Fokus Liputan : Turis Menghilang karena Tambang di Desa Wisata (Bagian 2)

Sua Bali, demikian nama sebuah resor kecil dengan konsep sustainable tourism yang dibuka tahun 1990 ini terlihat dengan rimbun pepohonan. Sejumlah tukang sedang bekerja merenovasi bangunan, akhir November lalu.

Sembilan tahun setelah dibuka, pada 1999, resor beberapa kamar desain arsitektur tradisional di Banjar Medahan, Desa Kemenuh, Gianyar ditutup pemiliknya, Ida Ayu Agung Mas dengan alasan ideologis. Menurutnya situasi sekitar tak mendukung dan selaras dengan konsep resornya.

Kemudian berencana dibuka dan dibenahi tahun ini setelah Dayu Mas, panggilan akrab pemiliknya usai menjabat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Bali pada 2004-2009. “Ada tamu Jerman komplain tadi, mereka mau nginep, tapi dengar kebisingan ini batal,” keluhnya.

Suara mesin pemotong dan penghalus batu paras memecah keheningan tukad (sungai) Petanu, salah satu sumber air baku PDAM di Gianyar, kabupaten terkaya di Bali, setelah Badung ini. Sejauh mata memandang tampak hijau ilalang rumput gajah di depan resor Sua Bali. Berpadu dengan tebing-tebing sungai. Suasana asri berpadu dengan gemuruh suara mesin.

Dayu Mas mengaku sudah protes sejak awal penambangan sekitar 1998. “Aturan tidak jelas, pemerintah tak paham zona paras. Tidak ada kebijakan, gelap semua,” kata perempuan paruh baya ini tentang kondisi saat itu.

Ia menyadari bisnis ini menggiurkan dari segi penghasilan. Sementara ada kesenjangan ekonomi seiring perkembangan wisata di Bali. Dayu Mas menyebut sudah berusaha terlibat dalam peningkatan kesadaran tentang pariwisata berkelanjutan dengan menghormati alam. Misalnya ide Sua Bali di masa lalu adalah mengharmoniskan turis dan warga dengan kolaborasi. Turis yang menginap berdonasi kemudian diberikan ke desa untuk pemberdayaan potensi ekonomi desa, kelompok peduli sampah, dan pengembangan kapasitas.

“Pariwisata massal itu bahaya luar biasa. Dulu kita melihat serangan massal akan terjadi dan perlu menyiapkan kepekaan warga,” jelasnya. Desa Kemenuh sudah ditetapkan sebagai desa wisata. Desa yang masih tampak asri ini masih terlihat banyak papan nama resor, villa, dan galeri pematung kayu. Kontras dengan promosi penjualan batu paras di pinggir jalan.

Untuk mencari solusi dari bisnis penambangan illegal ini ia menyebut melakukan pendekatan ke kelompok Subak (pengelola irigasi sawah tradisional) bahwa sawah rentan kekeringan jika saluran irigasi rusak dan debit sungai menurun karena sedimentasi limbah tambang.

“Solusinya adalah kebijakan strategis dan penegakan hukum, vakum dulu 3 bulan sambil membuat tata kelola sungai. Bali pulau kecil, perlu pemeliharaan lingkungan,” cetus Dayu Mas. Saat ini ia melihat tak ada yang mengurus situasi penambangan yang seolah dibiarkan dan kadang-kadang ada penggrebekan polisi dan Satpol PP ini.

Seorang tukang tambang sedang memotong batu paras di tebing Tukad Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, yang kualiatasnya cukup tinggi. Foto Anton Muhajir
Seorang tukang tambang sedang memotong batu paras di tebing Tukad Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, yang kualiatasnya cukup tinggi. Foto Anton Muhajir

Izin Tambang

Putu Agus Budiana Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bali mengatakan untuk mendapat izin produksi tambang di sungai memang cukup berliku, menyangkut izin di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat karena status sungai di Bali adalah area strategis nasional.

