Trenggalek, Alam yang Terusik Proyek Penambangan Emas (Bagian – 1)

Ketenangan masyarakat Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur terusik, setelah muncul kabar akan dilakukannya panambangan emas di desa tersebut. Tidak hanya Sumberbening, desa-desa lain pun was-was.

Dalam laman resmi Bappeprov Jawa Timur di Bappeda.jatimprov.go.id, tanggal 4 Juli 2011, disebutkan ada kandungan emas di tiga titik galian yaitu Suruh, Timahan, dan Kojan. Penggalian dengan kedalaman 910 meter itu dilakukan oleh perusahaan tambang multinasional Arc Exploration Ltd, melalui perusahaan tambang nasional PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN), selaku pemilik izin eksplorasi.

Dari lubang yang digali itu, kandungan emas yang ditemukan di Kojan yang tertinggi, yaitu 11,28 g/t dan perak 293 g/t pada titik simpang 1,9 meter di kedalaman 50 meter. Serta kandungan emas 1,39 g/t dan perak 40 g/t pada titik simpang 1,1 meter di kedalaman 104,2 meter.

Dalam catatan Bisnis Art Exploration, kandungan emas di Proyek Trenggalek itu memang telah terbukti setelah dilakukan penggalian di tiga titik gali yakni Sentul, Buluroto, dan Dalangturu, yang saat ini masuk pada tahap eksplorasi lebih lanjut. PT. SMN sendiri mendapatkan izin usaha pada akhir 2005 atas 95 persen porsi kepemilikan Proyek Trenggalek yang dikuasai Arc Exploration. Luas keseluruhan konsesinya mencapai 30.000 hektare yang tersebar di 12 kecamatan.

Kondisi hutan di pegunungan Semungklung dengan keragaman hayatinya. Foto: Petrus Riski
Kondisi hutan di pegunungan Semungklung dengan keragaman hayatinya. Foto: Petrus Riski

Masuknya perusahaan untuk melakukan eksplorasi memang dibenarkan Kepala Desa Sumberbening, Suyanto. Menurutnya, PT. SMN mulai datang ke desanya sekitar 2014 dengan misi eksplorasi kandungan emas. Kegiatan tersebut melibatkan warga yang direkrut sebagai pekerja proyek, yang ditugaskan memasang pita penanda maupun menyiapkan kabel dan patok yang akan digali untuk diambil contoh kandungan tanahnya.

“Tidak ada izin saat melakukan survei maupun pemasangan kabel, bahkan masyarakat juga tidak mengetahui,” kata Suyanto.

Supandi, warga Sumberbening mengiyakan keterangan Suyanto. Kedatangan pihak perusahaan tambang yang akan melakukan uji kandungan tanah di wilayah desa, tidak diketahui warga yang lahannya dipasangi tanda berupa pita. Hingga akhirnya perusahaan datang dengan beberapa peralatan, yang dipastikan membuat warga resah, kuatir terjadi sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup mereka dan lingkungannya.

“Tidak tahu, tiba-tiba perusahaan mendatangkan peralatan seperti pipa-pipa dan bor. Padahal, masyarakat belum mendapat sosialisasi,” kata Suyanto yang saat itu bersama masyarakat menolak dilanjutkannya rencana tersebut.

Survei dan eksplorasi yang dilakukan perusahaan itu, menimbulkan keresahan di masyarakat.  Dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial akibat akan dibebaskannya lahan milik warga. Selain itu, sumber air dan penghidupan masyarakat juga terancam hilang bila tambang emas jadi dieksploitasi. Juga, ancaman kerusakan lingkungan beserta ekologinya.

Supandi, Warga Desa Sumberbening, mencoba kesegaran air dari sumber mata air Plancuran yang keluar dari bawah bukit batu. Foto: Petrus Riski
Supandi, Warga Desa Sumberbening, mencoba kesegaran air dari sumber mata air Plancuran yang keluar dari bawah bukit batu. Foto: Petrus Riski

Ubah wilayah

Wilayah Kabupaten Trenggalek yang rencananya akan dijadikan lokasi tambang emas, merupakan daerah dengan kekayaan alam yang cukup beragam. Ada hutan, perkebunan, pertanian, pegunungan karst, hingga perikanan. Perubahan kawasan yang akan dijadikan  tambang perlahan dipastikan bakal mengubah alam dan seluruh kehidupan masyarakat.

Desa Sumberbening adalah satu dari sekian desa yang disebut memiliki kandungan emas cukup tinggi. Di desa ini juga ada hamparan sawah yang memberikan pemandangan indah. Di bagian utara, timur dan barat, berdiri kokoh gunung dan bukit yang mengelilinginya.

Meski bukan merupakan gunung berapi aktif, namun gunung-gunung yang ada di Trenggalek diketahui memiliki kandungan bahan tambang, seperti mangan, kaolin, dan marmer. Sementara, suburnya lahan pertanian di Trenggalek tidak dapat dilepaskan dari keberadaan 28 sungai yang panjangnya antara 2 hingga 41,50 kilometer. Belum lagi 91 dam dan 28 pompa air, serta 361 sumber mata air yang tersebar di berbagai wilayah tersebut.

