Produk Ini Bisa Kurangi Penggunaan Zat Berbahaya di Kebun Sawit, Seperti Apa?

Pusing, mual,  kulit gatal dan muntah-muntah biasa dialami petani atau pekerja sawit setelah menggunakan pembasmi hama maupun gulma. Di Indonesia, banyak petani bahkan perusahaan masih pakai herbisida beracun bahkan yang mengandung paraquat—zat berbahaya yang sudah terlarang di berbagai negara—untuk tanaman sawit mereka.

”Saya sudah tidak pusing lagi,” kata Kukuh Roxa, Direktur Eksekutif PT Pandawa Putera Indonesia, mengulang ucapan petani. Kukuh salah satu inovator terpilih dari ajang Sawit Challange.

Respon petani seperti itu, kala Kukuh, bertanya soal pengalaman mereka menggunakan, Weed Solution atau biasa dikenal dengan Solution.  Produk hasil kreasi Kukuh dan kedua rekan ini bukan herbisida, tetapi penguat daya penetrasi bahan aktif herbisida ke tanaman agar menimbulkan dampak efektif dan efisien terhadap penggunaan herbisida. Penggunaan Solution ini diklaim bisa mengurangi penggunaan herbisida hingga 50%.

Alih penggunaan herbisida ini tak hanya melindungi petani, juga meningkatkan hasil panen dan lebih ramah lingkungan. Jangka panjang, produk ini mampu menutrisi zat hara dalam tanah. ”Sekitar  50% bahan organik, bahan kimia adalah bahan non racun,” katanya.

Herbisida bak ‘makanan pokok’, bagi tanaman agar terhindar hama. Praktik ini sudah mendarah daging sejak 40-50 tahun lalu menyebabkan hama tanaman makin kuat. Pengetahuan minim,  membuat petani makin menambah dosis. Bahaya kesehatan tak masuk hitungan.

Dengan Solution, Kukuh mengklaim efisiensi biaya dalam pengendalian gulma hingga 20%.

Soal ranah biaya, berdasarkan penelitian PT PPI, petani tak lagi membicarakan saving cost berlebihan tetapi mereka lebih berbicara ”membeli pupuk ini supaya saat menyemprot tak pusing.”

Pakai pupuk ini, katanya, mampu hemat 20-25% bagi petani dan 10-20% perusahaan. Untuk skala petani, harga pupuk Rp38.000 per liter, harga pupuk lain Rp60.000-Rp70.000.

 

Pekerja sawit saat diberikan pelatihan penggunaan Solution. Penemu berkeinginan agar temuan ini bisa lebih mudah dijangkau petani sawit. Lebih murah, ramah lingkungan dan meningkatkan produktivitas. Foto: PT Pandawa Putera Indonesia
Pekerja sawit saat diberikan pelatihan penggunaan Solution. Penemu berkeinginan agar temuan ini bisa lebih mudah dijangkau petani sawit. Lebih murah, ramah lingkungan dan meningkatkan produktivitas. Foto: PT Pandawa Putera Indonesia

 

 

 

Sulit akses ke petani

Di lapangan, perusahaan yang resmi berdiri 2012 ini, kesulitan masuk ke petani. Awalnya, mereka coba pada petani di Banyuwangi tahun 2013. ”Jalur distribusi masih masalah,” katanya.

Mereka juga terkendala komunikasi . Akses ke petani, tambah sulit kala sumber daya manusia pendamping dan sosialisasi lapangan minim. ” Kami based pada keilmuan, tak pintar berkomunikasi, jadi lebih mudah masuk ke perusahaan. Kami ikut Sawit Challenge untuk membantu kami,” katanya.

Bagi perusahaan, katanya, penghematan biaya biasa untuk safety equipment bagi pekerja. Informasi cara tepat pemakaian pupuk ini juga disampaikan dalam pelatihan pekerja.

Hingga kini ada 11 perusahaan skala besar menggunakan pupuk ini. Awalnya, pada 2014, pilot project di Sumatera Selatan. Kini,  hampir setiap provinsi membeli produk ini buta kebun sawit. Buat skala petani, katanya, baru di Kalimantan Barat.

”Kami ada rencana kembangkan ini, sangat ingin buat para petani.”

Kukuh cerita, akhir 2015, sempat dihubungi distributor Pupuk Kaltim di Kalbar untuk aplikasi ini. Mereka mau bekerja sama menjual hingga ke petani kecil.

Kini, perkiraan sudah 600-an petani. Harapannya,  tahun depan dua kali lipat. “Bahan kami asli kekayaan Indonesia, bukan impor.”

Dalam gawe Sawit Challenge ini, dari 70 peserta mendaftar, terpilih sembilan inovator dari berbagai Negara. Mereka ada dari kalangan perusahaan, universitas.

Selain perusahaan Kukuh, ada  Stanford University (Amerika Serikat), dan Konsorsium terdiri dari Bentang Alam (Indonesia), Forest Carbon (Indonesia), SNV (Belanda), Financial Access (Belanda), dan Akvo (Belanda). Lalu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit Indonesia (IOPRI),  Landmapp (Belanda),  Cadasta Foundation dan Humanitarian OpenStreetMap (Amerika Serikat),  EcoHub Global (Singapura), Sourcemap Inc. (Amerika Serikat) dan PT Koltiva (Indonesia).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,