Menguak Jejak Karbon Tuna Longline di Perairan Samudera Hindia. Seperti Apa?

Sebagai salah satu samudera di perairan dunia, Samudera Hindia menyimpan potensi karbon yang sangat besar. Potensi tersebut bisa digunakan untuk menekan penambahan emisi yang ada di dunia, khususnya di Indonesia. Salah satu potensinya, adalah jejak karbon (carbon foot print) perikanan ikan tuna, cakalang dan tongkol (TCT).

Jejak tersebut ditemukan ada di Samudera Hindia pada 2016 dan dilakukan penelitian oleh tim Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Puslitbangkan) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jejak tersebut mengikuti jejak serupa yang sudah ditemukan pada 2015 di area konvensi Western Central Pacific Fisheries Communities (WCPFC).

Selain untuk keperluan penyusunan kebijakan kelautan dan perikanan, penelitian yang dilakukan para ilmuwan tersebut dilakukan juga untuk mewujudkan perairan di Indonesia dilakukan dengan pengelolaan berkelanjutan. Hal itu, terutama karena Indonesia berkomitmen untuk ikut membantu menurunkan emisi pada 2020 mendatang.

Peneliti Puslitbangkan KKP Suryanto mengatakan, pada 2020 mendatang Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari baseline business as usual (BAU). Komitmen yang lahir dari pertemuan negara G-20 pada 2009 itu, kemudian diturunkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).

“Setelah itu, pada 2015 saat COP21 digelar di Paris (Perancis), Indonesia meningkatkan komitmennya menjadi 29 persen penurunan emisi pada 2030. Dan, dari jumlah tersebut, sebanyak satu persen berasal dari sektor transportasi laut,” ucap dia di Jakarta, Rabu (30/11/2016).

Dengan misi tersebut, sektor kelautan dan perikanan ditantang untuk ikut memberikan sumbangsihnya dalam upaya penurunan emisi di tingkat nasional. Suryanto mengungkapkan, pada 2016, penelitian di Samudera Hindia dilakukan pada armada rawai tuna yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap di Jawa Tengah.

Dari hasil penelitian tersebut, Suryanto menjelaskan, didapatkan data dasar jejak karbon TCT longline di Samudera Hindia. Sepanjang periode 2011 hingga 2015, terjadi perubahan tren peningkatan jumlah trip dan penurunan lama hari layar dengan tren tenaga mesin induk yang konstan.

Akibatnya, terjadi peningkatan Catch per Unit Effort atau CPUE yang dijabarkan dalam ton per trip, penurunan Fuel Used Intensity atau FUI yang dijabarkan dalam ton bahan bakar minyak (BBM) per ton tangkapan, serta peningkatan energi yang digunakan dan didapatkan jejak emisi setara dengan emisi CO2.

“Karena peningkatan tren CPUE jauh lebih kecil dibandingkan tren peningkatan pemanfaatan energi (HP x hari layar), maka tren jejak karbon (ton CO2e/ton tangkapan) meningkat,” jelas dia.

Tuna segar tangkapan nelayan Gunung Kidul, Yogyakarta. Beragam masalah mengelilingi sektor perikanan, dari penyakit ikan, ekosistem rusak sampai perubahan iklim. Foto: Tommy Apriando
Tuna segar tangkapan nelayan Gunung Kidul, Yogyakarta. Beragam masalah mengelilingi sektor perikanan, dari penyakit ikan, ekosistem rusak sampai perubahan iklim. Foto: Tommy Apriando

Suryanto meneruskan, peningkatan tren jejak karbon semakin meningkat karena pengaruh fluktuasi porsi target tangkapan terhadap total tangkapan yang cukup signifikan. Secara ekonomi, hal tersebut juga berpengaruh terhadap porsi belanja bahan bakar terhadap hasil penjualan hasil tangkapan.

Fakta tersebut, kata Suryanto, sebaiknya memang diperbaiki. Namun, itu diakuinya tidak mudah. Usaha termudah tanpa memerlukan investasi untuk memperbaiki kondisi tersebut dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan operasional dilakukan dengan melakukan operasi yang terencana melalui pengaturan waktu dan kecepatan kapal serta penggunaan nakhoda yang berpengalaman.

“Kemudian, pendekatan perawatan dapat dilakukan dengan perawatan terjadwal mesin induk dan mesin bantu serta pembersihan lambung kapal,” tutur dia.

Dominasi Tenaga Mesin Induk Kapal Tingkatkan Jejak Karbon

Suryanto memaparkan dari sisi pengelolaan pelabuhan perikanan, peningkatan frekuensi keberangkatan kapal dengan hari di laut yang singkat  akan meningkatkan CPUE dan FUI dan itu berarti akan menurunkan jejak karbon karena menggunakan tenaga mesin kapal yang beroperasi.