“Perda soal penambangan belum ada sama sekali. Kita hanya instansi teknis dalam proses perizinan. Penambangan masyarakat susah, mereka harus memetakan area eksplorasi dengan titik kordinat temasuk di tanah sendiri karena ini pemanfaatan sumber daya alam,” jelas Agus.

Di Bali semua area bisa jadi wilayah penambangan kecuali Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Danau Buyan dan Beratan, Kuta, Denpasar, Nusa Dua, Kaldera Batur, dan daerah konservasi lain. Namun untuk mendapat izin eksplorasi dan produksi cukup banyak seperti laporan lengkap eksplorasi, izin produksi, studi kelayakan, rencana tambang, bukti kepemilikan tambang, dan lainnya. Kemudian Izin lingkungan dari badan terkait di wilayah tambang dan rekomendasi teknis dari Dinas PU Bali.

Bisa saja ada Izin Penambangan Rakyat untuk mengakomodasi pertambangan masyarakat setempat dengan peralatan sederhana namun harus ditetapkan dulu Wilayah Pertambangan Rakyat oleh pemerintah daerah setempat.

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Bali menyebutkan pulau Dewata ini tidak memiliki sumberdaya alam pertambangan yang sifatnya strategis seperti migas dan batubara maupun sumberdaya pertambangan vital seperti emas dan tembaga.

Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir
Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir

Bali hanya memiliki bahan galian Golongan C yaitu  beberapa mineral anorganik. Misalnya batu kapur. Batu kapur dalam penamaan geologi disebut batu gamping atau limestone. Batu kapur merupakan batuan sedimen yang tersusun atas garamgaram karbonat (CaCO3).

Batu kapur merupakan bahan galian yang dominan dari sumberdaya bahan galian di Bali. Potensinya mencapai 10.217.426.000 ribu m3. Terutama terdapat di Kabupaten Klungkung, khususnya di Pulau Nusa Penida sebesar 97,87% dari total cadangan. Cadangan batu kapur lainnya terdapat di Kabupaten Badung (2,06%), Jembrana (0,05%) dan Buleleng (0,02%).

Kemudian batu andesit. Batu andesit merupakan batu beku yang terjadi akibat melelehnya magma keluar dari bumi melalui zona-zona rekahan. Jumlah cadangan batu andesit mencapai 655.515.000 ribu m3. Andesit terbesar terdapat di Kabupaten Buleleng (67,18%), disusul Karangasem (30,51%). Sisanya terdapat di Kabupaten Jembrana (2,29%) dan Bangli (0,02%).

Ada juga pasir batu atau sirtu. Sirtu merupakan muntahan gunung vulkanik sidemen hasil rombakan batuan terdahulu biasanya diendapkan oleh aliran air. Jumlah cadangan sirtu sebesar 653.279.000 ribu m3, terutama terdapat di Kabupaten Karangasem (68,88%) dan Bangli (22,96%). Sisanya terdapat di Kabupaten Jembrana (3,34%), Klungkung (3,33%), Buleleng (1,41%) dan Tabanan (0,08%).

Berikutnya batu padas. Batu padas/batu paras/trass terbentuk akibat transportasi material vulkanik/gunung api melalui media air sehingga terbentuk lapisan-lapisan atau gradasi yang kemudian mengeras atau terkomposisi akibat tekanan. Di Bali terdapat beberapa jenis batu padas di antaranya adalah batu paras halus dengan butiran halus dan homogen yang biasanya digunakan untuk pembuatan ukiran dan patung.

Jenis lain adalah batu paras kasar dengan butir yang tidak homogen mengandung fragmen vulkanik dan biasanya digunakan sebagai ornamen eksterior seperti tembok gerbang dan dinding luar bangunan. Terdapat pula batu paras yang mengandung lempung vulkanik, ditemui di Desa Taro, Gianyar.

Jumlah cadangan batu padas di Bali tahun 2009 mencapai 415.040.400 ribu m3, terutama terdapat di Kabupaten Gianyar (48,18%) dan Tabanan (45,34%). Selebihnya terdapat di Kabupaten Bangli (4,82%), Badung (0,94%) dan Jembrana (0,72%).

