“Yuk, Tiru Aksi Lestarikan Terumbu Karang Seperti di Batam Ini”

Tak ada satupun warga di Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kota Batam, yang pernah membayangkan tumpukan sampah yang selalu menggunung di penjuru pulau sejak lama, bisa berubah menjadi barang berharga yang memiliki nilai ekonomi. Warga di pulau kecil tersebut, bahkan sebelumnya selalu kebingungan melihat sampah yang terus menggunung dari hari ke hari.

Kebingungan tersebut semakin menjadi, karena warga merasakan bahwa sampah membawa dampak negatif pada perairan di sekitar pulau. Celakanya, perairan yang mengelilingi tempat tinggal warga di Pulau Nguan tersebut, dalam kesehariannya dijadikan tempat utama bagi warga untuk mencari nafkah.

Karena sampah dari daratan pulau masuk ke air, secara perlahan ekologi mulai terganggu. Kondisi itu cukup mengkhawatirkan, karena di sekitar Pulau Nguan ada banyak sekali terumbu karang. Dan itu artinya, jika terumbu karang mengalami kerusakan karena air laut yang mulai tercemar, maka sumber ikan juga akan terus berkurang.

Menyadari kondisi tersebut, Pemerintah Kota Batam langsung sigap dengan mendaftarkan Pulau Nguan untuk masuk dalam pengelolaan terumbu karang dan ekosistem laut yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Program tersebut bernama Coral Reef Rehabilitation and Management Programme (COREMAP).

Sejak COREMAP masuk ke Pulau Nguan, warga mulai merasakan manfaatnya. Salah satunya, adalah pengelolaan sampah yang selalu menjadi masalah sejak lama. Sampah yang sebelumnya hanya menjadi limbah kotor, mulai September lalu, berubah menjadi limbah berharga yang bisa menghasilkan nilai ekonomi.

Manfaat tersebut dirasakan langsung oleh para perempuan nelayan yang tinggal dan menetap di pulau tersebut. Salah satunya adalah Fitri. Bagi dia, metode pengelolaan sampah yang diajarkan tim COREMAP sangat bermanfaat dan berharga.

“Sejak mendapat pelatihan, kami bisa mengolah sampah menjadi kerajinan tangan yang bernilai ekonomi. Kami bahkan sekarang sudah bisa berkreasi sendiri untuk mengembangkannya,” ucap dia kepada Mongabay di Pulau Nguan, akhir pekan lalu.

Meski belum ada pasar yang jelas, namun Fitri tetap bersyukur karena sampah kini bukan menjadi masalah lagi. Karenanya, dia tetap mendukung COREMAP menjalankan programnya untuk menjaga terumbu karang dari berbagai ancaman kerusakan.

“Saya tahu jika terumbu karang rusak, ikan akan menjauh. Itu juga akan menyulitkan kami karena mayoritas di sini adalah nelayan. Suami saya juga nelayan. Jadi, terumbu karang memang harus dijaga, termasuk dari sampah rumah tangga,” tutur dia.

Fitri bercerita, di Pulau Nguan sekarang terdapat tiga kelompok pengolah sampah menjadi cinderamata. Ketiganya, adalah kelompok Camar Laut yang beranggotakan 11 orang, Permata Hati dengan 12 orang, dan Bunga Karang dengan 13 orang.

Kondisi terumbu karang di Pulau Abang, Batam. Terumbu karang tersebut terancam rusak karena sampah. Foto : M Ambari
Kondisi terumbu karang di Pulau Abang, Batam. Terumbu karang tersebut terancam rusak karena sampah. Foto : M Ambari

Masing-masing kelompok tersebut, kata Fitri, kini sudah terbiasa mengelola sampah di rumahnya masing-masing dan kemudian mengolahnya untuk menjadi kerajinan tangan. Selain itu, sampah yang ada di perairan di sekitar pulau juga tak luput dari kejaran para perempuan nelayan tersebut untuk dikelola dan dimanfaatkan.

“Kalau sampah yang ada di air, biasanya diambil pas air laut sedang surut. Kami bersama-sama turun ke area yang sedang surut dan memunguti sampahnya hingga bersih,” jelas dia.

Yanti, perempuan nelayan lain, juga bertutur bahwa pelatihan pengelolaan sampah bermanfaat sangat banyak hingga sekarang. Hal itu, karena sampah bisa diolah menjadi barang bernilai ekonomi dan bisa membantu menambah penghasilan untuk rumah tangga.

“Untuk sekarang mungkin belum bisa menghasilkan uang, tapi kita sedang berusaha ke sana. Sekarang karena kita masih baru dua bulan memulainya, jadi sedang merintis jalan juga,” sebut dia.