Namun, kata dia melanjutkan, pada kenyataannya, karena dominasi besar tenaga mesin induk kapal yang beroperasi relatif konstan, fakta di atas tersebut justru mengakibatkan tren jejak karbon dan  porsi belanja BBM terhadap hasil penjualan hasil tangkapan meningkat.

Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia
Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia

Saat ini, menurut Suryanto, upaya yang sedang dilakukan Pemerintah adalah mendorong usaha perikanan tangkap yang sangat bergantung pada armada kapal ikan untuk bisa berkontribusi dalam penurunan intensitas penggunaan energi. Tetap, lagi-lagi, kenyataan menunjukan bahwa data intensitas penggunaan bahan bakar pada armada perikanan belum tersedia.

Fakta kontradiktif tersebut, menurut Suryanto, tidak terlepas dari kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 107 Tahun 2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol (TCT). Dari kebijakan tersebut, TCT menjadi tulang punggung industri perikanan tangkap yang berpeluang untuk bersaing di pasar dunia.

Di sisi lain, meski ada kebijakan dari KKP,  Suryanto menyebutkan, ada fakta menarik yang menyebutkan kondisi perairan di wilayah pengelolaan perikanan RI (WPP-RI) 572 Samudera Hindia sebelah barat Sumatera sudah dalam kondisi over exploited. Kondisi tersebut membuat perairan tersebut mendesak untuk dikurangi porsi penangkapannya.

Tak hanya di barat Sumatera, menurut Suryanto, WPP-RI 573 Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa kondisinya juga tidak kalah mengenaskan karena saat ini sudah fully exploited. Meski status tersebut membuat penangkapan ikan pelagis di WPP tersebut masih boleh, namun dia menekankan harus ada pengawasan yang sangat ketat sehingga tidak menjadi over exploited.

Adapun, yang dimaksud ikan pelagis besar neritik, dijelaskan Suryanto, di antaranya adalah Cakalang, Tongkol, Tenggiri, Lemadang, dan Marlin. Dari data Statistik Perikanan Tangkap 2014 yang dirilis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP pada 2015, menyebutkan bahwa produksi TCT di Samudera Hindia jumlahnya mencapai 254.127 ton.

Jumlah tersebut terdiri dari ikan tuna 32,4%, cakalang 18,6% dan tongkol 20,7%. Produksi TCT tersebut 1,4% diantaranya di daratkan di Cilacap. Sementara, armada penangkapan TCT yang berpangkalan di Cilacap dan Benoa (Bali) didominasi oleh tuna longline dengan target spesies kelompok ikan madidihang (yellowfin tuna), mata besar (bigeye), sirip biru selatan (southern blue fin tuna-SBT), dan albakora.

“Sementara, armada yang berpangkalan di PPS Nizam Zachman Muarabaru didominasi oleh (alat tangkap) pukat cincin dengan target spesies ikan cakalang dan tongkol, termasuk tuna berukuran kurang dari 60 cm,” papar Suryanto.

Kapal penangkap ikan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda
Kapal penangkap ikan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Berdasarkan data pendaratan ikan armada rawai tuna yang berangkat dari dan bongkar muatan di PPS Cilacap dalam kurun 2011-2015 serta didukung dengan model konsumsi bahan bakar mesin induk dan mesin bantu yang diperoleh dengan pengukuran konsumsi BBM, menunjukkan bahwa tren hasil tangkapan per kapal meningkat.

Sedangkan, tren intensitas pemakaian bahan bakar (fuel used intensity – FUI) justru menurun. Tren perubahan tersebut terjadi karena tren lama hari layar yang semakin pendek dan jumlah trip kapal per tahun meningkat, sedangkan tren besar tenaga mesin induk kapal dominan yang beroperasi tidak berubah.

“Hal tersebut menyebabkan penurunan tren jejak karbon,” sebut dia.

Analisa emisi mesin induk dan mesin bantu dengan menggunakan model konsumsi bahan bakar yang telah dikembangkan dan menggunakan standar faktor emisi berdasarkan panduan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2006 serta global warming potential (GWP) berdasarkan IPCC Fifth Assessment Report (AR5)  dan tanpa memperhitungkan emisi akibat kebocoran refrigerant R22 yang digunakan pada sistem pendingin ruang muat kapal, didapatkan kenaikan rerata jejak karbon armada rawai tuna sebesar 2,7 ton  CO2e/ton.

Berdasarkan tahap operasi, konsumsi bahan bakar terbesar armada rawai tuna adalah terjadi pada tahap cruise yang didefinisikan sebagai tahap operasi dari pelabuhan menuju daerah penangkapan, pergerakan dari daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya dan perjalanan kembali dari daerah penangkapan kembali ke pelabuhan. Sedangkan pada armada huhate di Indonesia Timur konsumsi bahan bakar terbesar terjadi pada tahap operasi kapal dari daerah penangkapan ke bagan tempat mengambil umpan hidup.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,