Kisah Badak Jawa yang Kini Hanya Ada di Ujung Kulon

Satu individu badak berdiri tegak. Tubuhnya kokoh. Pandangannya lurus ke depan. Ia tidak terganggu dengan kehadiran manusia di sekelilingnya. Suara riuh yang bergema atau sesekali kilatan cahaya yang keluar dari lensa kamera, yang membidik tubuhnya, tidak membuatnya ‘murka’. Ia tetap diam, tidak bergeming.

Dia adalah badak jawa (Rhinocerus sondaicus) terakhir di Priangan. Dalam etalase kaca tembus pandang, spesimen seberat 2.280 kilogram ini, dapat kita lihat langsung di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI (MZB-LIPI), Bogor, Jawa Barat.

Secarik kertas ukuran A4 berbingkai kaca, tepat di depan kakinya, memberi penjelasan singkat sekelumit satwa berkulit tebal tersebut. Badak jantan itu, awalnya hidup bersama pasangannya di Karangnunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat, tahun 1914. Namun, di tahun yang sama, nasib malang menimpa si betina, ia mati ditembak pemburu gelap.

Kepala badak jantan yang ditembak mati pada 31 Januari 1934. Sumber: Rhino Resource Center/Franck, P.F
Kepala badak jantan yang ditembak mati pada 31 Januari 1934. Sumber: Rhino Resource Center/Franck, P.F

Khawatir badak jantan ini akan mengalami nasib yang sama maka diputuskan memburunya, untuk koleksi museum itu. Demi kepentingan ilmu pengetahuan, tentunya. Pertimbangan lainnnya adalah, agar badak jantan ini tidak jatuh ke tangan pemburu sebagaimana kekasihnya.

Di sisi lain, kondisi sang badak pun makin mengkhawatirkan, karena sudah tua dan tidak dapat lagi bergabung dengan badak lainnya di Ujung Kulon, daerah perlindungan yang saat itu masih berstatus cagar alam. Akhirnya, 31 Januari 1934, petugas museum yang saat itu dikelola Pemerintah Hindia Belanda, menewaskan “Badak Terakhir di Priangan” ini dengan sebutir peluru mauser kaliber 9.3, di wilayah Sindangkerta, Jawa Barat.

Inilah spesimen badak jawa yang berada di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI (MZB-LIPI), Bogor, Jawa Barat. Foto: Rahmadi Rahmad
Inilah spesimen badak jawa yang berada di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI (MZB-LIPI), Bogor, Jawa Barat. Foto: Rahmadi Rahmad

Terkait sebutan badak di Priangan, dari literatur yang ada menjelaskan, hingga akhir abad ke-19, penduduk Kota Bandung masih bisa melihat badak jawa. Saat itu masyarakat menamainya badak priangan. Itulah mengapa ada daerah bernama Rancabadak, bahkan dijadikan nama Rumah Sakit Rancabadak yang kemudian diganti menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin, di Jalan Pasteur, Bandung.

Catatan lainnya adalah ketika Junghuhn mendaki Gunung Pangrango pada 1839, ia melihat dua badak jawa, satu individu tengah berendam di sungai kecil dan satu individu berada di pinggir sungai.

Sedangkan penelitian badak jawa pertama diperkirakan pada 1787. Tulang badak itu dikirim kepada penyidik alam Belanda bernama Petrus Camper, yang belum sempat menerbitkan hasil penelitiannya karena meninggal tahun 1789. Sedangkan badak jawa yang ditembak di Sumatera oleh Alfred Duvaucel, spesiemennya dikirimkan ke ayah tirinya Georges Cuvier, ilmuwan asal Perancis. Cuvier pada tahun 1822, akhirnya mengetahui bila badak jawa tersebut merupakan satwa istimewa. Di waktu yang sama pula Anselme Gaetan Desmarest mengindentifikasinya sebagai Rhinoceros sondaicus.

