Perkuat ISPO tetapi Masih Mau Tanam Sawit di Gambut, Apa Kata Mereka?

Pemerintah tengah menyiapkan penguatan standar wajib sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Selama ini, standar yang ada dinilai masih lemah hingga ‘tak laku’ di pasar dunia. Penyusunan aturan yang rencana bakal naik status dari peraturan Menteri Pertanian (permentan) menjadi peraturan Presiden ini melibatkan lintas kementerian di bawah Kementerian Koordinator Pereknomian. Salah satu masih jadi perdebatan soal pembukaan dan ketinggian air di lahan gambut bagi pembangunan kebun sawit baru.

Dari Kementerian Pertanian,  yang mengurus perkebunan sawit mendorong ketinggian air gambut 0,6 meter sampai 0,8 meter, lebih rendah dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Sawit yakni 0,4 meter.

“Dibuat agak kering untuk drainase. Sesekali dibasahi agar tak terlalu kering. Itu tak akan terbakar, kok,” kata Bambang, Direktur Jenderal Kementerian Pertanian, baru-baru ini.

Baca juga: Soal Penguatan Standar Sawit Hijau Indonesia, Begini Perkembangannya

Kementan juga beranggapan lahan gambut kurang tiga meter masih bisa dibangun kebun sawit.

Pegiat lingkungan menanggapi.  “Harusnya semua aturan mengikuti regulasi lebih tinggi. Pada PP 71 itu kan 0,4 meter, otomatis ikut standar ke sana, bukan standar baru. Kalau standar baru malah ndak ada kepastian terhadap perlindungan gambut,” kata Muslim, Direktur Yayasan Mitra Insani dihubungi Mongabay, dua pekan lalu.

Dia menilai, usulan Kementan itu suatu kemunduran dan sangat berpihak kepentingan bisnis. Jika berlaku, hal itu akan merusak lingkungan lebih luas.

“Dengan bikin standar lebih rendah malah mengancam kebijakan Indonesia. Komitmen pemerintah mengurangi emisi dari deforestasi malah terganggu. Ini teror terhadap kebijakan,” katanya.

Senada dikatakan Woro Supartinah, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). Dia mengatakan,  Kementan seperti menantang kebijakan pemerintahan sendiri.

“Sertifikasi ini sebenarnya pelengkap, mestinya pelengkap tal bertentangan dengan yang wajib atau mandatori.  Ini ISPO malah menurunkan standar, berarti mereka masih menentang dan melindungi bisnis,” katanya.

Dia bilang, seharusnya, aturan yang baru disusun mengikuti regulasi yang ada. “Jangan sampai (ISPO) lebih rendah dengan regulasi. Mencari kelonggaran-kelonggaran dalam paket atau bungkusan sertifikasi,” katanya.

Baik Woro maupun Muslim khawatir, penguatan standar ISPO yang kana menjadi peraturan Presiden justru meningkatkan risiko kebakaran hutan. Ia bakal mengancam komitmen Presiden yang berencana memoratorium sawit.

“Kalau yang konservasi, kita mau kejar tak boleh pembukaan kanal di gambut. Sekecil apapun kanal gambut akan berdampak pada pengeringan gambut itu sendiri. Kenapa pilihan 04, meter, itu mengakomodir pertanian seperti palawija. Itu sebenarnya, bukan untuk pohon besar seperti sawit dan akasia,” ucap Muslim.

Woro menambahkan, risiko kebakaran hutan akan menjadi makin tak terelakkan jika standar ISPO seperti itu. “Gambut yang dikelola untuk perkebunan sawit saat ini sudah membuat gambut kering. Datangnya 0,4 meter itu bukan tanpa perdebatan. Kunci penanganan gambut pada tata air.”

Global Forest Watch Fires mencatat,  sedikitnya 127.000 titik panas terdeteksi di Indonesia tahun lalu. Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan kebakaran hutan hebat 1997. Penyebab kebakaran antara lain pembukaan dan pengeringan hutan gambut untuk perkebunan sawit.

Bukan jaminan

Sementara Warsi menilai, standar perkebunan sawit berkelanjutan melalui ISPO—bersifat wajib– maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)—sukarela perusahaan– tak menjamin hutan tak terbabat, mengurangi emisi gas rumah kaca dari perubahan fungsi lahan serta kepatuhan terhadap persyaratan hukum.

