Apa Sebab Petani Ende Malah Enggan Menanam Ubi Nuabosi yang Rasanya Terkenal Lezat ini?

Keberadaan ubi nuabosi atau uwi ai nuabosi yang berasal dari Dataran Ndetundora di Kabupaten Ende, Flores, tidak saja sohor di NTT namun hingga wilayah diluar NTT. Mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah mencicipi kelezatannya.

Berbeda dengan ubi lokal, bentuk ubi nuabosi memiliki ukuran batang dan umbi yang lebih besar. Menurut yang pernah memakannya, rasanya juga khas yaitu lebih enak dan wangi.

Ubi ini terdiri dari lima varietas, waitero (ubi kayu kuning), waibara (ubi kayu putih), toko rheko, tana ai dan terigu. Masing-masing varian tersebut secara turun temurun telah dibudidayakan oleh petani petani dan telah menjadi jenis yang stabil dan seragam bila dipisahkan dengan varian lainnya.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, dari lima jenis varietas lokal yang terdapat di daerah Nuabosi, ternyata varietas terigu, tana ai dan toko rheko adalah jenis yang ditanam lebih luas dibandingkan dengan varietas lainnya.

Menariknya, menurut penuturan dari mosalaki (tetua) masyarakat adat Nuabosi Aloysius Sido, ubi ini berasal dari Brasil yang diperkenalkan pertama kali oleh kolonialis Portugis di abad-16.

Saat Portugis hengkang dari tanah Flores, tanaman ubi ini tidak lagi dikembangkan secara intensif hingga sekitar tahun 1950-an kembali dibudidayakan.

“Setelah kemerdekaan dan saat krisis pangan akibat peperangan, masyarakat kembali tanam untuk konsumsi sendiri. Setelah keadaan aman masyarakat tanam besar-besaran untuk dijual memenuhi kebutuhan hidup,” tuturnya.

Meskipun diakui memiliki rasa yang lezat dan khas, namun ironisnya banyak petani Ndetundora yang dijumpai oleh Mongabay Indonesia saat ini sudah malas membudidayakan ubi ini. Alasannya petani tidak banyak mendapat keuntungan dari harga jual ubi Ndetundora.

“Hitungan ekonominya petani rugi sebab umurnya bisa 10 bulan sampai 1 tahun baru bisa dipanen,” jelas Aloysius Pala (62), salah satu petani Desa Ndetundora.

Dia menjelaskan bahwa dalam areal seluas setengah hektar, ubi nuabosi dibeli pedagang hingga 10 juta rupiah. Namun hal itu dirasa belumlah cukup bagi petani untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Karena panennya lama kami hanya tanam ubi nuabosi sedikit saja, sisa lahan lain ditanami tanaman sayur dan jagung,” tambah Siprianus Leda, petani lainnya menjelaskan.

Aloyisius Setu (kiri) dan Siprianus Leda petani ubi Naubosi di desa Ndetundora.
Aloyisius Setu (kiri) dan Siprianus Leda petani ubi nuabosi dari Ndetundora. Foto: Ebed de Rosary.

Diapun mengaku, lahannya yang ditanami ubi nuabosi telah diijonkan kepada pedagang. Pada saat berumur 6 bulan, bahkan ada yang sebulan, pedagang akunya berani membayar lunas sehingga mereka yang akan memanen nantinya.

“Kami jual dengan sistem ijon sebab kami butuh uang, jika menunggu waktu panen nilainya pun tetap sama, tidak memberikan keuntungan,” jelasnya.

Sistem Perdagangan Tidak Menguntungkan Petani

Sebagai wilayah kering, NTT sebenarnya sangat berpotensi sebagai area budidaya ubi-ubian, setidaknya itu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Arwita Arasa dan Yosef Seran, keduanya peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Produksi ubi kayu pada periode 2000-2009 di NTT berkisar 0.87-0.94 juta ton (BPS, 2009), meski masih kalah jauh dari dua jenis sereal seperti padi dan jagung. Mirisnya, luas lahan ubi kayu pun menurun. Dari sekitar 2.100 hektar pada tahun 2010, turun menjadi 1.300 hektar saja pada tahun 2012.

