Kopi Aroma Unik Ini Bersahabat dengan Lahan Gambut

Segelas kopi hitam masih mengepulkan asap tipis. “Liberika Tungkal.  Coba!” kata Bambang, rekan saya. Abangnya, dapat kiriman sebungkus kopi liberika dari kawan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Kopi tanpa gula ini pahit, tetapi tak begitu kuat macam robusta.

Deni, pemilik kedai kopi Koffiekopi punya pendapat soal kopi Tungkal. Katanya, kopi liberika Tungkal punya rasa unik. “Ada mirip sayuran, mirip kacang, mirip karedok. Ada aroma-aroma nangka,” katanya.

Rasa asam dan manis sedikit mirip arabika, tetapi kental saat disesap tak sekuat robusta. Deni mengatakan, liberika ada di antara arabika dan robusta.

Di Indonesia, liberika mulai dikenal abad 19. Kopi yang tumbuh liar di Liberia, Afrika Barat ini dibawa Belanda untuk mengganti arabika yang waktu itu terserang hama daun karat atau hemelia vastatrixi (HV).

Meski diganti, kopi arabika masih ditemukan di dataran tinggi kantong penghasil kopi Indonesia, seperti Ijen, Jawa Timur, Toraja, Gayo, Aceh, dan lereng bagian atas Bukit Barisan Sumatera, seperti Mandailing, Lintong dan Sidikalang.

Sayangnya, pada 1907, liberika juga terserang daun karat. Hampir semua kopi di daratan rendah rusak. Belanda mengganti dengan robusta. Liberika lebih tahan penyakit daun karat ketimbang arabika, meski tak sekuat robusta.

Liberika tumbuh liar tak hanya di Afrika Barat, menyebar hampir di seluruh hamparan Afrika dari Burkina Faso, Gabon, Gana, Maurtania, Negeria, Pantai Gading, Gambia, Uganda, Kamerun, Mauritius hingga Anggola.

Perlahan kopi liberika mulai merambah daratan Filipina, Guyana, Suriname, Malaysia dan Indonesia. India, Srilanka, Thailand, Taiwan, Vietnam dan Timor-Timur juga ikut membudidayakan, meski laha terbatas.

Sayuti, tertarik dengan liberika. Dia bawa biji kopi dari Malaysia dan tanam di tanah petak di Kelurahan Mekar Jaya, Betara, Tanjung Jabung Barat, Jambi sekitar 1940.

Duapuluh tahun kemudian, liberika mulai dibudidayakan di Desa Parit Lapis, Mekar Jaya. Terus dan terus, hingga meluas sampai ribuan hektar di pesisir pantai timur Jambi, mayoritas lahan gambut.

Catatan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Tungkal, Jambi, ada 2.710 hektar perkebunan kopi liberika di enam kecamatan gambut, yakni, Betara, Bram Itam, Pengabuan, Senyerang, Tungkal Ilir, dan Kuala Betara.

Pada 6 Desember 2013, Menteri Pertanian, Suswono mengeluarkan surat keputusan menetapkan varietas kopi di Tanjung Jabung Barat,  dengan nama liberika Tungkal komposit (libtukom). Masyarakat Tungkal lebih umum pakai nama kopi excelsa.

Kopi libtukom punya rasa cukup menarik untuk diperhitungkan di perdagangan pasar maupun di lidah pecinta kopi. Dalam sertifikat indikasi geografis dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM 23 Juli 2015, tertulis hasil uji citarasa oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia, menyimpulkan, liberika Tungkal dengan proses olah basah kopi peram (OBKP) memiliki citarasa herbal, rubbery, rutter sourish and too high acidity.

Jenis ini dapat final score notation spesialit grade 82,75. Untuk kopi olah basah kopi madu (OBKM) memiliki cita rasa herbal, rubbery, sweet, strong aroma, heavybody and very balance dengan final score notation spesialit grade 83,5.

Panen setahun, di Tungkal,  bisa menghasilkan lebih 2.000 ton biji liberika dengan pasar sampai ke Malaysia. Petani hanya bisa menjual kopi sebatas ke pengepul di Kuala Tungkal.

“Kalau kopi original, mau berapapun (jumlahnya) masyarakat lokal mau nampung, yang susah itu yang kualitas SOP (bagus),” kata Murdianto Ketua MPIG Tungkal.

Selain masyarakat lokal, ada juga pengusaha dari Depok kadang kala minta kiriman kopi kulitas bagus. “Dulu, bu Yuli pernah minta 300 kg,” katanya, mengacu orderan dari Depok.

Sekitar 2011-2012,  biji kopi original pernah tembus Rp38.300 perkg, turun jadi Rp32.000 pekg. Sekarang, dari tangan petani, biji liberika original kisaran Rp34.000-Rp35.000 perkg.

Untuk kopi kualitas bagus bisa sampai Rp65.000 perkg, kopi sangrai Rp150.000 dan kopi bubuk Rp160.000 perkg.

Menurut Murdianto, setiap 17 Agustus dan menjelang Lebaran, harga kopi selalu turun. Paa Desember sampai awal tahun harga baru naik sedikit-sedikit.

Meski hampir lima dekade budidaya liberika, nama kopi Tungkal baru mulai dikenal beberepa tahun belakangan. Murdianto berencana mengajak Gubernur Jambi, Zumi Zola ngopi bareng, agar kenal Jambi punya kopi lokal.

Biji kopi liberika. Foto: Yitno Suprapto
Biji kopi liberika dengan aroma unik. Ada aroma sayur, kacang-kacangan sampai nangka . Foto: Yitno Suprapto

 

Liberika Meranti

Beralih ke sekitar 500 kilometer dari Tanjung Jabung Barat, di Pesisir Kepulauan Meranti. Haji Saleh, pulang merantau dari Batu Pahat, Johor Baru, Malaysia, sekitar 1940an. Dia bawa pulang enam bibit liberika ke Desa Kedabu Rapat, Kecamatan Rangsang Pesisir, Pulau Meranti, Riau. Bibit liberika itu ditanam.

