Pegiat Lingkungan: Tolak Rencana dan Hasil Kajian Proyek Panas Bumi di Zona Inti TNGL

PT. Hitay Panas Energy, tetap berencana menggarap proyek geothermal atau panas bumi yang berada di zona inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Untuk mendukung proyek tersebut, perusahaan asal Turki ini telah membiayai sejumlah peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah memaparkan hasil penelitiannya pada 8 Desember 2016 lalu di Kantor BBTNGL di Medan, Sumatera Utara.

Tim peneliti yang diketuai Taufik Tri Hermawan, yang bekerja selama 10 hari di Kappi, Aceh, zona inti dan koridor keanekaragaman hayati TNGL itu, memberikan kesimpulannya. “Proyek geothermal di Kappi akan memberi perluasan lapangan kerja secara langsung dan tidak langsung kepada masyarakat.”

Perluasan lapangan kerja secara langsung ini berupa pelibatan masyarakat untuk operasionalisasi kegiatan dan pengamanan hutan. Sementara yang tidak langsung berupa peningkatan energi listrik yang biasanya akan diikuti perluasan variasi pekerjaan.

Penelitian ini juga menyimpulkan, keberadaan energi listrik yang bisa dimanfaatkan masyarakat, dapat memperkuat dukungan publik. Terutama, dalam hal menekan terjadinya gangguan TNGL baik yang ada di sekitar kawasan eksploitasi maupun kawasan lain.

Baca: Mau Bikin Pembangkit Panas Bumi, PT. Hitay Danai Ilmuwan UGM Kaji Zona Kappi, Begini Hasilnya

Para peneliti UGM pun mengeluarkan rekomendasi, diantaranya, pengusahaan panas bumi memenuhi kriteria serta harus dipastikan bahwa pengusahaan panas bumi tidak akan menimbulkan kerusakan yang sama seperti pada pertambangan.

Hutan Leuser yang harus dilindungi. selain berfungsi sebagai penopang hidup masyarakat dan sumber air bersih di hutan ini hidup juga gajah, orangutan, badak sumatera, dan harimau sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah
Hutan Leuser yang harus dilindungi. selain berfungsi sebagai penopang hidup masyarakat dan sumber air bersih di hutan ini hidup juga gajah, orangutan, badak sumatera, dan harimau sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

Pihak pengelola panas bumi juga perlu melakukan advokasi kepada Pemerintah Kabupaten Gayo Lues, Pemerintah Provinsi Aceh untuk mendapatkan dukungan perubahan zonasi di TNGL tersebut.

Selain advokasi dengan kementerian, pihak pengelola panas bumi sebaiknya ikut menghimpun LSM di bidang lingkungan dan memberikan penjelasan kepada LSM tersebut bahwa pemanfaatan panas bumi berbeda dengan proses pertambangan pada umumnya.

Sebelumnya, untuk mendukung proyek geothermal di dalam zona inti TNGL ini, Zaini Abdullah, Gubernur Aceh, pada tanggal 16 Agustus 2016 telah mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendukung proyek panas bumi tersebut. Dalam Surat Bernomor: 677/14266, Zaini meminta KLHK merevisi sebagian zona inti menjadi zona pemanfaatan untuk kepentingan proyek itu.

Baca juga: Pegiat Lingkungan: Menteri LHK Harus Tolak Surat Gubernur Aceh Mengenai Revivi Zona Inti TNGL

Kawasan Kappi, zona inti yang diajukan untuk proyek panas bumi adalah kawasan suaka margasatwa seluas 142.800 hektare yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Wilayah ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang penunjukan TNGL.

Statusnya sebagai zona inti (core area) dikarenakan memenuhi kriteria Keputusan Menteri No. P.76/MenLHK-Setjen/2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Listrik tenaga hidro di Gayo Lues yang memanfaatkan air sungai yang berhulu di TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah
Listrik tenaga hidro di Gayo Lues yang memanfaatkan air sungai yang berhulu di TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah

Tolak

Menanggapi hasil penelitian singkat itu, Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan di Aceh dan Sumatera Utara menyatakan bahwa studi tersebut tidak memenuhi kajian ilmiah berdasarkan data yang memadai.

“Jika perubahan zonasi dikabulkan dan proyek diperbolehkan akan ada konsekuensi besar terhadap kehidupan spesies-speises terancam punah yang menggantungkan hidup pada koridor kawasan ini,” ujar Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), belum lama ini.

Farziwa menjelaskan, Kawasan Ekosistem Leuser yang termasuk di dalamnya Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu habitat terakhir bagi spesies-spesies kunci sumatera seperti gajah, orangutan, badak, dan harimau sumatera. “Selain itu juga merupakan koridor penyambung antara blok-blok habitat satwa yang berada di bagian timur dan barat TNGL.”

Pemusnahan barang bukti satwa liar, Senin 23 Mei 2016, di Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Pemusnahan barang bukti satwa liar, Senin 23 Mei 2016, di Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre (OIC) mengatakan, hasil studi tersebut tidak layak dijadikan acuan kebijakan perubahan. “Metode yang digunakan tim survei tidak cukup jelas. Hasil dan kesimpulan yang diambil juga tidak didukung data dan jangka waktu survei memadai. Survei ini hanya bisa dikategorikan sebagai survei kilat. Tidak bisa digunakan sebagai basis rekomendasi untuk sebuah mega-proyek yang berdampak luas.”

Efendi Isma, Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) pun tidak setuju dengan rencana perubahan status zona inti TNGL. Menurutnya, potensi energi panas bumi di TNGL sangat kecil di bandingkan dengan daerah lainnya di Aceh, seperti di Gunung Seulawah (Kabupaten Aceh Besar), di Gunung Burni Telong (Kabupaten Bener Meriah), dan beberapa daerah lainnya. “Jika dihitung, sekitar 14 lokasi alternatif tersebar di tujuh kabupaten yang memiliki potensi panas bumi. Jika digabungkan hasil energinya mencapai lebih dari 950 MW.”

Efendi mempertanyakan, kenapa yang dikejar itu zona inti TNGL yang letaknya jauh? Padahal, hampir semua lokasi alternatif yang ada posisinya dengan kota-kota besar di Aceh, sehingga lebih efisien. “Ada yang aneh, yang diajukan justru kawasan paling berharga dan tak tergantikan di Aceh.”

Selain kerusakan habitat, perburuan merupakan ancaman nyata yang membayangi nasib orangutan sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah
Selain kerusakan habitat, perburuan merupakan ancaman nyata yang membayangi nasib orangutan sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL), Rudi Putra mengatakan, nenek moyang masyarakat Aceh telah bersusah payah menyelamatkan hutan di ekosistem Leuser khususnya saat menghadang invansi pertambangan Belanda. “Perwakilan pemuka adat dan pemerintahan di berbagai daerah di Aceh menandatangani kesepakatan untuk menyelamatkan hutan Leuser. Saat ini, kita malah ingin merusaknya.”

Rudi menambahkan, orang-orang Aceh dulu, tidak sekolah ke luar negeri. Tapi ada kesadaran untuk menyelamatkan hutan Leuser. Mereka tahu, hutan Leuser sangat penting untuk kehidupan masyarakat. “Kita yang telah menempuh pendidikan tinggi dengan banyak gelar, justru berlomba untuk merusaknya. Ini memalukan.”

Para pegiat lingkungan ini mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera menolak penurunan status kawasan, dari zona inti ke zona pemanfaatan. KLHK juga diminta komitmennya untuk melindungi zona inti tersebut dan TNGL keseluruhan yang merupakan Situs Warisan Dunia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,