Tambang Emas Gerus Lahan Pertanian, Sungai Batanghari pun Makin Merana (Bagian 3)

Kala memasuki perkampungan ini, mata disuguhi gunung-gunung pasir bercampur batu dan lubang-lubang di belakang pemukiman. Begitu pemandangan di Desa Kampung Limo,  Kecamatan Pangkalan Jambu,  Kabupaten Merangin, Jambi. Masyarakat menggantungkan penghidupan dari hasil tambang emas terbuka.

Mereka mengubah petak-petak sawah menjadi pertambangan. Alhasil, sekitar 200 hektar persawahan di kampung ini menjadi gunungan pasir dan lubang-lubang tambang.

Suryana (37), hanya bisa memandang sedih piagam terpajang di dinding rumah, saat dianugerahi sebagai petani teladan enam tahun lalu.

Dia mengenang, jejeran padi menguning di belakang rumah. Kini, hanya tumpukan pasir berbatu. “Dulu di belakang rumah saya, sawah. Sejak 2013, tambang emas menjadi mata pencaharian utama desa ini. Kami pun rela menukar sawah untuk jadi tambang,” katanya.

Baca Juga: Petaka di Lubang Jarum Tambang Emas Merangin (Bagian 1)

Animo masyarakat tinggi mengubah sawah menjadi tambang emas tebuka bukan tanpa alasan. Penyebabnya, harga jual karet anjlok padahal merupakan komoditas utama masyarakat.

“Kalau hasil sawah, tak diandalkan untuk pencaharian. Kami rata-rata memiliki sawah untuk kebutuhan sendiri. Jika ada lebih baru dijual.”

Senada diungkapkan, Syahbarul Ain Monte. Dia pernah jadi Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) petani di Kecamatan Pangkalan Jambu. “Dulu 2010, Kecamatan Pangkalan Jambu sempat menjadi lumbung beras untuk Merangin. Sekarang, tinggal kenangan.”

Syahbahrul, menyayangkan alih fungsi persawahan dan perkebunan menjadi tambang. “Dari 2007 sudah menjadi pendamping. Hasil sawah mereka sangat baik. Ini karena sistem perairan langsung dari Sungai Batang Merangin. Sekarang, tak ada sepetak sawahpun tersisa.”

Baca juga: Cerita dari Desa Para Perempuan Pendulang Emas (Bagian 2)

Saat kemilau emas habis, yang tersisa hanyalah harapan masyarakat untuk sumber penghidupan lain.  Ibnu Hajar, tokoh masyarakat Desa Kampung Limo mengatakan, sekarang tambang-tambang emas terbuka masyarakat tak lagi diandalkan.

Banyak warga beralih ke tambang lubang jarum yang lebih berisiko. “Sekarang, tambang emas di sawah-sawah ini tak lagi menghasilkan. Sudah habis emasnya, banyak terpaksa lari ke lubang jarum. Nak besawah lagi dak mungkin bisa.”

Lelaki paruh baya ini berujar, kalau beroperasi sesuai kaidah keselamatan, mungkin pekerja menjadi korban kala menambang emas lubang jarum.

“Tahun lalu, ada tiga korban jiwa dari desa ini, semua karena tak mengikuti standar keamanan. Semua pekerja kesentrum.”

Korban berjatuhan dari tahun ke tahun. Mulai 2013, dari catatan KKI Warsi enam orang meregang nyawa. Jumlah ini terus naik, pada 2014 koban 11 orang tersebar di dua kabupaten,  Merangin dan Sarolangun. Hingga tahun lalu, korban 15 jiwa, dan 2016 ada 11 penambang tertimbun di tambang emas lubang jarum.

Kala saya di Merangin, penambangan emas sudah mencapai ke hulu dan hampir tak ada sungai bebas aktivitas ilegal. Dari aktivitas ini,  juga menimbulkan korban meninggal, baik tertimbun galian ataupun tenggelam di bekas galian. Belum lagi, dampak kerusakan lingkungan di daerah-daerah itu.

 

 

Dulu ini hamparan sawah sebelum menjadi tambang-tambang emas. Foto: Elviza Diana
Dulu ini hamparan sawah sebelum menjadi tambang-tambang emas. Foto: Elviza Diana

 

 

Sungai Batanghari merana

Data laporan kegiatan penyusunan klasifikasi DAS wilayah kerja BPDAS Batanghari menemukan, perlu pembenahan pada Sungai Batanghari meliputi aliran anak-anak sungai. Debit DAS Batang Merangin dilihat dari Outlet Muara Tembesi menunjukkan nilai sangat tinggi, mencapai dua kali lipat dibandingkan pada Outlet Muara Kilis.  Kondisi ini menunjukkan,  gejala penurunan.

Sedang curah hujan cukup tinggi di Merangin bahkan mencapai dua kali lipat bila dibandingkan Tebo hingga menyebabkan Merangin rawan banjir, terutama banjir bandang.

Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi menyebutkan,  debit sungai tinggi, ditambah curah hujan tinggi dan kondisi sungai rusak menyebabkan daerah-daerah hulu yang seharusnya tak banjir, akhir-akhir ini terdampak.

“Sempadan-sempadan sungai rusak, hingga aliran sungai menjadi lurus tanpa ada lagi kelok. Sementara aliran air dari hulu menjadi kencang karena curah hujan cukup tinggi, banjir bandang kerap terjadi di Merangin dan Bungo.”

Berdasarkan data Badan Nasional Penangulangan Bencana,  frekuensi banjir di berbagai kabupaten dan kota di BPDAS Batanghari,  sangat tinggi.

Dalmanto, Kabid Penangulangan Bencana BPBD Jambi menyebutkan, rawan bencana menghantui Jambi setiap tahun, seperti banjir dan longsor.

Data sedimentasi juga sangat tinggi, 1.357 ton per tahun dengan kualifikasi pemulihan sangat tinggi.

Pengerukan yang digadang-gadang menjadi solusi oleh pemerintah daerah dinilai tak efektif dan efesien dalam mengatasi sedimentasi. Agus Maryono, Ahli Hidrologi Universitas Gadjah Mada mengatakan, pengerukan hanyalah langkah daurat.

“Dari pengalaman di beberapa sungai, pengerukan tak berdampak banyak mengatasi permasalahan sedimentasi. Sekarang dikeruk, beberapa bulan terisi lagi, sedimentasi lagi. Yang perlu dilakukan perbaikan erosi hulu dan kelancaran arus sungai,” katanya.

Menurut dia, perlu memberi pemahaman benar kepada komunitas dan menjadikan sebagai agen perubahan dan perbaikan sungai. “Harus libatkan komunitas, masyarakat yang selama ini dekat dan bergantung pada sungai, ditimbulkan rasa cinta hingga mereka akan menjaga sungai-sungainya.”

 

 

 

Solusi?

Penambangan emas rakyat terus menggila tak hanya menimbulkan masalah lingkungan juga berpotensi konflik sosial. Sekda Merangin, Sibawahi mengatakan, dari 24 kecamatan di Merangin, ada penambangan emas dengan berbagai tipe penambangan.

“Semua di Merangin ini terdapat beragam cara penambangan, mulai lubang jarum, dompeng, penambangan terbuka dan mendulang tradisional. Kita lakukan, upaya pemulihan dan penghentian tambang.”

Sibawahi bilang, tak bermain-main dengan ultimatum itu. “Kita akan keluarkan surat edaran bersama antara aparat dan pemda terkait ajakan penghentian tambang ilegal kecuali mendulang manual. Kita berharap ini bisa mengurangi aktivitas pertambangan tak berizin.”

Penggunaan cairan merkuri pada dompeng, juga disebut-sebut Sibawahi akan mengulang tragedi Minamata di Jambi. “Kalau untuk limbah cair, kita belum menemukan solusi untuk restorasi sungai. Hanya limbah padat yang dibersihkan,” katanya.

Rudi menilai, ada beberapa langkah harus dilakukan dalam mengatasi pemasalahan  ini, seperti penegakan hukum dan perlu peraturan mengakomadasi pertambangan rakyat terutama daerah yang sudah menambang tradisional sejak dulu.

Pertambangan rakyat, katanya,  perlu didukung dengan pembuatan mekanisme yang jelas, sedang penambangan tanpa izin dibekingi cukong tidak boleh.

“Pemerintah harus tegas hanya mengizinkan pertambangan emas tak pakai merkuri agar tak cemari air sungai.”

Guna mengatasi permasalahan ekonomi, kata Rudi, perlu lagi pembangunan model pemberdayaan masyarakat berbasis mata pencaharian bertingkat, seperti mengkombinasikan perikanan, peternakan. Atau agroforestry kompleks misal, karet, gaharu, kopi, coklat, dan tanaman buah.

Di lokasi tambang, terutama tambang emas terbuka juga memicu konflik sosial terkait batas-batas tanah antara masyarakat. Ahmad Kausari, anggota DPRD Merangin mengatakan, biasa masyarakat menandai batas-batas tanah dengan batas alam sepeti sawah dan pepohonan.

“Kalau sudah jadi tumpukan pasir, masyarakat nanti bingung dengan batas tanah masing-masing.”

DPRD, katanya, sudah mengusulkan membuat kajian pemulihan areal bekas tambang sudah dilakukan. “Kita sudah membicarakan, dan diusulkan bupati untuk kajian melibatkan IPB.  Jadi, areal bisa dimanfaatkan lagi, apakah untuk budidaya ikan ataupun kembali lahan pertanian.” (Bersambung)

 

Ibu-ibu pendulang emas akan kembali ke rumah setelah seharian berendam di sungai mencari emas. Foto: Elviza Diana
Ibu-ibu pendulang emas akan kembali ke rumah setelah seharian berendam di sungai mencari emas. Foto: Elviza Diana
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,