Tujuhpuluh tahun kemudian, sekitar 700 hektar lahan gambut di Kedaburapat jadi perkebun kopi liberika. Di Meranti, selain di Kedabu Rapat, kopi ini juga dikembangkan di Minasimpian, Sendaur dan sedikit di Tanah merah.

Ada tumpukan biji kopi ribuan ton saat petani di Kedapurapat panen. Kopi-kopi ini dijual ke pengepul, yang kemudian bawa ke Malaysia. Sejak 1985, liberika Meranti sudah menjajaki pasar Malaysia.

“Ada juga jual ke Bali, Singapura, yang lebih dekat,” kata Solehudin, petani kopi Kedapu Rapat.

Di Malaysia, liberika Meranti kisaran Rp40.000 perkg. Harga lebih murah dibanding pasar domestik, bisa Rp60.000 perkg untuk kopi green bean. Kopi sangrai, harga bisa Rp130.000, dan kopi bubuk dibandrol Rp150.000 perkg.

“Kalau untuk kita (domestik) saya pilih yang bagus-bagus, yang hitam, yang pecah dipisahin,” kata Soleh.

Untuk kopi luak liberika Meranti, harga bisa delapan kali lebih mahal. Harga kopi luak green bean Rp600.000 perkg, sangrai bisa Rp1,1 juta sekg. Kopi luak liberika bubuk seharga Rp1,3 juta perkg. Di dunia, kopi luak dikenal sebagai kopi terbaik, bisa dijual Rp3-Rp4 juta perkg.

“Kita pakai luak liar, kata pecinta kopi rasanya lebih enak dibanding pakai luak ternak,” ucap Soleh. “Harga sesuailah, kita dapat juga susah.”

Nama liberika dari Meranti, mulai naik daun. Terutama setelah kopi para petani pesisir Selat Malaka ini mendapatkan penghargaan sebagai hasil pertanian terbaik dari Dirjen Kekayaan Intelektual Nasional, Juli 2016.

Bagi masyarakat Rangsang Pesisir, kopi lebih menjanjikan ketimbang sawit yang tumbuh pesat di Riau. “Dulu ada yang pernah tanam sawit, harga jelek, jadi tebang lagi ganti kopi,” katanya.

Soleh meneruskan usaha bapaknya, juga petani kopi. Ada lahan gambut lima hektar dibuat menjadi perkebunan kopi liberika. Dia menanam kopi tumpang sari. Ada pinang dan kelapa. Hasil kebun kopi, katanya, cukup membantu.

“Bapak saya sekolahin sembilan anak dulu dari hasil kopi.”

Liberika Meranti. Foto: Yitno Suprapto
Liberika Meranti. Foto: Yitno Suprapto

 

Tanaman baik hati

“Kopi ini tanaman baik hati,” kata Veronica Herlina, Eksekutif Sustainable Platform Coffee Indonesia (SCOPI), saat dijumpai usai dialog pentas inovasi rakyat bersama BRG kala Jambore Gambut, Minggu (6/11/16) di Jambi.

Kopi, katanya,  bisa hidup berdampingan dengan apa saja, pinang, pisang, jeruk, macam-macam, asal bukan sawit. “Sawit rakus air,” katanya.

Pada dasarnya, kopi perlu tanaman pelindung untuk mengurangi intensitas sinar matahari sampai di kanopi daun. Kopi justru tak akan tumbuh baik di areal terbuka.

Dia biacara di hadapan masyarakat Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Riau dan Jambi, bahwa kopi tak merusak gambut. Selama ini, tanaman monokultur tak ramah gambut, macam sawit, yang menguasai tujuh provinsi itu. Indonesia,  menjadi penghasil sawit terbesar dunia.

Di dunia, Indonesia negara penghasil kopi terbesar keempat setelah Brasil, menguasai 30% perdagangan kopi global. Vietnam, penghasil robusta terbesar dunia, dan Kolombia menghasilkan biji kopi 810.000 ton pada 2015.

Veronica bilang, belasan persen dari total perdagangan kopi dunia disuplai Indonesia.

Dalam bisnis kopi, Indonesia, punya posisi penting memenuhi permintaan, sekaligus menjaga keseimbangan pasokan dunia. Terlebih, tren peminum kopi di setiap negara terus meningkat.

Dalam pandangan Veronica, petani lahan gambut harus bisa mengambil peluang dalam pengembangan liberika karena punya prospek bagus. “Di Jember, masyarakatnya sampai impor liberika dari Vietnam,” katanya.

Indonesia, punya potensi lahan kopi yang dapat dikembangkan berkelanjutan. Negara seribu pulau ini juga dikenal punya varian kopi terbanyak hampir 100 jenis. Nama kopi Gayo, Lintong, Mandiling, Solok, Jawa, Toraja, Wamena Papua, Lanang, Kintamani Bali, hingga kopi terbaik dunia, kopi luak, ada di Indonesia.

Produksi kopi Indonesia didominasi robusta, hampir 83%  dari produksi. Sumatera Selatan dan Lampung, penghasil robusta terbesar Indonesia. Dataran tinggi Aceh dan Sumatera Utara penghasil arabika terbesar, 17% total produksi kopi Indonesia dari sana. Sebagian kecil liberika di Jambi.

Veronica bilang, SCOPI akan membuka jaringan ke pedagang dan pengusaha kopi untuk membantu pemasaran kopi petani. Anggota SCOPI,  katanya, banyak pengusaha yang memerlukan pasokan kopi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,