Vonis Mengecewakan Mahkamah Agung untuk Perusahaan Sawit Pembakar Lahan

Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan terkait gugatan perdata kebakaran lahan gambut yang dilakukan PT. Surya Subur Panen II di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Dalam putusannya, MA menolak Kasasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan menyebutkan PT. SPS II tidak terbukti merusak lingkungan.

Keputusan tersebut bertolak belakang dengan kasus yang menjerat PT. Kallista Alam, yang juga digugat sebagaimana PT. SPS II. PT. Kalista Alam yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar tidak berjauhan dengan lahan yang dibuka PT. SPS II di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, harus membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp366 miliar.

Suratman, warga Kecamatan Darul Makmur, kecewa dengan MA itu, karena ia tinggal  berdekatan dengan lahan PT. SPS II. Bahkan, melihat langsung pembukaan lahan dengan cara membakar itu.

“Saya yang menemani dan menunjukkan lokasi kebakaran saat tim KLHK melakukan pemantauan dan penelitian lapangan, baik untuk kasus kebakaran lahan PT. Kallista Alam maupun PT. SPS II,” ujarnya belum lama ini.

Baca: Kala Mahkamah Agung Patahkan Gugatan Rp439 Miliar KLHK ke Perusahaan Sawit Bakar Lahan

Kebakaran itu terjadi 2012 di areal konsesi PT. SPS II di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. SPS II memiliki konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 12.957 hektar di Tripa, beroperasi atas izin budidaya Gubernur Aceh tahun 2012 setelah membeli HGU itu dari PT. Agra Para Citra.

“Kami, masyarakat lokal menerima langsung dampak pembakaran lahan itu. Kesehatan warga terganggu dan perekonomian masyarakat hancur,” ungkap Suratman.

Perkebunan kelapa sawit milik PT. SPS II yang membuka lahan dengan cara membakar. Foto: Junaidi Hanafiah
Perkebunan kelapa sawit milik PT. SPS II yang membuka lahan dengan cara membakar. Foto: Junaidi Hanafiah

Aktivis lingkungan Aceh TM. Zulfikar, menyebutkan hal yang sama. Ia pun mempertanyakan kapasitas Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara tersebut. “PT. SPS II terbukti membakar lahan. Dalam gugatan pidana di Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Majelis Hakim menjatuhkan denda untuk PT. SPS II sebesar Rp3 miliar. Hukuman penjara 3 tahun, subsider 1 bulan, diberikan kepada Kepala Kebun PT. SPS II, Anas Muda Siregar dan Kepala Proyek, Marjan Nasution.”

TM Zulfikar mengatakan, ada yang aneh dengan putusan itu. Perusahaan telah melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, seperti yang dilakukan PT. Kallista Alam. “Harusnya, gugatan ini ditangani hakim yang memahami kejahatan lingkungan. Bukan hakim yang biasa menangani perkara agama. Kemana para hakim yang telah mengikuti pelatihan lingkungan,” tanyanya.

Baca jugaPT SPS II, Perusahaan Sawit Ketiga yang Divonis Bersalah Bakar Rawa Tripa

KLHK menggugat secara pidana PT. SPS II sebesar Rp439,018 miliar atas kasus kebakaran hutan dan lahan 2012. Namun, mulai dari gugatan di Pengadilan Negeri hingga ke Mahkamah Agung, PT. SPS II divonis tidak bersalah.

Dalam gugatannya, KLHK memaparkan, mengetahui adanya kebakaran lahan di Gampong (Desa) Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, KLHK mengirimkan tim untuk melakukan pemeriksaan lapangan.

“Berdasarkan Berita Acara Verifikasi Lapangan pada tanggal 4 Mei 2012 dan tanggal 16 Juni 2012, tim Lapangan menemukan fakta, titik koordinat lokasi lahan bekas terbakar berada di wilayah usaha PT. SPS II,” jelas tim penggugat KLHK.

Sidang PT SPS II yang berlangsung di Pengadilan Negeri Meulaboh, Kamis (28/1/2016). Majelis hakim memvonis perusahaan sawit tersebut bersalah dengan denda 3 miliar Rupiah. Foto: Junaidi Hanafiah
Sidang PT SPS II yang berlangsung di Pengadilan Negeri Meulaboh, Kamis (28/1/2016). Majelis hakim memvonis perusahaan sawit tersebut bersalah dengan denda 3 miliar Rupiah. Foto: Junaidi Hanafiah

Suram

Bagi sebagian besar warga Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya (Abdya), Rawa Tripa merupakan tempat menopang hidup. Dari hutan gambut tersebut mereka mencari nafkah, mulai dari Kecamatan Darul Makmur, Kecamatan Tripa, dan kecamatan sekitar.

Penduduk yang tinggal di sekitar rawa, umumnya petani. Mereka juga memancing atau menangkap ikan, mengumpulkan madu, dan mencari rotan. “Dulu kami bisa hidup dari hutan tersebut tanpa sedikit kekurangan,” tutur Zainal Arifin, warga Kecamatan Tripa.

Kondisi itu berlangsung hingga 1980-an, ketika Kabupaten Nagan Raya masih bergabung dengan Kabupaten Aceh Barat. “Saat itu warga tidak berani merusak hutan gambut karena hukum adat melarang. Hanya diperbolehkan mengambil hasil hutan.”

Kebun sawit yang masuk Rawa Tripa, mengubah keseimbangan ekosistem alam yang telah tertata baik. Foto: Junaidi Hanafiah
Kebun sawit yang masuk Rawa Tripa, mengubah keseimbangan ekosistem alam yang telah tertata baik. Foto: Junaidi Hanafiah

Pria yang kerap disapa Teungku Zainon ini menuturkan, sejak Rawa Tripa dikuasai pengusaha perkebunan sawit, semua berubah. “Cucu-cucu saya tidak pernah melihat lagi rusa dan beruang. Madu juga sulit didapatkan. Hutan alami berganti sawit.”

Rawa Tripa sekarang tak seindah dulu lagi. Hutan gambut itu telah berubah dari hutan alami yang ditumbuhi berbagai tanaman dan didiami bermacam hewan dan kini menjadi hutan sawit. Dari 61.803 hektare (ha) luas hutan Rawa Tripa, yang tersisa diperkirakan 31.410 ha.

“Kekayaan hutan gambut Rawa Tripa tinggal kenangan. Sejak 1995 hutan musnah perlahan, setelah tujuh perusahaan sawit merusaknya. Dulu, penduduk bisa memancing puluhan kilogram ikan lele dalam sehari. Kini sulit. Saya juga tidak bisa menanam padi lagi karena sering banjir,” keluh Hasballah, warga Kecamatan Suka Makmur.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,