Mongabay Travel: Melihat Belut Gigi Emas yang Dikeramatkan Warga Wolotolo

Bicara belut tentu setiap orang mengetahuinya. Ada belut laut dan ada juga belut yang dijumpai di air tawar. Di daratan Flores, belut air tawar biasa dijumpai di kali dan selalu berada di lubang batu. Hampir semua penduduk yang bermukim di sepanjang aliran air pasti umumnya pernah melihat, menangkap bahkan mengkonsumsinya.

Namun hal ini berbeda dengan belut yang ada di Desa Wolotolo. Tepatnya di Dusun Ae Kewu yang masih satu kecamatan dengan Desa Adat Saga.

Desa Wolotolo berjarak 21 kilometer arah timur Kota Ende. Bila dari arah Ende, berada di ujung jembatan Wolotolo perjalanan ditempuh sejauh empat kilometer arah utara melintasi jalan semen.

Belut yang ada di Wolotolo bukan belut sembarangan. Mengambil, melukai bahkan sampai memakannya, diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi pelaku dan warga kampung.

Tertarik cerita dari seorang rekan media, Mongabay Indonesia pun mencoba menyusurinya.

Belut sakti, demikian julukannya, menurut penuturan warga desa hanya mau dipanggil oleh pawangnya. Saya pun menuju rumah Stefanus Lau, sang pawang belut, sebuah atribut yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhurnya.

Saat berjumpa dengan lelaki berumur 62 tahun ini, dia pun ramah menjelaskan.

“Untuk bisa melihat belut sakti, kita harus menyiapkan ayam kampung dahulu,” ujar Stefanus.  Ia lalu meminta istrinya mengontak warga yang punya ayam kampung.

Nasib baik rupanya masih berpihak. Tak lama berselang ayam yang dibeli pun didapat.

Lokasi belut sakti berada di kali Lowomamo yang mengalir di Dusun Ae sekitar 200 meter arah utara rumah Stefanus. Ditemani anak perempuannya, Rosalia serta dua orang mahasiswa yang sedang KKN, kami beranjak menuju lokasi belut sakti, yang  berada persis di jalan menurun pinggir kampung.

“Belut ini dianggap keramat karena diyakini jelmaan leluhur. Orang kampung tidak ada yang berani berniat jelek terhadap belut. Tidak ada warga yang berani memakan daging belut, pemali (pantang),” jelas Rosalia.

Dirinya meminta agar selama perjalanan jangan terlalu banyak bicara sebab takut salah omong. Menurutnya, pembicaraan manusia akan didengar oleh nenek moyang atau belut itu sendiri. Itu sebabnya, warga yang berniat jahat tidak akan bisa melihat belut.

Sesampai di lokasi, terlihat kali selebar 1,5 meter dengan air  yang terus mengalir meski tidak terlalu deras. Stefanus ditemani putrinya membersihkan dedaunan dan ranting pohon yang berada di dalam air dan diantara celah-celah batu.

Keduanya lalu naik ke atas batu besar yang berada di tengah kali tak jauh dari ujung jalan semen. Ayam dipegang sang putri sementara dengan menggunakan parang, Stefanus pun menyembelih ayam sembari darahnya diteteskan di air kali dan dibiarkan mengalir sambil berseru berulang kali,

“Mai Mamo….Mai Mamo….!”

Tak lama berselang, takjub melihat, dari bagian bawah kali muncul seekor belut sebesar tangan orang dewasa dengan diameter sekitar 10 sentimeter dan panjang sekitar 45 sentimeter.

Belut lalu bergerak ke bagian atas mengikuti arah air. Beberapa orang lalu membersihkan kali dari dedaunan dan ranting agar jalan belut tersebut itu tidak terhalang.

Dengan tenang belut berenang menuju kubangan air. Ayam yang tadi telah disembelih dan dikeluarkan isi perutnya pun diletakkan di ujung bambu. Daging dipotong kecil-kecil, sebelum lalu disodorkan ke mulut sang belut untuk ia santap.