Gambaran kehidupan badak jawa yang dilukiskan tahun 1834. Sumber: Rhino Resource Center/ Capt. Dumont d'Urville
Gambaran kehidupan badak jawa yang dilukiskan tahun 1834. Sumber: Rhino Resource Center/ Capt. Dumont d’Urville

Informasi penting lainnya adalah, sebanyak dua belas individu badak jawa terakhir yang terdapat di Sumatera telah ditembak mati oleh pemburu-pemburu Belanda, di rentang waktu 1925 – 1930. Sedangkan satu individu lagi yang ditembak di Karangnunggal (Tasikmalaya) pada 1934, sosok inilah yang spesimennya bisa kita saksikan di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI (MZB-LIPI) ini.

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia berpostur tegap. Tingginya, hingga bahu, sekitar 128 – 175 sentimeter dengan bobot tubuh 1.600 – 2.280 kilogram. Meski penglihatannya tidak awas, akan tetapi pendengaran dan penciumannya super tajam yang mampu menangkap sinyal bahaya yang menghampiri kehidupannya. Satu cula berukuran 27 sentimeter berwarna abu-abu gelap atau hitam merupakan ciri khas utama jenis ini.

Perburuan badak jawa yang digambarkan tahun 1850. Sumber: Rhino Resource Center
Perburuan badak jawa yang digambarkan tahun 1850. Sumber: Rhino Resource Center

Berdasarkan catatan sejarah, dahulunya badak jawa tersebar luas. Mulai dari India, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Jawa, dan Sumatera. Namun kini, populasinya hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten.

Pertambahan penduduk dan perkembangan peradaban diperkirakan telah menggerus habitat dan mengancam kehidupan satwa soliter ini. Akibatnya, badak menjadi sasaran pembunuhan karena dianggap hama yang merusak areal pertanian. Di sisi lain, cula badak yang dianggap memiliki khasiat sakti, digunakan sebagai bahan campuran obat untuk kesehatan manusia, yang sesungguhnya tidak terbukti.

Badak sumatera dan sejumlah satwa liar lainnya yang tergambar jelas pada tahun 1840. Sumber: Rhino Resource Center
Badak sumatera dan sejumlah satwa liar lainnya yang tergambar jelas pada tahun 1840. Sumber: Rhino Resource Center

Kenyataannya yang harus diterima adalah, di Myanmar, badak jawa terakhir yang hidup ditembak mati pada 1920 untuk koleksi British Museum. Di semenanjung Malaysia, juga ditembak di Perak pada 1932 untuk koleksi museum. Di Vietnam, secara resmi diumumkan badak jawa telah punah, setelah individu terakhir ini ditemukan mati dengan luka tembak dan cula menghilang di Taman Nasional Cat Tien.

Berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), saat ini badak jawa statusnya ditetapkan Kritis (Critically Endangered/CR) atau satu langkah menuju kepunahan.

Rangka badak jawa terakhir yang mati dengan luka tembak dan cula menghilang di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Sumber: Rhino Resource Center/David Brugière
Rangka badak jawa terakhir yang mati dengan luka tembak dan cula menghilang di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Sumber: Rhino Resource Center/David Brugière

Ujung Kulon

Bagaimana kondisi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon? Selain keberadaan ternak yang mendekati  habitat tempat hidup badak jawa, ancaman nyata di Ujung Kulon adalah makin invasifnya langkap atau tanaman yang mengacam pakan badak. Meski pemerintah sudah melakukan kajian pemindahan habitat alami badak ini, namun belum diputuskan kapan eksekusinya.

Saat ini, tak kurang 63 individu badak masih terpantau oleh World Wild Fund-Indonesia (Ujung Kulon).”Kondisinya relatif stabil secara populasi dan pertumbuhan, namun secara habitat cukup mengkhawatirkan,” ujar Yuyun Kurniawan, National Rhino Conservation Coordinator WWF-Indonesia.

