Korupsi Sumber Daya Alam Marak di Sulsel. Apa Penyebabnya?

Sulawesi Selatan termasuk daerah lumbung korupsi di Indonesia dilihat dari segi tingkat kerugian dan modus yang semakin canggih. Sepanjang tahun 2016 ada sekitar 100-an kasus korupsi yang mencuat dan sebagian tidak terselesaikan dengan baik. Beberapa kasus korupsi yang cukup menonjol terkait sektor sumberdaya alam.

Dalam catatan Masyarakat Anti Korupsi (Mars) Sulsel, sepanjang tahun 2016 ini beberapa kasus korupsi terkait pengelolaan sumberdaya alam yang cukup menonjol, yaitu reklamasi Centerpoint of Indonesia (CPI), korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Barru dan penjualan lahan negara di Kabupaten Takalar.

“Kalau ingin melihat tingkat kerugian yang ditimbulkannya bisa dilihat dari dua hal, yaitu dari aspek penerimaan negara dan pajak serta rusaknya ekosistem sumber daya alam yang ada,” ungkap Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulsel, dalam diskusi peringatan Hari Anti Korupsi bertajuk “Sulsel Lumbung Korupsi: Membedah Reproduksi Korupsi di Sulsel”, di Warkop Independen Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Makassar, Jumat (9/12/2016).

Dalam kasus reklamasi CPI, Asmar menilai pembangunan CPI hanyalah ambisi Gubernur Sulsel yang tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan yang ada. Beberapa temuan mengindikasikan adanya praktek korupsi pada proyek ini. Misalnya dari aspek kerjasama, dimana terdapat perjanjian kerjasama Pemprov Sulsel dengan pihak ketiga yang terdiri dari PT Yasmin Bumi Asri dan PT Ciputra.

Menurut Asmar, pembagian Hak Penguasaan Lahan (HPL) antara Pemprov Sulsel dan investor sangat merugikan negara dan berindikasi korupsi, karena penyalahgunaan wewenang berupa legalitas perizinan yang tidak lengkap.

“Perundang-undang terkait lingkungan hidup dan reklamasi pesisir tidak dipatuhi, sehingga indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus ini sangat kuat,” katanya.

Menurut data Mars, sejak 2009 anggaran yang telah dikeluarkan dari APBD Sulsel untuk membiayai CPI ini sebesar Rp224 miliar, yang merupakan “keroyokan” dari 3 dinas terkait yaitu Dinas Bina Marga Rp 51,55 miliar, Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Rp 54,2 miliar, dan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) sebesar Rp32,77 miliar.

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra
Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra

“Pola korupsinya adalah adanya kerjasama dengan pihak ketiga untuk menggarap proyek CPI, yakni PT. Yasmin Bumi Asri. Ini melanggar peraturan karena tidak melalui persetujuan DPRD. Dalam UU Pemda dinyatakan bahwa setiap pengambilan kebijakan yang bersentuhan dengan kepentingan seluruh masyarakat di daerah harus melibatkan DPRD.”

Menurut Asmar, tak adanya pelibatan DPRD ini menegaskan bahwa proyek CPI hanya ambisi Gubernur Sulsel, yang bisa diartikan sebagai kurangnya penghargaan pada aspirasi masyarakat Sulsel.

“Termasuk kerja sama dengan bentuk joint operation antara PT Yasmin Bumi Asri dengan PT Ciputra Surya yang terkesan sebagai keputusan sepihak dari Pemprov Sulsel tanpa melibatkan DPRD,” tambahnya.

Pola lain, menurut Asmar, berupa penjualan lahan negara kepada investor. Jika di awalnya, Pemprov Sulsel menyatakan bahwa proyek CPI dibiayai dengan sistem cost sharing APBD Sulsel dengan APBN, dimana dari APBD Sulsel akan dianggarkan tiap tahun, sama dengan APBN dengan skema multiyears.

“Namun hingga kini, proyek CPI terkesan memberatkan APBD Sulsel yang telah menggelontorkan Rp224 miliar. Sementara dana pusat hanya berasal dari PIP sebesar Rp164 miliar. Padahal, dana PIP adalah dana pinjaman daerah pada pemerintah pusat, sehingga bisa dikatakan Pemprov berutang Rp164 miliar ke pemerintah pusat.”