Belut pun tampak terlihat jinak. Saat hendak dipegang, karena licin belut pun jatuh kembali ke dalam air dan terus berenang hingga membuat air menjadi keruh.

“Kalau mau, bisa pegang asal jangan kaget dan geli saat memegangnya, apalagi berteriak,” tutur Stefanus pelan.

Perlahan setelah kenyang, belut kembali berenang ke tempatnya semula di bawah lubang batu.

Setengah berbisik Stefanus berkata kepada Mongabay untuk memperhatikan kedua gigi bagian depan di kiri kanan mulut belut yang muncul.

Rupanya belut tersebut memiliki sepasang gigi emas di ujung mulut bagian atas. Beberapa orang yang hadir saat itu pun turut menyaksikannya.

Belut saat berenang mengikuti arah daging ayam di ujung bambu. Foto: Ebed de Rosary
Belut dengan sepasang gigi emas, berenang mengikuti arah daging ayam di ujung bambu. Foto: Ebed de Rosary

Legenda Belut Bergigi Emas

Stefanus menyebutkan saya termasuk beruntung. Bila memiliki maksud jahat, belut tak mungkin muncul meski telah disembelihkan ayam.

“Biasanya yang sering muncul belut yang berukuran lebih kecil,” tuturnya.

Dia menjelaskan, bila ayam dipotong di bebatuan yang berjarak beberapa meter di sebelah atas tempat ayam saat itu disembelih, biasanya ada 4 atau 5 ekor belut yang muncul.

Ada yang berukuran sedang dan yang lainnya memiliki ukuran lebih kecil hingga berukuran sebesar jari tangan orang dewasa.

Menurut legenda, keberadaan belut sakti berhubungan dengan seseorang leluhur bernama Sare Ngole.

Sare Ngole memiliki penyakit kulit, bersisik seperti ikan, sehingga dia diasingkan masyarakat sekampungnya. Karena malu dan merasa terasing, dia merantau sampai ke Kowe Sikka.

“Sampai di tempat tersebut dia bertapa selama 3 bulan di dalam gua hingga mendapatkan londa, yaitu semacam kalung atau rantai emas,” jelas Stefanus.

Sesudah mendapatkan londa, Sare Ngole kembali ke Wolotolo. Keesokan harinya setelah tiba di kampung, londa disimpan di dalam peti dan diletakan di dalam rumah besar (rumah suku).

Saat siang hari yang panas, Sare Ngole mendengar suara dari dalam peti. Suara itu berasal dari londa yang minta diletakkan di air kali, karena di dalam peti panas sekali. Londa meminta keesokan harinya untuk diambil kembali.

Esok harinya saat datang ke air kali, Sare Ngole tidak menemukan londa namun mendapati seekor belut di tempat dimana dirinya meletakan londa.

“Sejak itu, secara turun-temurun kami selalu menjalankan ritual atau upacara adat untuk memberi makan belut dan sampai sekarang belut ini tetap kami anggap sakral.”

Menurut Stefanus, masih ada satu belut besar berwarna merah yang hidup di bagian tengah kali yang dekat dengan pohon beringin.

Namun dia mengaku belum pernah melihatnya. Orang yang pernah melihat konon ada dua kemungkinan, bakal mendapat rejeki atau malapetaka berujung kematian.

Stefanus memaparkan, jika musim hujan tiba dan arus kali sangat deras, belut-belut akan menuju ke darat dan berbaring di rerumpunan bambu di pinggir kali. Bila sudah berumur tua, belut akan hilang dengan sendirinya, tapi belut ini selalu ada tidak punah.

Kedepannya Stefanus berharap, konservasi masyarakat Wotoloto terhadap belut sakti dapat turut menyejahterakan warga desa lewat wisatawan yang datang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,