, esoknya. Sebelum dilepaskan, ratusan burung itu diamankan di kandang Transit BKSDA Kalbar.

Ragam jenis burung yang dijual di pasar burung yang nyatanya diambil dari alam. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC
Ragam jenis burung yang dijual di pasar burung yang nyatanya diambil dari alam. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC

Jual burung

Yanto (32) warga Gresik mengatakan, Mei 2016, ia coba peruntungan berdagang burung-burung di Jalan Arteri Supadio, Pontianak. Sekitar 300 individu burung dari berbagai jenis ia datangkan dari Pulau Jawa. Menggunakan kapal laut. Menurutnya, tidak sulit membawa burung-burung tersebut dengan kapal penumpang. “Burung-burung saya tempatkan di geladak kapal, sehingga tidak ribut,” katanya.

Burung-burung itu diangkut menggunakan kardus yang dilubangi, sebagai saluran udara. Satu dua ada yang mati. Dia optimis pasar burung di Kalimantan Barat cukup baik. Pasalnya, jenis yang berbeda dari satwa yang ada di Kalimantan Barat, merupakan daya tarik tersendiri. “Parkit cuma Rp100 ribu, beli dua Rp150 ribu. Tidak perlu dokumen untuk menjualnya karena bukan burung yang dilindungi,” katanya.

Beberapa waktu kemudian, BKSDA Kalbar memulangkan Yanto dan satwa dagangannya itu ke Pulau Jawa. “Masih banyak yang belum menyadari ancaman jika ada satwa yang hidup bukan di habitat aslinya. Bisa jadi predator satwa lain, atau bahkan menyebabkan persaingan pakan dengan satwa endemik,” papar Sustyo.

Burung-burung ini ditangkap dari alam untuk diperjualbelikan. Foto: BKSDA Kalbar
Burung-burung ini ditangkap dari alam untuk diperjualbelikan. BKSDA Kalbar mengamankan burunt-burung tersebut. Foto: BKSDA Kalbar

Adam Miller, dari Yayasan Planet Indonesia mengatakan, saat ini kondisi burung liar di Indonesia memprihatinkan. “Banyak spesies yang terancam akibat hilangnya habitat serta perdagangan.”

Adam menambahkan, BirdLife Internasional sedang dalam proses mengeluarkan Uplist 16 Spesies Songbird yang terancam punah akibat perdagangan burung liar. Isu ini sangat penting dan kritis. Penangkapan yang dilakukan BKSDA Kalbar adalah bukti Pemerintah Indonesia bergerak ke arah yang benar. “Kita harus bekerja sama menanggulangi perdagangan satwa liar ini dengan menangkap dan menghukum oknum-oknum yang terlibat di dalamnya,” harapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,