Dua individu badak jawa yang terpantau kamera jebak di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: WWF-Indonesia/Balai TNUK
Dua individu badak jawa yang terpantau kamera jebak di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: WWF-Indonesia/Balai TNUK

Hal yang mengkhawatirkan Yuyun, tak lain adalah luasan habitat yang makin terbatas dan tumbuhnya tanaman invasif yang menghambat pertumbuhan tanaman pakan badak. Akibatnya, pertumbuhan populasi badak tidak bisa diimbangi dengan daya dukung yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon.

Yuyun mengatakan, hingga saat ini pemindahan habitat masih dalam proses dan butuh persiapan matang. Keputusan dari pemerintah juga masih ditunggu. Hal mendesak yang perlu dilakukan sembari menunggu adalah mengendalikan tanaman invasif. “Langkap sudah mencakup lebih dari 50 persen habitat badak. WWF-Indonesia sedang melakukan pengendalian dengan cara menebang intensif. Sebulan sekali paling cepat ditebang.”

Awalnya, kami menargetkan hingga 600 hektare setahun. Rupanya, membabat langkap tak semudah yang dibayangkan. “Di lapangan, setahun hanya bisa dikerjakan 40 – 50 hektare saja.”

Rangka badak jawa yang tersimpan rapi di Museum Kiel, Jerman. Sumber: Rhino Resource Center/Herman Reichenbach
Rangka badak jawa yang tersimpan rapi di Museum Kiel, Jerman. Sumber: Rhino Resource Center/Herman Reichenbach

Langkap (Arenga obtusifolia) adalah tanaman sejenis palem-paleman. Tanaman ini dapat tumbuh di kegelapan dan saat dewasa, tajuknya menutupi sinar mentari, sehingga tidak menembus lantai hutan. Akibatnya, tidak ada tumbuhan pakan badak yang tumbuh.  Penanganannya dilakukan dengan mengurangi populasi. Dari beberapa percobaan, pengurangan hingga 50 persen populasinya bisa meningkatkan ketersediaan pakan badak. Hanya saja, dalam waktu 1 – 2 tahun, tanaman ini dapat berkembang kembali.

Menurut Yuyun, ada banyak pertimbangan ketika menerapkan pengendalian tanaman ini, terutama menghindari gangguan terhadap badak. Tim yang bertugas di lapangan harus memastikan daerah yang akan diintervensi atau ditebang, tidak aktif didatangi badak dan daerah tersebut miliki kerapatan langkap yang tinggi.

Sebelum menebang, harus dihitung dahulu keragaman vegetasi, khususnya variasi dan jumlah tanaman pakan badak. Setelah itu, penebangan dilakukan. Tak selesai di sana, setelah penebangan penghitungan intensitas dampak penebangan terhadap tanaman pakan kembali dilakukan.

Hasil penghitungan ini sebagai dasar untuk mengetahui berkurang tidaknya tanaman pakan badak. Baik secara jenis atau kelimpahannya. “Jika jenis dan kelimpahan kurang, kami lakukan penanaman untuk pengayaan.”

Peta persebaran badak jawa yang kini hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sumber: Rhino Resource Center/Nico van Strien
Peta persebaran badak jawa yang kini hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sumber: Rhino Resource Center/Nico van Strien

Setelah penebangan selesai, tim juga melakukan pemantauan periodik dan memasang kamera jebak untuk melihat dampak tersebut terhadap badak. Apakah badak mau masuk kembali ke lokasi yang baru ditebang atau tidak. Tim juga memantau  intensitas dan percepatan pertumbuhan langkap. “Kerja berat memang.”

Untuk mengendalikan langkap yang mengganggu pakan badak ini, kami mengerahkan tiga tim. Masing-masing beranggotakan enam orang. “Mereka harus melakukan semua persiapan dan tahapan yang telah ditentukan itu,” tandas Yuyun.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,