Penambangan lain adalah tanah urug, tanah liat, batu lahar, batu tabas, dan batu apung. Kegiatan penambangan bahan galian Golongan C di Bali tahun 2009 meliputi luas areal galian 2.689 ha, tersebar pada 8 kabupaten (kecuali kota Denpasar). Terkonsentrasi pada tiga kabupaten yaitu Badung, Karangasem dan Buleleng.

Catatan pemerintah menyebut kegiatan pertambangan hanya batuan (pasir, batu, tanah urug, trass) untuk menunjang pembangunan fisik. Sebagian dilakukan tanpa izin, merusak lingkungan, dengan sentra penambangan di Kabupaten Karangasem, Badung, dan Bangli.

Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir
Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir

Tanpa Izin

Kegiatan penggalian galian golongan C di Bali pada tahun 2009 dilakukan oleh 1.1.098 pengusaha, tersebar di seluruh kabupaten/kota namun sebagian besar yaitu 91,07% dilakukan oleh pengusaha yang tidak memiliki izin.  Usaha penggalian terbanyak terdapat di Kabupaten Gianyar dan seluruhnya merupakan usaha tanpa izin. Usaha penggalian di daerah ini berupa penggalian tanah urug, tanah liat dan batu padas. Penggalian tanah liat terutama untuk menunjang usaha pembuatan batu bata sedangkan penggalian batu padas sebagai bahan ornamen bangunan bercorak arsitektur Bali dan bangunan pura.

Usaha di Kabupaten Karangsem yang merupakan pusat penggalian sirtu juga sebagian besar dilakukan oleh usaha illegal atau non Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Penggalian sirtu di Bangli khususnya di kaki Gunung Batur juga tidak dilengkapi dengan SIPD. Begitu juga penggalian di daerah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha penggalian di Bali masih sangat rendah kesadarannya dalam mentaati peraturan yang ada.

Produksi penggalian di Bali tahun 2009 mencapai 147.065 ribu m3, di mana 82% dihasilkan dari usaha penggalian SIPD dan sisanya 18% dari usaha penggalian Non-SIPD. Usaha penggalian Non-SIPD mencapai 91% dari seluruh usaha penggalian yang ada, akan tetapi produksinya hanya menyumbang 17,57% dari total produksi. Hal ini menunjukkan usaha penggalian Non-SIPD merupakan usaha dengan skala kecil.

Dilihat dari jenisnya, produksi usaha penggalian SIPD didominasi oleh dua jenis bahan galian yaitu sirtu sebesar 47,33% dan batu kapur 41,25%. Sirtu terutama dihasilkan di Kabupaten Karangasem (95,88%) yang dilakukan pada 29 lokasi dan batu kapur dari Kabupaten Badung (99,41%) yang dilakukan pada 9 lokasi.

Laporan SLHD terakhir, 2015 tak menyantumkan data terbaru terkait penambangan. Hanya mencatat sisa potensi bahan galian golongan C sebesar 13,94 miliar meter kubik.

Foto udara sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali yang berubah bentuk karena ditambang sejak awal tahun 2000. Foto : savetukadpetanu.org
Foto udara sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali yang berubah bentuk karena ditambang sejak awal tahun 2000. Foto : savetukadpetanu.org

Sementara dari konfirmasi terakhir dengan ESDM Dinas PU Bali, tidak ada data detail karena peralihan wewenang ke provinsi baru tahun ini. Agus konfirmasi areal dan jenis tambang berkurang misalnya sudah tak ada batu andesit. Kemudian sirtu di Klungkung sudah tutup. Dari 59 izin pertambangan yang diajukan, hanya 8 yang sudah validasi.

“Kegiatan pertambangan di aliran sungai Petanu semuanya tanpa izin dan melanggar UU Pertambangan dan Lingkungan Hidup,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali I Nyoman Astawa Riyadi. Namun toh masih berlangsung ‘aman’ hingga kini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,