Hadapi Perubahan Iklim, Kesadaran Pemerintah Daerah Terbilang Minim

Masih banyak kabupaten/kota di Indonesia, atau lebih 50% belum memasukkan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Demikian diungkapkan perwakilan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Budi Sulistyono di Jakarta, Kamis (24/11/16).

Budi, juga Bupati Ngawi mengatakan, perencanaan pembangunan sensitif risiko iklim dan bencana menjadi kunci agar masyarakat lebih siap. Antarlembaga dan sektor,  katanya, pemerintahan harus saling terkoneksi agar bersama-sama menghadapi perubahan iklim di daerah.

“Mestinya, dengan situasi sekarang ini, pimpinan daerah harus memperlihatkan kepanikan. Musim ini bisa meluluhlantakkan semua bangunan, juga apa saja yang direncanakan,” katanya.

Untuk itu, katanya, mumpung sedang menyusun anggaran 2017, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) semua harus disiapkan. “Baik mengantisipasi bencana, maupun pencegahan bencana ke depan,” katanya.

Bencana, katanya,  bisa dari resapan air berkurang. Untuk itu, jangka panjang, semua daratan yang memungkinkan tangkapan air harus tertanami sempurna. Jangka pendek, pemerintah daerah harus bisa mengantisipasi musim tak menentu dampak perubahan iklim.

“Kalau banjir dan longsor, logistik harus disiapkan. Masyarakat harus diajari mandiri. Tanggap darurat di desa-desa kita sudah ada. Harus munculkan tanggap darurat solidaritas dan gotong royong masyarakat. Harus dimotori pemerintah,” katanya.

Dia melihat, belum semua pemerintah kabupaten/kota memeprsiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim.

“Semua serentak, sama menangani bencana ke depan. Cara pandang harus sama. Sosialisasi terus dilakukan baik dari kementerian, BNPB dan lain-lain.”

Menurut dia, Ngawi sudah tanggap siaga menghadapi dampak perubahan iklim dan bencana. Namun, katanya, dalam menghadapi itu tak bisa berjalan sendirian, perlu dukungan daerah lain.

Anggota Siswa Pecinta Alam (Sispala) CAMAR SMA Negeri 1 Singkawang, sedang menanam mangrove di Kelurahan Setapuk Besar. Foto: Dok. WWF-Indonesia
Anggota Siswa Pecinta Alam (Sispala) CAMAR SMA Negeri 1 Singkawang, sedang menanam mangrove di Kelurahan Setapuk Besar. Foto: Dok. WWF-Indonesia

Ngawi melakukan pendidikan terhadap masyarakat soal tanggap darurat bencana, pelatihan ke kelompok-kelompok tanggap darurat di setiap desa rawan bencana.

“Kami adakan peralatan, seperti perahu-perahu karet harus berfungsi sempurna. Semua Puskesmas harus mempersiapkan apa yang diperlukan. BPPD juga demikian, harapannya dialokasikan anggaran dan sumber daya manusia,” katanya.

Budi mengatakan, perencanaan pembangunan harus mengacu upaya penanganan bencana, misal, bangun rumah, setidaknya harus mengalokasikan 25-30% untuk terbuka hijau.

Sayangnya, kata Budi, kini masih ada ego sektroral dan rivalitas di daerah. “Bagaimana menarik investor sebanyak-banyaknya di daerah. Kadang investor minta apa saja diberi. Apakah itu menggusur lahan hijau, atau menggusur lahan pertanian, dibiarkan saja asal investor masuk,” katanya.

Jadi, katanya, harus ada keseragaman dan konsiten dalam menjalankan aturan tata ruang, misal, mana wilayah industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain

“Sekarang ini kan tidak, masih banyak daerah ingin investor masuk dan menuruti mereka. Bahkan investor diberikan kebebasan dimana tempat suka,” katanya.

Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, Lilik Kurniawan mengatakan, tak ada satupun kabupaten/kota bebas ancaman bencana. Pada 2007, dana merespon bencana tahun sebelumnya mencapai 10% dari APBN.

Data Bappenas 2013, menunjukkan bencana rentang 2004-2013 menyebabkan kerugian Rp162,8 triliun. “Penting bagi pemerintah kabupaten sadar dan merencanakan pembangunan agar risiko bencana di daerah dapat dikurangi.”

Dengan berbagai risiko iklim dn kerentanan di Indonesia, katanya, sudah saatnya pemerintah daerah bertindak cepat menyusun rencana pembangunan berkelanjutan dengan memprioritaskan sektor-sektor paling rawan terdampak perubahan iklim.

Dalam penyusunan program pembangunan, harus ada penilaian dan kajian kerentanan lebih lengkap dan komprehensif. “Termasuk, rencana tata ruang harus memperhitungkan kerawanan daerah dan mengubah perspektif serta praktik bisnis biasa,” katanya.

Selain itu, juga mendorong peningkatan kapasitas daerah agar bisa menghubungkan antara pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.“Membangun kabupatan kota tangguh bencana adalah idaman kita.”

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK Nur Masripatin mengatakan, saat ini perlu mempercepat implementasi mencapai target Nationally Determined Contributions (NDC)). Strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, katanya, tak dapat dipisahkan dari perencanaan pembangunan daerah.

”Target-target perjanjian dan komitmen internasional dan nasional harus dielaborasi ke setiap sektor dan daerah, seperti sektor lahan dan kehutanan, energi, transportasi, dan lain-lain.”

