Penegakan Hukum di Perairan Raja Ampat Peroleh Dukungan Penuh dari Suku Adat

Suku Adat Maya di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat menyepakati penerapan peraturan perlindungan laut di wilayahnya untuk kepentingan konservasi perairan Raja Ampat sebagai perairan pemilik biota laut terlengkap di dunia. Kesekapatan tersebut dikeluarkan Dewan Adat Suku Maya yang menyadari pentingnya menjaga ekosistem laut di Raja Ampat.

Sebelum menerima kesepakatan bersama Pemerintah Kabupaten Raja Ampat beserta sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang ada di Raja Ampat, Dewan Adat Suku Maya lebih dulu mempelajari tentang kondisi perairan di wilayahnya. Cara tersebut, untuk memahami apa dan bagaimana perairan yang mengelilingi wilayah tempat tinggal mereka selama ini.

Dengan mempelajari lebih dulu, masyarakat adat Suku Maya ditantang untuk bisa membuat peraturan adat yang kemudian diusulkan kepada pemerintah setempat. Dan, cara tersebut memang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat adat berkaitan dengan pelestarian kawasan perairan sekitar Raja Ampat.

Wakil Bupati Raja Ampat Manuel Piter Urbinas, akhir pekan lalu mengatakan, usulan peraturan yang diberikan warga Raja Ampat, mencakup tentang poin-poin yang belum termasuk dalam peraturan adat Raja Ampat terkait penanganan kasus-kasus perusakan laut di wilayah adat. Usulan tersebut, disampaikan warga dalam sebuah lokakarya yang diadakan awal Desember di Waisai, ibu kota Raja Ampat.

“Hukum dari negara ternyata belum membuat jera pelaku. Maka, kami ingin memberikan dasar hukum oleh masyarakat adat untuk menindak tegas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Raja Ampat. Pelaku harus tunduk terhadap sanksi adat yang diberikan,” ungkap dia.

Manuel mengatakan, pentingnya perlindungan kawasan perairan Raja Ampat, karena selama ini wilayahnya dikenal sebagai surga bawah laut dunia. Bahkan, dia menyebut, Raja Ampat memiliki sekitar 75% dari spesies karang di dunia dan 1.765 spesies ikan yang menghidupi lebih dari 76.000 penduduk Raja Ampat.

“Namun, wilayah laut Raja Ampat masih terancam penangkapan ikan dengan bom dan sianida, serta perburuan hiu dan pembabatan mangrove,” jelas dia.

Dari lokakarya tersebut, Manuel mengatakan, lahirlah Rancangan Peraturan Adat Suku Maya Raja Ampat Tentang Perlindungan Ikan dan Biota Laut dan Potensi Sumber Daya Alam Lainnya di Wilayah Pesisir dan Laut dalam Petuanan Adat Suku Maya Raja Ampat.

“Rancangan Peraturan Adat ini akan diajukan oleh dewan adat kepada pemerintah daerah agar mampu mendorong pembuatan sebuah peraturan adat yangbersifat mengikat,” tutur dia.

Anakan ikan pari manta di perairan Wayag, Raja Ampat, Papua Barat. Foto : Conservation International Indonesia
Anakan ikan pari manta di perairan Wayag, Raja Ampat, Papua Barat. Foto : Conservation International Indonesia

Salah satu LSM yang ikut memberikan inisiasi, Conservation International (CI) Indonesia, mengaku ikut mendorong perlindungan dari masyarakat adat, karena masyarakat di wilayah Raja Ampat hampir 80 persen di antaranya sangat bergantung pada sumber daya alam di laut.

Hal tersebut disebutkan Raja Ampat MPA Manager CI Indonesia Kristian Thebu. Menurut dia, masyarakat adat sudah mengusung isu laut sebagai jalan masuk, karena memang banyak yang menyadari ketergantungannya pada sumber daya alam di laut.

Menurut Kristian, keberadaan peraturan adat diyakini bisa mendorong penetapan Peraturan Daerah Raja Ampat terkait pengakuanakan masyarakat adat Suku Maya. Kata dia, dalam peraturan adat, masyarakat menyepakati pelaku kejahatan kelautan disidang oleh dewan adat untuk didenda atau mendapat sanksi sosial.

