Demi Target Produksi 2017, Perikanan Budidaya Pelajari Kegagalan Produksi 2016

Kegagalan mencapai target produksi perikanan budidaya yang ditetapkan pada 2016, menjadi pelajaran berharga bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menjalani tahun anggaran 2017 sekarang. Tahun ini, KKP menargetkan bisa mencapai produksi 22,46 juta ton atau naik tiga juta ton dari target produksi 2016 sebanyak 19,46 juta ton.

Untuk mencapai target tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya akan menggenjot program kerja prioritas yang dilaksanakan pada 2017. Di antaranya, adalah produksi dari keramba jaring apung (KJA) lepas pantai (offshore) yang dibangun di tiga lokasi terpisah.

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto, produksi dari KJA offshore seharusnya bisa menghasilkan banyak dari setiap unitnya. Hal itu, karena KJA tersebut dibangun dengan desain untuk menghasilkan produksi yang besar.

“Teknologi KJA lepas pantai tersebut mengadopsi dari teknologi yang diterapkan oleh Swedia sebelumnya. Kita optimis bisa membuat KJA lepas pantai sebagai salah satu lumbung produksi untuk perikanan budidaya,” ucap dia akhir pekan lalu.

Slamet menuturkan, yang membedakan produksi di Swedia dan Indonesia, adalah komoditas ikan yang dikembangkan. Jika di Swedia dipilih ikan salmon, maka di Tanah Air akan dikembangkan komoditas kakap putih.

Menurut Slamet, pemilihan kakap putih juga dilakukan karena komoditas tersebut menjadi andalan dan merupakan jenis ikan laut yang tidak harus dijual dalam kondisi hidup. Dengan kata lain, kata dia, kakap putih bisa dijual dalam bentuk olahan seperti fillet segar.

“Kita budidayakan kakap putih di offshore, juga karena pada pertimbangan bahwa komoditas tersebut bernilai tinggi dengan pasar jelas seperti Tiongkok dan Hong Kong. Kemudian, pasar kakap putih juga bisa dipasarkan hingga ke Eropa, Timur Tengah, dan juga Australia,” jelas dia.

Selain pasar luar negeri, Slamet menyebut, komoditas kakap putih juga diminati oleh pasar dalam negeri. Saat ini, pasar dalam negeri masih didominasi oleh Sumatera Utara, Kepulauau Riau, Lombok (Nusa Tenggara Barat), Bali, dan Jakarta.

“Di dalam satu unit KJA offshore yang mengapung di lepas pantai, dia menjelaskan, terdapat enam lubang dengan diameter 50 sentimeter,” tutur dia.

Kakap putih atau barramundi. Foto : gomancing.com
Kakap putih atau barramundi. Foto : gomancing.com

Dengan jumlah lubang tersebut, Slamet mengatakan, produksi kakap putih bisa didorong dengan hasil panen 568 ton per siklus. Untuk setiap panen, rerata kakap putih ukurannya mencapai 600 gram.

“Program KJA offshore tersebut berpotensi menghasilkan nilai Rp39,7 miliar untuk sekali panen,” jelas dia.

Untuk saat ini, Slamet mengungkapkan, program KJA offshore dilaksanakan di perairan Sabang (Aceh), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan perairan pantai selatan antara Cilacap (Jawa Tengah) dan Pangandaran (Jawa Barat).

“Dengan kegiatan offshore maka andalan kita di budi daya laut bisa meningkat seperti kerapu dan kakap saya yakin naik pada 2017,” ujarnya

Selain dari KJA offshore, Slamet mengungkapkan, target produksi perikanan budidaya juga akan dikerahkan dari unit lain, seperti operasional pabrik pakan ikan, minapadi, dan rumput laut. Khusus untuk pakan ikan, pada 2017 ini, DJPB akan membangun satu unit yang diharapkan bisa menggenjot produksi perikanan budidaya lebih bagus lagi.

Slamet menuturkan, target produksi 22,46 juta ton tersebut, jika dirupiahkan nilainya sekitar Rp100 triliun. Jumlah sebanyak itu, diperkirakan akan didominasi oleh komoditas unggulan seperti rumput laut, dan produk perikanan seperti ikan, udang, dan kerang.

“Jika dibandingkan dengan 2016, kita optimis tahun 2017 bisa lebih baik. Hal itu, karena faktor cuaca yang tidak seburuk tahun lalu. Juga, karena tahun ini gerakan pakan mandiri jauh lebih baik lagi dan itu akan meningkatkan produksi budidaya,” ucap dia.

