FAO-Kementan Kembangkan Pertanian Konservasi di Timur Indonesia, Seperti Apa?

Selama tiga tahun ini, Food and Agriculture Organisation (FAO) mempraktikkan konsep pertanian konservasi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Dalam proyek kerjasama dengan Badan Litbang Kementerian Pertanian Indonesia yang akan berakhir 2017 ini, berbagai kemajuan terlihat. Terutama produktivitas pertanian jagung, memperbaiki lahan, dan meningkatkan adaptasi petani dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Mark Smulders, Kepala Perwakilan FAO Indonesia mengatakan, pada dasarnya konsep pertanian konservasi ini tindak lanjut tantangan dampak perubahan iklim. Melalui metode ini, katanya, bisa memelihara kesuburan tanah, pergiliran tanah untuk memberikan kenaikan produksi signifikan. Dia mengklaim, peningkatan produktivitas jagung di kedua daerah  itu sampai 77%.

Proyek FAO ini sudah dijalankan di 10 kabupaten melibatkan 264 kelompok tani dengan anggota 6.000-an dan 49 penyuluh baik laki-laki dan perempuan.

“Produktivitas jagung meningkat dua kali lipat. Antusiasme masyarakat lokal sangat tinggi. Tantangan ke dapan bagaimana bisa membangun kelembagaan agar bisa terus ditindaklanjuti,” katanya.

Bagaimana pertanian konservasi itu? Ujang Suparman, Manajer Program FAO pertanian konservasi NTB-NTT mengatakan, untuk menerapkan pertanian konservasi sangat mudah, bisa oleh siapa saja.

“Kalau bisa lahan jangan diapa-apain. Langsung saja tanam. Lahan rusak diolah tapi seringan-ringannya. Hanya mengolah lahan di tempat yang akan ditanami, hingga tak semua dibolak-balik. Pembolak-balikan lahan pada kondisi tertentu bisa merugikan. Jika tanah dibalik, saat datang hujan bisa erosi. Tanah dan mikroorganismen juga akan habis,” katanya.

Prinsip lain, katanya, dalam pertanian konservasi harus ada penutupan permukaan tanah dengan bahan sisa-sisa tanaman, campur tanaman seperti jagung dengan kacang-kacangan.

“Kacang-kacangan berfungsi sebagai penutup permukaan tanah. Hingga tanaman utama (jagung), akan terlindungi permukaan tanahnya dengan kacang-kacangan, simbiosis mutualisme dengan mikroorganisme di dalam tanah. Itu pengikat nitrogen. Ada jenis kacang-kacangan yang bisa mengikat sampai 400 kg nitrogen per hektar. Jadi  tak usah repot membeli urea dan lain-lain.”

Menurut dia, hal tersulit dalam menerapkan pertanian konservasi justru mengubah pola pikir petani. Selama puluhan tahun, petani digenjot menghasilkan produk dengan mengolah lahan secara sempurna sampai bersih.

“Bahkan banyak masyarakat di Sumba sapu lahan sampai bersih, baru tanam. Padahal setelah itu rumput dengan subur sekali. Sekarang, permukaan tanah kita tutup dengan alang-alang, sisa-sisa tanaman hingga rumput tak tumbuh. Harus bisa mengubah mindset baik petani, petugas penyuluh dan kita semua.”

Pertanian konservasi juga memungkinkan diterapkan di tempat lain. Dia menekankan, jangan sampai ketika menjalankan fokus pada pendekatan proyek semata. “Jangan menggerakkan masyarakat dengan iming-imingi benih unggul, hand tractor dan lain-lain. Harus dilakukan, bagaimana memulihkan tanah supaya lebih produktif dan tak hilang.”

Sekarang, katanya, masih taraf belajar. “Masih baru sekitar 200 hektar. Pendekatan bukan proyek sekian banyak hektar. Cukup kita berbicara angka ribuan bahkan jutaan hektar. Sekarang bagaimana masyarakat bisa membuat keputusan sendiri. Berbuat karena berpikir menguntungkan bagi dia.”

Pertanian konservasi, katanya, lebih pada pendampingan sosial daripada teknik. Indikasinya, mengolah tanah hanya satu kali di awal, musim depan tak diolah lagi, sudah siap ditanami. Rumput hampir tak ada lagi karena ditutupi sisa tanaman. “Sangat memungkinkan varietas lain seperti padi.”

Haris Syahbuddin, Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Kementerian Pertanian mengatakan, pertanian konservasi sudah lama diterapkan masyarakat. Tahun 80-an, sudah ada tak pakai pupuk terlalu banyak, hingga mengembalikan bahan organik ke tanah.

“Di Badan Litbang Kementan sudah mempunyai teknologi itu sejak lama. Contoh teknologi pengembalian bahan organik ke tanah, pembuatan pupuk organik, pengembangan varietas tanah kering juga ada. Inilah pintu untuk mengimplementasikan lebih luas, tentu peranan penyuluh tak bisa dilepaskan,” katanya.

Dukungan legislasi

Herman Khoeron, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI menyambut baik inisiatif pertanian konservasi ini. Program ini, katanya, mendukung produktivitas dan kesejahteraan petani.

Dia berharap, FAO dan Badan Litbang Kementan bisa merumuskan naskah akademik lebih prospektif bagaimana meningkatkan lahan pertanian ke depan. DPR, dalam Prolegnas 2017, memasukkan bahasan revisi UU Sistem Budidaya Tanaman.

“Ini kita tangkap dengan baik. Ini hal baru dan prospek ke depan. Hingga program dan anggaran akan jadi bagian legal, berbasiskan peraturan negara menuju prospek pertanian konservasi.”

Selama ini,  katanya, baru 0,001% lahan menggunakan konsep pertanian konservasi. Padahal di Indonesia,  ada 40 juta hektar lahan pertanian, terdiri 8 juta sawah, 12 juta perkebunan, sisanya lahan kering.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,