Lokasi pembangunan CPI, termasuk Wisma Negara diperkirakan menggunakan lahan seluas 1.500 hektar. Untuk tahap awal reklamasi seluas 157 hektar oleh investor. Dengan kompensasi mereka mendapatkan hak kelola seluas 100 hektar untuk kawasan industri. Foto: Wahyu Chandra
Lokasi pembangunan CPI, termasuk Wisma Negara diperkirakan menggunakan lahan seluas 1.500 hektar. Untuk tahap awal reklamasi seluas 157 hektar oleh investor. Dengan kompensasi mereka mendapatkan hak kelola seluas 100 hektar untuk kawasan industri. Foto: Wahyu Chandra

Temuan lain juga menunjukan adanya dana sebesar Rp19 miliar dari Dana Perimbangan Infrastruktur Daerah (DPID) APBN 2011 yang diperuntukan bagi pembangunan dan perbaikan jalan di Provinsi Sulsel, namun anggaran itu dibelokkan untuk membiayai proyek CPI.

Kerjasama tersebut dianggap melanggar Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah dan Pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Kasus lain di Sulsel, menurut Asmar adalah korupsi IUP di Kabupaten Barru, berupa penyuapan. Polanya dengan memberikan IUP dengan janji mendapatkan keuntungan secara materi untuk memperkaya diri.

“Kewenangan perizinan dijadikan modus untuk memperkaya diri dan membiayai kegiatan-kegiatan politik dengan aktornya antara lain bupati dan investor, dalam hal ini PT Bosowa Corp.”

Ada juga korupsi perizinan penjualan lahan negara di Kabupaten Takalar, dimana bupati dianggap menyalahgunakan izin karena menyetujui pelepasan atau penjualan lahan kepada investor. Padahal lahan tersebut adalah lahan negara yang tidak bisa diperjualbelikan.

“Temuan kami mengindikasikan kasus ini terkait pembiayaan cost politik menjelang Pilkada Takalar pada 2017 nanti,” ungkap Aswar mengutip laporan dari Mars Sulsel.

Menurut Wiwin Suwandi, dari  Anti Corruption Commitee (ACC) Sulawesi, praktek korupsi yang terjadi di Sulsel erat kaitannya pembiayaan politik partai. Terkait kasus kekalahan Walhi Sulsel pada kasus reklamasi CPI, ia mencurigai adanya kesepakatan tertentu antara Pemprov dan pihak investor.

“Dengan kondisi politik seperti ini duit investasi yang masuk sudah banyak sekali. Ini pasti antara Pemprov Sulsel dan kontraktor sudah ada dealdeal dan mereka berpikir seribu kali kalau ini kalah di pengadilan. Ini rente yang bermain,” ujarnya.

Wiwin juga menuding Pemprov Sulsel telah menjual milik negara kepada investor dalam kasus CPI ini untuk pembiayaan aktivitas partai politik.

“Uang mengalir kemana? Salah satunya untuk membiayai kegiatan-kegiatan parpol. Kita tahu ketika kasus reklamasi mencuat, gubernur ke Bali mengikuti Munas Golkar yang diikuti oleh banyak SKPD-nya. Kami yakin biaya keberangkatan mereka itu kemungkinan berasal dari salah satu investor CPI.”

Asram Jaya, Kordinator Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) Sulsel, melihat adanya trend peningkatan kasus korupsi dari tahun ke tahun, sehingga Sulsel dapat disebut sebagai lumbung korupsi.

“Kenapa dikatakan lumbung, karena dari sisi jumlah kerugian negara yang cukup besar, lalu kemudian aktor dan modusnya yang berubah bentuk dan meluas. Kami istilahkan bereproduksi. Lalu apa yang membuatnya subur?”

Menurutnya, penyebab reproduksi korupsi yang kian marak karena adanya ruang yang terbuka lebar. Pertama pada proses politik yang terjadi. Kedua, proses rekruitmen aparat hukum yang saat dengan praktek KKN dan ketiga pada aspek pembenahan sistem di eksekutif, legislatif dan yudikatif.

“Nah ruang ini kemudian menambah subur praktek-praktek korupsi di Sulsel. Kami melihat kasus korupsi ini bukan sekedar problem hukum. Tapi juga adalah problem politik yang membuka ruang praktek korupsi bertambah subur. Makanya kita analogikan sebagai lumbung atau bahasa lainnya Sulsel adalah surga untuk koruptor.”

Asram menambahkan bahwa dalam proses politik seringkali dikatakan sebagai upaya memilih pemimpin yang baik, namun ketika bupati, gubenur atau presiden terpilih ini dibiayai oleh cukong politik maka mereka akan tersandera.

“Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemimpin yang tersandera ini hanya akan pro pada cukongnya. Hanya berorientasi pada pendapatan saja, jauh dari kepentingan masyarakat. Apalagi berhubungan dengan isu-isu lingkungan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,