Tak tinggal diam, Pemda Kabupaten Ende dan Pemprov NTT, sebenarnya telah melakukan upaya untuk mendorong petani untuk mau menanam ubi. Bahkan telah menetapkan ubi nuabosi menjadi varietas ubi unggulan Kabupaten dan Provinsi sejak Desember 2015 lalu.

Saat dijumpai Mongabay  Indonesia, Kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Tanaman Pangan Kabupaten Ende, Marianus Alexander Parera, menyebutkan pihaknya telah memberi bantuan stek dan insentif dana bagi para petani. Namun hingga sekarang, petani belum maksimal mengembangkan jenis ubi ini dengan alasan tidak banyak memberikan keuntungan.

Marianus menyebutkan permasalahan terjadi saat tingkat keuntungan tidak merata. Hanya menguntungkan pedagang saja. Bahkan untuk mencari keuntungan tinggi, para pedagang tak enggan melakukan praktik curang yaitu mencampurkan ubi nuabosi dengan ubi jenis lainnya.

“Semua ubi nuabosi yang dijual di pasar sudah tercampur,” lanjut Marianus.

Hasil penelusuran di Pasar Mbongawani Ende, Mongabay Indonesia menjumpai satu ikatan berisi 8-10 buah ubi terigu nuabosi dijual sekitar Rp40 ribu.

“Kebanyakan pembelinya berasal dari luar Ende bahkan luar NTT. Sekali beli mereka bisa 10 sampai 20 ikat,” tutur seorang pedagang.

Dia mengaku mampu meraup keuntungan 500 ribu hingga 1 juta rupiah seharinya. Ironisnya keuntungan besar pedagang di pasar tidak tersebar merata bagi para petani.

Demikian juga pembeli, mereka kadang merasa tertipu. Para pembeli curiga ubi nuabosi yang mereka beli di pasar telah dicampur dengan ubi kebanyakan. Hal ini menambah rumit permasalahan dan menjadi benang kusut usai varietas ini ditetapkan menjadi varietas ubi unggulan.

“Kami merasa ditipu sebab dalam satu ikat paling hanya setengahnya saja yang ubi nuabosi, sisanya pasti ubi dari daerah lain. Saya tahu, sebab saya selalu makan ubi nuabosi jadi paham rasanya,” ungkap Petrus Woda, salah satu warga Ende yang dijumpai di pasar.

Dirinya mengaku kapok membeli ubi nuabosi di pasar, meski kadang ada kerabat dari luar daerah yang ingin mencicipi kelezatannya. “Daripada nanti malu karena rasanya beda.”

Ubi nuabosi varietas kuning yang baru ditanam kembali setelah hampir 20 tahun menghilang.
Ubi nuabosi varietas kuning. Ubi ini memiliki umbi dan batang yang lebih besar ketimbang ubi kayu pada umumnya. Foto: Ebed de Rosary

Aloysius Setu, petani Nuabosi yang ditemui di kebunnya tak memungkiri kenyataan ini.

Menurutnya, dia sering mendapat keluhan dari pembeli. Namun sebagai petani dia mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Dia pun mengusulkan pemerintah untuk bertindak.

“Kami sudah usulkan kepada pemerintah untuk membuat pasar khusus atau semacam kios penjual ubi nuabosi di kampung kami, namun Pemda Ende tidak menanggapi,” kata Setu.

Ironis memang, sebuah varietas unggulan seperti ubi nuabosi dibiarkan terlantar, perkembangannya pun tak nampak terlihat. Akibatnya, luas areal tanam ubi nuabosi saban tahun terus merosot.

“Petani yang menanam dan merawat tapi yang meraup untung besar pedagang. Pembeli pun semakin tidak percaya kualitas ubi, kami ini petani yang jadi serba salah,” lanjutnya.

Bila tidak segera diatasi, maka ubi nuabosi yang tenar berkat kelezatannya, cepat atau lambat akan tinggal nama karena tidak ada lagi petani yang mau membudidayakannya lagi.

Semoga segera ada langkah konkrit.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,