Pengembangan Listrik Tenaga Surya Masih Terkendala, Mengapa?

Proyek pembangkit listrik 35.000 Mega Watt, sekitar 25% bersumber energi terbarukan, antara lain menargetkan 6.400 MW untuk energi surya fotovoltaik (PV). Bagaimana kondisi energi panel surya ini di Indonesia?

“(Untuk pembangkit energi terbarukan) ada beberapa sudah tender. Target minimal 5.000 MW tercapai pada 2019,” kata Direktur Konversi Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Maritje Hutapea.

Menurut dia, penting bagi pemerintah menggenjot penggunaan energi baru dan terbarukan, salah satu memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030.

“Penting untuk meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi serta meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri,” katanya.

Meskipun begitu, dia menyadari industri fotovoltaik dalam negeri belum berkembang baik walau potensi alam sangat besar. Potensi energi matahari di Indonesia berkisar 4,8 kWh per meter persegi hari.

“Animo masyarakat untuk industri fotovoltaik sangat besar, namun industri dalam negeri belum berkembang. Potensi bahan baku kita besar. Indonesia kaya pegunungan yang kaya batu silika,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian,  Syarif Hidayat.

Selama ini,  kendala terbesar dalam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)— sebagian besar dibangun di Indonesia bagian timur— dari segi pemeliharaan. “Pembangkit ini critical point-nya pada baterai. Banyak PLTS setelah dibangun dan dipakai baterai rusak. Bagaimana ini bisa dikelola dengan baik,” katanya.

Syarif juga menyoroti industri komponen pembangkit ini belum berkembang hingga masih impor.

Kondisi ini dibenarkan Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi (B2TKE) BPPT, Andhika Prastawa. Dia bilang, industri fotovoltaik Indonesia masih rendah.

Menurut studi kelayakan BPPT 2012, Indonesia sangat layak bangun industri panel surya karena sinar matahari stabil dan kaya daerah pegunungan sumber pasir silika sebagai bahan dasar lempengan untuk pembangkit ini.

“Kita punya bahan dasar, bahan baku masih impor. Pasir silika, bahan utama industri ini, sayangnya masih diperdagangkan mentah,” katanya dalam Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Nasional,  akhir pekan lalu di Jakarta.

Padahal, pasir silika biasa laku US$30 perton jika diolah menjadi solar sel bisa US$60 perkilogram.

Teknologi ini, katanya,  sudah diterapkan sejak 80-an dengan kapasitas instalasi, tahun 2015, sebesar 77 MWp dengan instalasi terbesar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar IPP 5MWp.

Industri ini, katanya, juga akan membuka lapangan pekerjaan, 35 kesempatan kerja per satu MW. “Dengan kata lain kalau program pemerintah ini (35.000 MW ) akan buka 35.000 kesempatan kerja,” katanya.

Sisi lain, katanya, pemerintah harus menyiapkan sumber daya manusia sebagai tenaga ahli dan terampil. “Konsekuensi logis, harus ada riset nasional pengembangan dan dana pendidikan yang cukup untuk industri ini. Kadang kita lupa kita industri tapi tak tenaga ahli dan teknis. Kemenristek Dikti perlu siapkan ini.”

Sistem pembangkit listrik tenaga surya, katanya, ada dua, yakni on grid (terhubung jala pakai modul surya dan inverter) dan off  grid (tak terhubung jala).

Saat ini,  baru ada 11 produsen modul fotovoltaik di Indonesia. Investasi swasta dalam industri fotovoltaik terbilang sepi, dugaan Andhika karena kebimbangan belum ada ‘pasar’ pasti.

“Ini bak ayam dan telur. Produsen dulu atau pasar dulu? Tak salah juga kalau pemerintah mendorong karena jika swasta belum mau dirikan pabrik, pemerintah siapkan dulu.Pemerintah berkewajiban menciptakan pasar,” katanya.

Penyerahan seperangkat panel surya kepada SMKN III Merauke. Sekolah ini sekalian menjadi bengkel panel surya, kala ada warga membutuhkan. Foto: Agapitus Batbual
Penyerahan seperangkat panel surya kepada SMKN III Merauke. Sekolah ini sekalian menjadi bengkel panel surya, kala ada warga membutuhkan. Foto: Agapitus Batbual

Belum tersentuh listrik

Saat ini,  dari 82.190 desa di Indonesia ada 2519 desa belum teraliri listrik. Sebanyak 2.111 di Papua dan 262 di Papua Barat. Salah satu upaya percepatan melistriki desa belum berlistrik ini tentu dengan mengutamakan energi terbarukan seperti PLTS.

Ada masalah lain menjadi kekhawatiran dalam industri panel surya ini adalah harga beli listrik PLN. Sebenarnya, pemerintah telah mengatur, soal mekanisme penawaran, proses penetapan pengembangan PLTS fotovoltaik dan penetapan harga beli oleh PLN. Namun, kata Maritje, implementasi peraturan menteri ini terkendala karena sistem online belum ada.

Kalau ada sistem online, diatur penetapan pengembang pembangkit fotovoltaik, mulai pendaftaran hingga lelang proyek.

”Kami sudah jadwalkan dua kali peluncuran sistem online ini, selalu gagal karena bertepatan pergantian menteri,” katanya.

Kendala lain, terkait revisi Permen Perindustrian tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) belum terbit. “Hari ini juga saya tagih ke Kemenperin, mana revisinya?” tanya Maritje.

Masalah lain jadi sandungan implementasi permen ini terkait subsidi pengembang yang ditolak Badan Anggaran DPR. “Ini sedang dicarikan insentif. Sudah banyak pengembang PLTS berminat bangun PLTS di Indonesia, tapi ya itu kendalanya.”

I Gusti Putu Suryawirawan, Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronikan Kementerian Perindustrian mengatakan, dalam roadmap pengembangan industri panel surya, target TKDN hingga 2018 sebesar 40%, 76% tahun 2020, 85% pada 2022 dan 90% di 2025.

“Besaran komponen dalam negeri harus dipakai PLTS bukan sekadar menang-menangan tender. Untuk mendorong industri dan kemandirian dalam negeri,” katanya.

Industri komponen ini, lanjut Suryawirawan, harus dengan standar produksi ketat.

Menurut dia, ada lima investasi industri PLTS fotovoltaik kristalin yakni industri solar module, solar cell, wafer, solar grade silicon dan metalurgical grade silicon.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (APAMSI) Nick Nurrachman menyambut positif roadmap Kemenperin.

“Sampai kita punya kemandirian, tetap akan ada impor karena kebutuhan sangat tinggi tetapi minimal ada suplai dalam negeri 50%,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,