Kenapa Tradisi Lamalera Harus Diselamatkan?

Masyarakat adat Lamalera di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyatakan ada upaya kriminalisasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap para nelayan yang hidup di wilayah mereka. Upaya kriminalisasi itu dilakukan berkaitan dengan tradisi penangkapan ikan hiu, paus, dan pari manta yang ada di Laut Sawu yang berhadapan langsung dengan Lamalera.

Upaya kriminalisasi itu, dilakukan kepada nelayan bernama Goris Dengekae Krova yang ditangkap aparat kepolisian bersama LSM Internasional Wildlife Crime Unit (WCU) dari Wildlife Conservatory Society (WCS). Goris ditangkap atas tuduhan penangkapan ikan pari manta.

Oleh itu, Lingkar Aliansi Selamatkan Lamalera (LAMALERA) mengajukan tuntutan kepada Kepolisian RI (Polri) untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Goris yang dituduh melanggar pasal 88 jo pasal 16 ayat (1) UU RI No. 31 tahun 2004 subsider pasal 100 jo pasal 7 ayat (2) huruf m dan UU RI no. 31 tahun 2004 perikanan subside pasal 40 ayat (2) jo pasal 21 ayat (1) dan (2) huruf d jo. Kepmen KP No. 4/2014  dengan ancaman 8 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar.

“Itu yang kami tuntut. Tidak seharusnya ada kriminalisasi di wilayah adat kami,” ucap Reu Bona Beding dari Masyarakat Adat Lamalera, Selasa (13/12/2016).

Bona mengklaim, ada empat hal utama yang mendasari sikap LAMALERA untuk menuntut. Pertama, bentuk kriminalisasi terhadap Goris bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Putusan MK No. 3 Tahun 2010, Permendagri 44 tahun 2016 dan Permendesa Nomor  1 Tahun 2016.

Kedua, mencederai Nawa Cita Presiden Joko Widodo tentang visi Poros Maritim Dunia yang memandatkan kebudayaan Lamalera sebagai warisan budaya maritim Indonesia. Kekokohan budaya maritim nasional, menjadi soko penguat dari poros maritim.

Ketiga, bahwa kewenangan hak asal usul dari Desa Lamalera telah diakui dan dihormati oleh UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa sebagai bentuk warisan budaya dan bukan orientasi pada komersialisasi dan eksploitasi alam untuk tujuan ekonomi semata.

“Kami menuntut untuk selamatkan Lamalera,” ucap dia.

 

Festivalisasi Kasus

Ketua Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata mengklaim, tuduhan kepada Goris merupakan festivalisasi kasus. Hal itu, karena nelayan tersebut dijebak untuk melakukan pertemuan di Hotel Palm Indah yang ada di Lembata, pada Selasa (22/11/2016). Menurutnya, upaya pelarangan penangkapan ikan pari manta sejatinya adalah untuk mencegah praktek penangkapan dengan tujuan komersialisasi.

Sementara, klaim Marthin, apa yang dilakukan oleh Goris dan masyarakat Lamalera adalah merupakan bentuk budaya yang sudah mengakar turun temurun. Penangkapan pari manta yang dilakukan oleh Lamalera pun bukan komersialisasi dan industrialisasi skala besar, tetapi merupakan kearifan lokal.

“Dengan prioritas distribusi pangan perikanan untuk janda, anak-anak yatim piatu dan pangan bagi seluruh komunitas, melalui pasar barter di Lamalera,” ungkap dia.

Tradisi penangkapan pari manta dan paus oleh masyarakat adat Lamalera di perairan Lamalera Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto : ekspedisi Indonesia biru/Dandhy Laksono
Tradisi penangkapan pari manta dan paus oleh masyarakat adat Lamalera di perairan Lamalera Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto : ekspedisi Indonesia biru/Dandhy Laksono

Dengan fakta tersebut, LAMALERA meminta Polri untuk segera menghentikan kriminalisasi dengan bebaskan Goris tanpa syarat. Kemudian, Polri harus meminta maaf kepada publik atas perbuatan tersebut. Ketiga, cabut segera Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan Penuh Ikan Pari manta.

Keempat, Pengakuan perlindungan dan penghormatan terhadap kebudayaan masyarakat Lamalera sebagai bentuk implementasi UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang menghormati kewenangan Hak Asal Usul Desa dan Kewenangan Lokal Desa.

“Kelima, Tinjau  ulang Laporan yang disampaikan Wildlife Crime Unit (WCU) atas tuduhan tindak criminal yang dilakukan oleh saudara Goris. Keenam, WCU harus meminta maaf kepada masyarakat Lamalera atas bentuk pelaporan yang dituduhkan kepada saudara Goris,” papar dia.

Sebelumnya, seorang penampung insang pari manta di Lembata, Nusa Tenggara Timur ditangkap aparat kepolisian dan KKP dan WCU WCS. Operasi tersebut dilaksanakan pada 22 November lalu.

Saat dilakukan operasi tangkap tangan (OTT), tim berhasil menemukan barang bukti sebanyak 25 kilogram insang yang diduga kuat berasal dari sekitar 30-40 ekor pari manta. Bukti tersebut sudah cukup untuk bisa mendakwa pelaku telah melakukan tindakan pidana karena menampung hasil laut tanpa mendapatkan izin dan menampung bagian tubuh satwa yang telah dilindungi di Indonesia.

Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Agus Dermawan, saat ini pelaku masih menjalani  pemeriksaan oleh  penyidik dari  Polres Lembata. Pelaku diduga kuat merupakan bagian dari jaringan perdagangan insang pari manta berada di  Jawa, Makassar (Sulawesi Selatan), dan Kupang (NTT).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,