Pertama Kalinya di Garuda Ini Dipasang Satelite Tracking

Seekor elang jawa (Nisaetus bartelsi) kembali mendapat kebebasannya. Burung yang diyakini menjadi lambang negara ini dilepasliarkan di Cagar Alam (CA) Gunung Picis, Ponorogo, Jawa Timur.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, Ayu Dewi Utari, menjelaskan bahwa elang jawa bernama Gogor ini dilepasliarkan untuk tujuan peningkatan populasi elang jawa di habitat alaminya. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa elang jawa merupakan salah satu spesies yang menjadi prioritas nasional untuk ditingkatkan populasinya di alam.

“Saat ini ada sekitar 8 ekor elang jawa yang hidup di kawasan Cagar Alam Gunung Picis. Dengan adanya pelepasliaran ini, jumlahnya menjadi 9 ekor,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ayu menjelaskan bahwa elang jawa yang dilepasliarkan ini berasal dari penyitaan yang dilakukan oleh Polda Jawa Timur pada bulan Juli 2015. Elang jawa ini berhasil diselamatkan dari transaksi ilegal melalui internet, bersama dengan belasan jenis elang dan alap-alap. Elang jawa ini kemudian menjalani proses rehabilitasi di Pusat Penitipan Satwa Yogyakarta.

Gunawan, aktifis dari Yayasan Konservasi Elang Indonesia, menyampaikan bahwa elang jawa yang dilepasliarkan ini telah menjalani proses rehabilitasi selama hampir 17 bulan. Individu yang diperkirakan berkelamin jantan ini telah menjalani proses pemeriksaan kesehatan, pemantauan perilaku dan penilaian hingga dinyatakan siap untuk dilepasliarkan.

Untuk memantau pergerakan pasca pelepasliaran, elang jawa ini dipasang satelite tracking. Gunawan menjelaskan bahwa penggunaan satelite tracking ini sangat bermanfaat untuk memberikan informasi yang akurat tentang keberadaan elang jawa secara terus menerus. Data satelit ini juga memudahkan bagi tim relawan pemantau pasca pelepasliaran karena mereka mendapatkan panduan tentang posisi geografis elang jawa itu.

“Penggunaan satelite tracking ini sangat membantu kami untuk mengetahui keberadaan individu elang jawa pasca pelepasliaran. Kami akan mendapatkan posisi geografis setiap waktu sehingga kami dapat memantau setiap pergerakannya,” jelasnya.

Pertama di Indonesia, Satelite Tracking untuk Pemantauan Burung

Gunawan menyampaikan bahwa penggunaan satelite tracking ini merupakan yang pertama di Indonesia untuk memantau pergerakan burung. Minimnya informasi tentang perilaku dan pergerakan elang jawa (Nisaetus bartelsi) di habitat alaminya, membuat beberapa pelestari elang jawa mencari cara untuk pemantauan secara terus menerus. Satelite tracking dipilih sebagai metode, agar setiap pergerakan satwa terancam punah ini dapat dipantau setiap saat.

Data satelit akan memberikan beberapa informasi antara lain posisi geografis, waktu dan varibael lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara. Dari data dasar tersebut dapat dianalisa lebih lanjut untuk menduga tipe habitat yang disukai, pohon bertengger atau pohon bersarang yang disukai, perilaku terbang maupun berburu dan yang lainnya.

Elang Jawa. Foto: Harry Kartiwa/ Burung Indonesia
Elang Jawa. Foto: Harry Kartiwa/ Burung Indonesia

Selain itu, Gunawan menjelaskan bahwa saat ini mereka sedang melakukan studi untuk mengetahui pola interaksi satwa dengan gunung berapi. Dia menjelaskan bahwa selama ini diketahui bahwa satwaliar termasuk elang sangat dipengaruhi oleh dinamika gunung berapi. Namun pengaruhnya seperti apa, itu yang belum banyak diketahui.

“Kami ingin mengetahui secara detail respon satwaliar, terutama elang, terhadap dinamika gunung berapi ,” jelasnya.

 

Gunung Picis Situs Penting Konservasi Elang Jawa di Indonesia

Fajar Dwi Nur Aji, staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BBKSDA Jawa Timur menjelaskan bahwa CA Gunung Picis merupakan kawasan yang termasuk dalam lansekap Gunung Wilis. Cagar Alam seluas 27,9 hektar ini berdekatan dengan CA Gunung Cigogor seluas 190,5 hektar.

Menurut data BBKSDA Jawa Timur, lansekap ini merupakan habitat ideal bagi elang jawa dan juga berbagai jenis burung pemangsa lainnya. Jenis lain yang terpantau menggunakan lansekap ini sebagai habitat antara lain elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang ular bido (Spilornis cheela bido), elang perut karat (Lophotriorchis kienerii), alap-alap sapi (Falco moluccensis) dan elang brontok (Nisaetus cirrhatus).

“Mengingat pentingnya habitat ini, CA Gunung Picis menjadi salah satu situs penting konservasi elang jawa di wilayah Jawa Timur. Kami memantau populasinya di alam setiap tahun.

Lebih lanjut, Fajar menjelaskan bahwa selain di CA Gunung Picis, BBKSDA Jawa Timur juga memiliki situs konservasi elang jawa di Taman Wisata Alam Gunung Ijen, Banyuwangi. Bahkan di tahun 2013 yang lalu, seekor elang jawa telah dilepasliarkan di kawasan tersebut dan terpantau dapat bertahan hidup di alam liar.

 

Bagaimanapun, kehidupan paling baik satwa ini di alam bebas. Foto: Raptor Indonesia
Bagaimanapun, kehidupan paling baik satwa ini di alam bebas. Foto: Raptor Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,