Yanti menuturkan, sebelum ada pelatihan dari COREMAP, warga di pulau selalu kesulitan untuk membuang sampah. Karena, jika sampah dibuang di pulau, akan terus menumpuk dan itu menimbulkan bau tak sedap. Sementara, jika dibuang ke laut, akan merusak ekosistem di sekita perairan.

“Tapi sekarang sampah bisa berkurang karena diolah,” ujar dia.

Kepala Seksi Pengendalian dan Rehabilitas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan yang juga Pejabat Pembuat Komitmen COREMAP Kota Batam Witono mengakui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan warga di Pulau Nguan sangatlah bermanfaat. Karena, hingga saat ini Kota Batam masih belum mampu mengelola sampah di luar pulau besar seperti Batam, Rempang, dan Galang (Barelang).

“Belum ada pengelolaan sampah di pulau kecil. Makanya ini menjadi inovasi dan sekaligus pionir. Ke depan kita juga akan inisiasi untuk didirikan bank sampah di sini, umumnya di pulau kecil lainnya yang ada di Batam,” tutur dia.

Kondisi terumbu karang di Pulau Abang, Batam. Terumbu karang tersebut terancam rusak karena sampah. Foto : M Ambari
Kondisi terumbu karang di Pulau Abang, Batam. Terumbu karang tersebut terancam rusak karena sampah. Foto : M Ambari

 

Kenali Terumbu Karang Sedari Muda

Berbeda dengan di Pulau Nguan, cara warga di Pulau Galang untuk ikut menjaga keberadaan terumbu karang, adalah dengan menginisiasi pelajar, salah satunya para pelajar di SMAN 10 Kota Batam. Di SMA tersebut, siswa diberikan materi pengenalan terumbu karang dalam mata pelajaran Geografi.

Kepala SMAN 10 Kota Batam Rofiudin mengatakan, materi terumbu karang diberikan kepada para siswa atas inisiatif sendiri sekolah. Namun, saat bersamaan, KKP yang mempunyai program COREMAP, ikut mendorong bergulirnya materi terumbu karang dalam mata pelajaran Geografi.

“Tetapi kita tidak mendapatkan dana sepeserpun dari Pemerintah untuk ini. Kita murni inisiatif sendiri saja karena melihat sekitar Pulau Galang adalah perairan konservasi yang banyak terdapat terumbu karang. Itu pastinya dilindungi,” jelas dia.

Untuk memudahkan siswa menyerap materi terumbu karang, Rofiudin mengatakan, pihaknya tak segan mengajak para siswa untuk belajar langsung ke lapangan. Dan itu sudah dilakukan sejak pertama kali materi diberikan pada 2014, melalui para guru Geografi maupun tenaga sukarelawan yang paham tentang terumbu karang.

“Kita berharap bisa mendapat kucuran dana untuk membeli alat peraga. Karena, jika materi terumbu karang sebatas teori saja juga tidak bagus. Sementara, untuk turun ke lapangan juga biayanya tidak murah,” papar dia.

Para pelajar di SMAN 10 Kota Batam mendapatkan materi pengenalan terumbu karang dalam mata pelajaran Geografi. Foto : M Ambari
Para pelajar di SMAN 10 Kota Batam mendapatkan materi pengenalan terumbu karang dalam mata pelajaran Geografi. Foto : M Ambari

Pemerhati Ekosistem Kelautan M Ziaulhaq mengaku takjub melihat upaya warga kota untuk menjaga keberlangsungan hidup terumbu karang. Baginya, upaya tersebut akan berdampak banyak untuk kehidupan. Terutama, karena itu akan menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi juga.

“Kalau terumbu karang bagus, maka pariwisata juga bisa terus berkembang. Sekarang saja sudah mulai berkembang, dan ke depan akan lebih bagus lagi jika terumbu karang dilestarikan dengan baik,” ungkap dia.

Ziaulhaq bercerita, sebelum ada pengelolaan terumbu karang oleh COREMAP, kondisi terumbu karang yang ada di zona konservasi perairan Kota Batam mengalami kerusakan parah. Penyebabnya, karena dulu, sekitar tahun 2000-2005, warga biasa menggunakan bom untuk menangkap ikan.

“Bom tersebut yang menghancurkan terumbu karang. Jika sudah begitu, maka ikan-ikan akan berhamburan. Itu artinya, ekosistem perairan juga akan terus memburuk,” jelas dia.

Karena banyaknya terumbu karang yang rusak, Ziaulhaq mengungkapkan, upaya untuk pemulihan harus segera dilakukan jika ekosistem di laut sekitarnya bisa tetap terjaga. Cara terbaik, adalah dengan melakukan transplantasi terumbu karang dengan menggunakan media semen atau kapur.