Pertanian holtikultura yang dikembangkan masyarakat Desa Sumberbening yang merupakan penopang kehidupan mereka. Foto: Petrus Riski
Pertanian holtikultura yang dikembangkan masyarakat Desa Sumberbening yang merupakan penopang kehidupan mereka. Foto: Petrus Riski

Secara keseluruhan, kabupaten seluas 126.140 hektare ini terdiri dari 14 Kecamatan dengan 152 desa dan 5 kelurahan. Sekitar 2/3 luasan kabupaten merupakan pegunungan, dengan curah hujan mencapai 17,14 mm. Kondisi alam ini menjadikan pertanian sebagai penopang utama perekonomian masyarakat, khususnya padi dan produk hortikultura seperti durian dan pisang.

Salah satu gunung yang ada di Trenggalek adalah Semungklung, yang sebagian wilayahnya menaungi Sumberbening. “Banyak pohon besar di Semungklung. Wilayah itu merupakan hutan lindung, dan sebagian lainnya hutan produksi yang dikelola Perhutani,” ungkap Supandi, warga Sumberbening ketika ditemui Mongabay, awal November 2016.

Semungklung merupakan pegunungan dengan puluhan sumber mata air yang mengaliri desa-desa di bawahnya. Selain tanaman hutan ada juga satwa liar, seperti monyet ekor panjang, babi hutan, kijang, ular, maupun elang. Semungklung adalah sumber kehidupan dan tempat hidupnya masyarakat.

“Wilayah Semungklung meliputi 3 Kecamatan yaitu Dongko, Pule, dan Suruh. Mungkin sejak era Majapahit maupun Belanda, wilayah ini merupakan tempat kehidupan manusia, terbukti dengan ditemukannya uang jaman dulu,” terang Supandi.

Keberadaan hutan lindung, otomatis membawa manfaat bagi warga. Terutama untuk pertanian yang membuat warga bisa panen hingga tiga kali setahun. Tidak hanya di Sumberbening, desa-desa sekitar juga ikut merasakan nikmatnya memiliki sumber air bersih.

“Kemakmuran masyarakat diperoleh melalui pertanian dan perkebunan yang tidak pernah kekurangan air untuk mengairi sawah dan ladang. Bahkan saat musim kemarau, sawah di Sumberbening masih terairi,” tutur Supandi.

Gunung Manikoro di Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kampak, yang mengalirkan air ke Sungai Tawing dan dimanfaatkan masyarakat untuk dipakai mengairi sawah mereka. Foto: Petrus Riski
Gunung Manikoro di Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kampak, yang mengalirkan air ke Sungai Tawing dan dimanfaatkan masyarakat untuk dipakai mengairi sawah mereka. Foto: Petrus Riski

Suyanto pun mengungkapkan, kebudayaan dan adat istiada masyarakat turut mengikat untuk menjaga alam, dari dulu hingga kini. “Sumberbening punya sejarah budaya, terutama sumber mata air. Sebagai desa agraris, Sumberbening yang jumlah penduduknya sekitar 4.500 jiwa, menggarap lahan mereka sendiri yang rata-rata setengah hektare. Di sini lahan pertanian sekitar 60 persen, sisanya hutan lindung.”

Tidak jauh berbeda dengan Sumberbening, kondisi desa lain di Trenggalek pun subur dengan pasokan air bersih melimpah dari pegunungan. Menurut Suhari, Ketua RT 23 Dusun Kajar, Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, sektor pertanian khususnya perkebunan dan ladang, menjadi gantungan hidup masyarakat setempat.

Warga bercocok tanam di lahan garapan sendiri dengan menanam kelapa, manggis, durian dan salak, selain tanaman kayu. Hasil panen itu dijual ke pasar maupun ke Trenggalek.

“Kalau di sini tidak ada sawah padi, adanya lahan tegalan untuk tanaman kayu dan buah-buahan,” ucap Suhari saat ditemui dirumahnya.

Puncak bukit ini akan ditambang bila pemerintah mengizinkan perusahaan penambang emas beroperasi di Trenggalek. Foto: Petrus Riski
Puncak bukit ini akan ditambang bila pemerintah mengizinkan perusahaan penambang emas beroperasi di Trenggalek. Foto: Petrus Riski

Banyaknya tanaman berkayu besar yang tumbuh di wilayah Dukuh, menjadikan kawasan itu tidak pernah kesulitan mendapatkan air. “Mata air yang besar ada satu, dan itu dikelola PDAM. Kalau yang kecil-kecil dikelola warga, cukup untuk minum dan mengairi ladang.”

Desa Dukuh di Kecamatan Watulimo ini terletak di wilayah perbukitan dengan ketinggian mencapai 573 meter dari permukaan laut. Selain pertanian, Watulimo memiliki objek wisata pantai, mangrove hingga goa, yang merupakan kekayaan alam tak ternilai.

“Selama ini masyarakat cukup hidup dari hasil bumi dan alam sekitar. Ada yang bertani, berkebun, dan nelayan,” lanjutnya.

Bergantungnya masyarakat pada sumber daya alam yang selama ini dimanfaatkan hasilnya terutama air bersih, dipastikan terancam hilang dan rusak saat perusahaan tambang datang. Masyarakat pun bertekad, mempertahankan kondisi alam mereka sebagaimana adanya, tanpa harus diubah menjadi kawasan tambang. “Tujuannya agar anak cucu atau generasi mendatang ikut menikmati kekayaan alam ini,” tandas Supandi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,