“Kami akan mengajukan Rancangan Peraturan Daerah ini kepada Pemerintah Kabupaten Raja Ampat agar dilegitimasi menjadi sebuah peraturan adat. Tentunya, sebelum Rancangan Peraturan Adat ini diajukan, kami perlu melakukan sosialiasi terlebih dahulu kepada semua warga agar bisa memahami konten peraturan yang kami ajukan,” ujar Kristian yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Adat Suku Maya.

“Kami harap dengan adanya peraturan adat ini, posisi masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan bisa ditingkatkan sesuai dengan peraturan adat yang berlaku,” pungkas dia.

 

Pemerintah Indonesia Hormati Keselarasan Adat dan Alam

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Dermawan menghormati keputusan masyarakat adat untuk melakukan perlindungan terhadap wilayah perairan yang ada di sekitar kawasan adat. Menurutnya, cara yang diilakukan masyarakat adat tersebut, memperlihatkan bahwa ada kesadaran tentang pentingnya menjaga ekosistem perairan laut.

“Sejak lama, Pemerintah Indonesia menghormati dengan segala kearifan lokal yang ada di masing-masing masyarakat adat. Masing-masing adat menerjemahkannya dengan cara berbeda. Selama itu untuk kepentingan kelestarian laut, kita akan terus mendukungnya,” ujar dia.

Agus kemudian mencontohkan, salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia, adalah bagaimana cara masyarakat adat Lamalera di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjaga wilayah lautnya sebaik mungkin. Cara mereka, kata dia, dilakukan dengan sudut pandang berbeda namun tetap mengedepankan kelestarian alam di laut.

“Ini juga berlaku untuk masyarakat adat yang lain di Indonesia. Saya yakin, mereka juga memiliki cara sendiri untuk melakukan perlindungan terhadap wilayah laut di sekitar mereka. Berbeda caranya, tapi tujuannya sama, untuk kelestarian,” sebut dia.

Tradisi penangkapan pari manta dan paus oleh masyarakat adat Lamalera di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto : floresa.com
Tradisi penangkapan pari manta dan paus oleh masyarakat adat Lamalera di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto : floresa.com

 

Kaimana

Pada Mei 2016, wilayah lain di Papua Barat, Kabupaten Kaimana, juga mengambil langkah serupa seperti Raja Ampat. Daerah yang terkenal dengan siluet senja di petang hari itu, menetapkan Pulau Namatota sebagai kawasan konservasi perairan daerah (KPPD) sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kaimana Nomor 11 Tahun 2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KPPD) Kaimana.

Pulau Namatota sendiri secara administrasi masuk dalam bagian Distrik Kaimana Kota dan didiami 149 kepala keluarga (KK) yang sebagian besar adalah suku Toiwai. Dengan penetapan Deklarasi Adat tersebut, Kaimana mengklaim itu akan menjaga keberlangsungan alam di sekitar Pulau Namatota yang luas daratannya mencapai total 508.324 hektare.

Corridor Manager CI Indonesia-Kaimana Thamrin La Muasa di sela deklarasi, menyatakan, Namatota menjadi bagian dari wilayah pengelolaan konservasi Kaimana Kota yang luas totalnya mencapai 122.586 hektare atau 24 persen dari total luas KPPD Kaimana. Selain Namatota, masih ada kampung-kampung lain yang juga memiliki deklarasi sendiri.

“Selain Kaimana, ada Borowai, Arguni, dan Teluk Etna Yamor. Masing-masing wilayah pengelolaan itu sudah mengikuti arahan dari Perda Nomor 11 Tahun 2004,” ucap dia kepada Mongabay Indonesia.

Thamrin menjelaskan, untuk bisa membuat deklarasi adat sistem zonasi konservasi perairan, setiap kampung harus memiliki satu suara mufakat. Hal itu, karena biasanya dalam satu kampung itu ada sistem ketuanan yang menjadi pemilik hak ulayat kampung. Di Namatota saja, ada 5 ketuanan yang menyatakan setuju.

“Secara keseluruhan, deklarasi sudah dilaksanakan pada 2008. Namun, untuk menguatkan, Pemerintah Kabupaten menggelar deklaraasi secara terpisah di masing-masing kampung yang masuk dalam empat wilayah pengelolaan,” tutur dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,