Untuk setiap transplantasi, diperlukan biaya sedikitnya Rp50 juta. Dan, untuk wilayah Kota Batam saja, terdapat 10 site yang idealnya harus dilakukan transplantasi per site sebanyak 10 titik. Itu artinya, per site setidaknya harus ada 70 titik yang dilakukan transplantasi terumbu karang.

“Adapun, untuk terumbu yang ditranplantasi itu lebih banyak berasal dari jenis acrpora. Karena pertimbangannya cepat tumbuh, walaupun per tahun itu hanya satu centimeter saja pertumbuhannya. Butuh waktu sepuluh tahun untuk membuat terumbu karang sehat lagi,” tandas dia.

Kondisi terumbu karang di Pulau Abang, Batam. Terumbu karang tersebut terancam rusak karena sampah. Foto : M Ambari
Kondisi terumbu karang di Pulau Abang, Batam. Terumbu karang tersebut terancam rusak karena sampah. Foto : M Ambari

Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kota Batam sendiri terletak pada kawasan antara 103057’27” – 104025’53” BT, 0050’4,99” –0025’41,99 LU”, di Kecamatan Galang. Kawasan Konservasi Perairan ini memiliki luas 66.867 Ha.

Di kawasan tersebut, terdapat potensi biofisik. Selain ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove banyak tumbuh di Pulau Galang Baru, Pulau Abang Besar dan Pulau Abang Kecil. Jenis bakau yang dominan adalah Rhizophora.

Sementara, jenis-jenis lain yaitu api-api (Avicennavmarina), nyirih (Xilocarpusvgranatum), bakau merah (Rhizoporavapiculata), bakau putih (Rhizopora mucronata), lenggadai (Brugueira parvifora), dudukan merah (Lumnitzera littorea), dudukan merah (Lumnitzera racemosa), tingi (Ceriops tagal), pidada (Sonneratia alba), gadelam (Derris trifolita), waru (Hibiscus tiliacus), dan buta-buta (Exacaecaria agallocha).

Karena kaya akan terumbu karang, perairan KPPD Batam menyimpan potensi pariwisata bahari. Sedikitnya, terdapat 6 titik penyelaman yang bisa dinikmati para wisatawan lokal maupun mancanegara.

 

Sejarah COREMAP-CTI

COREMAP adalah program tahap jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia. Program tersebut akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.

Dari data yang dirilis KKP, ide awal yang mencetuskan gagasan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang bermula dari keprihatinan para peneliti kelautan Indonesia akan nasib terumbu karang yang kondisinya makin memburuk

Pada tahun 1980-an Indonesia ikut terlibat dalam Program ASEAN-Australia, Living Coastal Resources, untuk memantau dan mengevaluasi sumberdaya laut di Asia Tenggara.

Survei pendahuluan yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia tahun 1984 mencuatkan fakta yang sangat mengkhawatirkan, yang menunjukkan kondisi terumbu karang di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal sekitar 5 %, lumayan 29 %, buruk 25 %, dan sangat burruk 40 %.

Temuan ini mengejutkan banyak orang termasuk para pengambil keputusan di negeri ini, yang kemudian menimbulkan kesadaran akan perlunya diambil tindakan-tindakan untuk melindungi dan melestarikan ekositem yang sangat berharga ini.

Dengan dorongan kuat dari BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional), penelitian-penelitian terumbu karang mulai ditingkatkan dengan melibatkan 10 universitas dari berbagai propinsi di Indonesia, yang kemudian hari membentuk simpul-simpul yang menuju ke pembangunan jejaring informasi terumbu karang yang merupakan cikal bakal bagi dikembangkannya CRITC (Coral Reef Information and Training Centre).

Panitia Persiapan ditetapkan pada 1994, dan konsep awal COREMAP kemudian dirumuskan. Ternyata konsep ini mendapat tanggapan yang sangat positif dari berbagai lembaga internasional, bahkan kesediaan untuk ikut berpartsipasi.

Tiga lembaga donor menyatakan kesediaan mereka untuk memberikan bantuan pendanaan untuk program ini yakni World Bank, Asia Development Bank, dan AusAID (Australia Agency for International Development).

Pada 1 September 1998, COREMAP secara resmi diluncurkan. Adapun, pentahapan
 COREMAP direncanakan untuk 15 tahun, yang terdiri dari tiga tahap. Yaitu, Tahap Inisiasi (1998 – 2003): untuk menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu karang;Tahap Akselerasi (2004 – 2011): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas; dan Tahap Pelembagaan (2014 – 2019): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, dengan pelaksanaan terdesentralisasi, dan telah melembaga.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,