Pembukaan gambut buat kanal di konsesi PT PP Lonsum Kedang Makmur, Kalimantan Timur. Kala pemerintah daerah masih minim kesadaran soal perubahan iklim, maka tak akan terpikir kalau izin-izin di hutan gambut yang mereka berikan pada perusahaan itu bakal menciptakan pelepasan emisi besar, dan mendatangkan bencana lingkungan. Foto: Aidenvironment diambil Mei 2015
Pembukaan gambut buat kanal di konsesi PT PP Lonsum Kedang Makmur, Kalimantan Timur. Kala pemerintah daerah masih minim kesadaran soal perubahan iklim, maka tak akan terpikir kalau izin-izin di hutan gambut yang mereka berikan pada perusahaan itu bakal menciptakan pelepasan emisi besar, dan mendatangkan bencana lingkungan. Foto: Aidenvironment diambil Mei 2015

Masih terkendala

Pentingnya peningkatan peran daerah dalam menghadapi perubahan iklim juga dikatakan Kasubdit Pengendalian Lingkungan Hidup Kementerian Dalam Negeri, Ala Baster.

Dia mengatakan, pengarusutamaan perubahan iklim dalam pembangunan daerah masih mengalami beberapa kendala. Pertama, pemerintah daerah masih bingung menentukan program mitigasi atau adaptasi perubahan iklim.

“Harus ada pola pikir, masalah lingkungan tak hanya soal sampah. Perlu ada kelembagaan kuat dengan tugas wewenang dan pendanaan dalam APBD,” katanya dalam diskusi di Jakarta,Senin (21/11/16).

Selain itu, UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dilarang menyusun kegiatan tanpa norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sebagai pedoman. “Karena itu daerah galau, mau kerja dasarnya apa. Banyak kepala daerah agak hati-hati (mengalokasikan dana) karena banyak kepala daerah yang bermasalah  dengan program dari pusat, kena di administrasi,” ucap Baster.

Selain itu, semestinya pemerintah daerah menginventarisasi sektor dan wilayah rentan dampak perubahan iklim. “Misal Jakarta, rentan wilayah Jakarta Utara,” katanya.

Setelah itu, pemda bisa menyusun strategi adaptasi perubahan iklim berdasarkan kajian kerentanan dan mengintegrasikan ke penyusunan rencana pembangunan daerah. Strategi ini, katanya, disusun melibatkan dinas teknis terkait dan sesuai prioritas pembangunan daerah. “Berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat,” katanya.

 

Acuan rencana nasional

Erik Armundito dari Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas, mengatakan, rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim (RAN API) merupakan dokumen yang menyediakan arahan aksi adaptasi lintas sektor untuk jangka pendek, jangka menengah dan panjang.

Catatan Bappenas, berbagai bencana perubahan iklim atau hidrometeorologi, selama 2000-2010 menyebabkan 4.936 orang meninggal dan hilang, 17,7 juta jiwa menderita dan mengungsi, ratusan ribu rumah rusak dan lebih 2,5 rumah terendam banjir.

Dalam RPJMN 2015-2019, ucap Erik, pemerintah telah memasukkan perubahan iklim sebagai program lintas bidang dengan target menurunkan emisi dari lima sektor prioritas yakni kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi (transportasi), industri dan limbah.  Ia juga bertujuan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim, baik ketahanan ekonomi, sistem kehidupan, ekosistem, wilayah khusus dan sistem pendukung.

Untuk itu, pemerintah menunjuk 15 daerah percontohan yakni Bali, Kota Semarang, Pekalongan, Jawa Barat, Blitar, Bandar Lampung, Jawa Timur, Malang, Kota Batu, Kota Malang, NTB, Pulau Lombok, Tarakan, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.

Daerah ini dipilih karena dinilai sudah punya kajian kerentanan daerah, ada komitmen daerah. Ada adaptasi yang sudah dan sedang bejalan baik, ada pokja perubahan iklim daerah yang sesuai RAN API.

Penasihat Senior RAN API, Budhi Setiawan, mengatakan dokumen RAN API yang terbit 2014 dalam tahap persiapan implementasi di daerah. Dalam dokumen itu, katanya, ada tiga poin utama, yakni kondisi iklim daerah, strategi berdasarkan perubahan iklim, dan efektivitas serta efisiensi implementasi.

Kondisi iklim, katanya,  dikaji daerah, untuk strategi ketahanan, daerah bisa mengacu dokumen RAN API yang ada dan berkonsultasi dengan Bappenas.

Untuk efektif efisiensi program, kata Budhi, memang belum bisa ditentukan. Bappenas, katanya, sedang membangun sistem untuk mengetahui sejauh apa implementasi dokumen ini di daerah.

“Hampir semua daerah sudah memasukkan ini dalam RPJMD, sudah punya rencana. Implementasi kita belum lihat karena sistem sedang dibangun,” katanya.

Implementasi tak harus dengan program baru. Bisa jadi, daerah mengsinkronkan kegiatan ada dan memiliki muatan adaptasi perubahan iklim.

Yulita dari Direktorat Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. Kemenkes, kata Yulita, tak punya indikator khusus adaptasi perubahan iklim. “Semua terintegrasi, misal, dalam Permenkes 2011 tentang strategi adaptasi perubahan iklim dan Permenkes 2012 tentang identifikasi faktor risiko adaptasi perubahan iklim.”

Hal ini dibenarkan Ala Baster. Katanya, terpenting kesepahaman sama di level nasional tentang apa adaptasi dan mitigasi.

Contoh, seperti dilakukan Pemda Lampung. “Saat banjir, pemda tak hanya menumpukkan masalah pada Dinas Pekerjaan Umum juga Dinas Pendidikan dengan pendidikan mitigasi. Mereka bangun sumur resapan dikerjakan anak-anak sekolah dasar. Itu sudah termasuk RAN API,” kata Budhi.

Menurut Baster, pemda perlu membuat satu mata anggaran RAD API. “Cuma perlu kesepakatakan. Kode mata anggaran harus sama. Sudah ada daerah yang punya namun kurang terstrukur.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,