Slamet sendiri mengakui, produksi perikanan budidaya pada 2016 memang tidak terlalu baik dan itu berakibat pada kegagalan mencapai target yang telah ditetapkan. Dari target 19,46 juta ton, hingga triwulan III 2016, baru tercapai 13 juta ton saja. Sementara, hingga Desember 2016, produksi baru mencapai 155,8 juta ton.

“Meski sampai sekarang kita masih menghitung produksi keseluruhan, namun target memang tidak tercapai. Kita tidak ingin mengulangnya di 2017. Pada 2016, cuaca yang buruk menjadi penyebab turunnya produksi dan semoga di 2017 cuaca bisa bersahabat,” terang dia.

Petani rumput laut Nusa Penida, ruang kelola makin terhimpit di tengah perkembangan fasilitas pariwisata di sana. Foto: Anton Muhajir
Petani rumput laut Nusa Penida, ruang kelola makin terhimpit di tengah perkembangan fasilitas pariwisata di sana. Foto: Anton Muhajir

 

Rumput Laut Tetap Jadi Prioritas

Bersama dengan produk perikanan, rumput laut menjadi komoditas unggulan yang ditargetkan bisa ikut menyumbang produksi perikanan budidaya pada 2017. Meski gagal mencapai pada 2016 karena cuaca fluktuatif, rumput laut dinilai tetap menjadi komoditas yang bisa diandalkan pada 2017.

Pada 2017, produksi rumput laut ditarget bisa mencapai 13,4 juta ton atau naik 2,4 juta ton dari target 2016 yang mencapai 11 juta ton.

Tidak hanya itu, Slamet Soebjakto juga mengungkapkan, walau saat ini rumput laut mendapat ancaman serius dari pasar Eropa dan Amerika Serikat berkaitan dengan rencana penghapusan rumput laut dari daftar pangan organik di negara tersebut, pihaknya tetap optimis rumput laut produksinya naik.

“Kami terus bersama Kementerian Perdagangan dan ARLI (Asosasi Rumput Laut Indonesia) untuk terus berupaya menjelaskan kepada Amerika Serikat. Kami terus berjuang karena ini penting dan kami juga mendapat dukungan dari negara lain seperti Tiongkok dan Filipina yang sama-sama berjuang,” jelas dia.

Ketua ARLI Safari Azis menginginkan kebijakan teknis perdagangan rumput laut yang berlaku sekarang di berbagai negara, harus dicermati dengan seksama oleh KKP. Kebijakan yang dimaksud, diantaranya adalah kebijakan delisting.

“Harus ada pengawasan yang cermat terhadap kebijakan yang ada di negara-negara importir rumput laut. Ini untuk mencegah terjadinya kebijakan teknis yang tidak tepat,” ucap dia, kemarin.

Dengan munculnya wacana delisting, Safari mengungkapkan, potensi pencoretan karagenan rumput laut dari daftar pangan organik juga akan semakin besar. Dan, jika itu terjadi, dia meyakini bahwa itu akan berdampak pada ekspor rumput laut dari Indonesia ke negara seperti Amerika Serikat dan kelompok Uni Eropa.

Karagenan sendiri adalah senyawa yang diekstraksi dari rumput laut dan digunakan pada makanan sebagai bahan pengental, pembuatan gel, dan emulsifikasi.

Perlunya pengawasan seperti itu, menurut Safari, karena Indonesia saat ini berstatus sebagai negara eksportir produk rumput laut kering yang akan dijadikan karagenan ke sejumlah negara seperti Tiongkok, Filipina, dan Cile.

“Kita adalah eksportir besar dan menyuplai kebutuhan rumput laut kering dunia cukup banyak,” jelas dia.

Safari menuturkan, dari data yang ada, dari 100 persen kebutuhan rumput laut kering dunia, 50 persen di antaranya berasal dari ekspor Indonesia. Dan, dari 50 persen tersebut, 80 persen di antaranya dikirim ke Tiongkok dan dari Negeri Tirai Bambu tersebut kemudian diekspor ke negara seperti Amerika Serikat dan kelompok Uni Eropa.

“Melihat fakta tersebut, sangat penting bagi Indonesia untuk memantau kebijakan delisting. Karena, jika itu diterapkan, maka ekspor rumput laut juga akan mengalami penurunan dan bahkan bisa jadi akan berhenti sama sekali,” ujar dia.

“Harus ada pemecahan dan mencari jalan keluar dari masalah ini. Pemerintah harus turun tangan langsung dengan memantaunya secara seksama,” tambah dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,