Terbukti di daerah banyak perusahaan sawit memegang sertifikasi ISPO maupun RSPO tak lantas mengimplementasikan nilai-nilai ekologi, sosial dan ekonomi.

Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi mengatakan, di lapangan, masih banyak pelanggaran perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikat RSPO.

“Permasalahan tak ada kontrol dari RSPO bahwa menjadi kewajiban anggota memenuhi standar-standar sawit berkelanjutan. Salah satu pelanggaran HAM dan konflik sosial masih terjadi,” katanya.

Dia bilang, konflik lahan masih tinggi meskipun perusahaan sudah ber-RSPO. “Paling kalau dilaporkan, mediasi. Kenyataan di lapangan masih saja perusahaan-perusahaan itu berkonflik.”

Dia mencontohkan, di Jambi, grup Sinar Mas, Astra masih berkonflik. Sampai 2008, katanya, hak guna usaha (HGU) dikeluarkan BPN pusat untuk perkebunan sawit di Jambi 1.203.545 hektar. Baru ditanam sekitar 589.340 hektar,  dengan produksi pertahun 1.381.540 ton.

Berdasarkan RTRWP Jambi (1995), izin HGU seharusnya di luar hutan. Namun,  secara ekologis lahan HGU ada pada kemiringan lebih 40 derajat terutama di sisi barat Jambi,  Merangin, Bungo, dan Sarolangin. Seharusnya, kata Rudi, daerah ini kawasan lindung, sebagai tangkapan air.

Tidak hanya itu, perebutan lahan untuk jadi kebun sawit, juga masing sangat tinggi, sepanjang 2010, perkebunan skala besar masih sangat aktif mengembangkan lahan baru. Karena lahan tersedia terbatas, perusahaan sawit aktif mengakuisisi lahan kelola rakyat/petani baik pola kemitraan bahkan membeli langsung.

Alih-alih RSPO yang sukarela, ISPO yang mengikat dan wajib, juga tak membuat pengusaha sawit menganggap itu hal penting.

Kondisi ini terlihat,  dari 189 perusahaan sawit di Jambi, baru sembilan mengantongi ISPO. Padahal,  ketentuan ISPO berdasarkan Permentan nomor tertanggal 29 Maret 2011 tentang ISPO sampai 31 Desember 2014, semua perusahaan harus mngantongi sertifikat  itu.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Jambi menilai, ISPO merupakan dokumen wajib yang harus dimiliki perusahaan sawit.

Ketua Gapki Jambi, Tidar M. Bagaskara mengatakan, dari 31 anggota Gapki Jambi baru 10 perusahaan bersertifikat RSPO. Gapki juga mendorong semua anggota punya ISPO.

Pada 2014, Gapki seminar soal ISPO mengundang perusahaan sawi di Jambi agar berkomitmen pada sertifikasi ini.

Dia mengaku, tak punya wewenang memaksa anggota mengantongi ISPO maupun RSPO.

“Sejauh ini kita belum ada sanksi bagi anggota GAPKI yang belum ISPO. Mungkin masih ada pengusaha berpikir urus ISPO berbiaya tinggi.”

Data Dinas Perkebunan Jambi, mayoritas perusahaan sawit di sana belum memiliki sertifikat ISPO. Dari 189 perusahaan beroperasi di Jambi, baru 38 mendaftar dan sedang proses, 10 perusahaan memiliki ISPO.

Untuk lahan sawit petani swadaya di Jambi seluas 120.000 hektar, baru 300 hektar atau 217 petani swadaya bersertifikat RSPO,  dengan dampingan organisasi lingkungan.

Yayasan Setara Jambi, sudah mendampingi sertifikasi RSPO sekitar 420 keluarga petani sawit seluas 750 hektar. Di Sumatera Selatan,  ada 300 petani sawit didampingi dalam pengurusan RSPO.

Rukaiyah Rafik, Direktur Yayasan Setara Jambi mengatakan, pengurusan lamban karena proses pembentukan kelembagaan.  “Ini tergantung organisasi petani, karena mentranformasi budaya berkelanjutan ini pada petani agak sedikit sulit,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,