Fokus Liputan : Ini Usulan Strategi Kolaborasi untuk Menyelamatkan Tukad Petani (Bagian 3)

Sebuah ajakan kampanye bertajuk #savetukadpetanu beberapa kali dibagi oleh netizen di media sosial akhir tahun ini. Berisi link website savetukadpetanu.org.

Sebuah laman padat informasi, dibuka dengan video dari udara memperlihatkan Tukad (sungai) Petanu Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, yang rimbun dan bopeng-bopeng area penambangan. Sejumlah aktivitas memotong tebing sungai untuk mendapat batu-batu paras masih berlangsung saat ini.

Sejak 1998, sungai Tukad Petanu telah mengalami kerusakan parah akibat penambangan liar di sempadan sungai.Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami dampak serius dari kegiatan tersebut. Mari kita bergabung untuk mengatakan 18 tahun sudah lebih dari cukup! Hentikan penggalian liar sungai suci di Bali sekarang. #savetukadpetanu.

Demikian pembuka kampanye anonym ini. Pembuatnya hendak memperlihatkan situasi, ancaman penambangan, dan mendorong warga lokal yang bergerak.

(baca : Penambangan Batu Paras Ilegal yang Terus Berlangsung di Tukad Petanu, Bagian 1)

Salah satu pendukung kampanye ini adalah Gede Sugiarta, seorang pembuat video dokumentasi dan pengelola media Yayasan IDEP. Lembaga yang bergerak di bidang permakultur, tanggap bencana, dan pendidikan lingkungan ini berkantor di tepi Tukad Petanu. Pekerjanya tiap hari bersua pekerja tambang, terutama buruh-buruh angkut perempuan yang hilir mudik memindahkan batu paras dari tebing sungai ke lokasi-lokasi penyimpanan sementara.

“Hampir tiap hari mereka minta air minum di sini, kasihan kerjanya sangat berisiko,” ujar Gede. Dia bercerita bagaimana mereka menyusuri jalan setapak buruh angkut. Sempit, hanya cukup satu orang. Beberapa buruh berkali-kali berhenti untuk mengatur nafas dan menjaga paras-paras di atas kepala mereka agar tak terjatuh.

Pria ini menyebut ada sejumlah solusi yang ingin didorong agar didiskusikan warga setempat. Pendekatannya menyeluruh dari spirit kebudayaan, manusianya, dan alam.

Pertama soal kebudayaan, Tukad Petanu adalah rumah dari sejumlah sumber air yang dijadikan tirta atau air suci untuk keperluan ritual. Mitologi perang Mayadenawa dan Indra ada jejaknya di kawasan sungai ini. Idenya mengukir bekas tebing yang ditambang dengan cerita-cerita mitologi di Bali dan melatih anak muda lokal menjadi pemandu sehingga sungai jadi potensi obyek wisata.

Kemudian pendekatan manusia adalah dengan program rehabilitasi sungai. Mendorong penyadaran ekowisata dengan basis pendidikan lingkungan seperti pengelolaan sampah. Sementara limbah paras dari sisa pemotongan bisa diolah jadi kerajinan ukiran batu atau material bangunan dengan upcycle.

Buruh angkut paras harus cukup berani melewati medan cukup berat dengan beban di kepala di Tukad (sungai) Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Foto Luh De Suriyani
Buruh angkut paras harus cukup berani melewati medan cukup berat dengan beban di kepala di Tukad (sungai) Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Foto Luh De Suriyani

Seluruh pihak seperti bekas penambang, buruh angkut, dan kontraktor bisa berubah peran dalam tawaran penyelamatan Tukad Petanu ini.

Gede melihat potensi pengembangan ekowisata sebagai pengganti usaha penambangan cukup besar di Tukad Petanu yang melingkupi area Desa Kemenuh dan Blahbatuh. Pertama Kemenuh sudah dijadikan Desa Wisata. Sejumlah aset masyarakat sekitar lokasi sangat banyak misalnya goa, pura-pura beji sebagai sumber air suci, Bali Budaya, tempat pemandian, vihara, patung ukiran Sri Karang Buncing, air terjun Tegenungan, dan pengolahan air Tukad Petanu milik pemerintah. Di sela-sela potensi wisata ini lah ada titik penambangan paras.

Aturan Adat

Sementara itu di kawasan aliran sungai Tukad Petanu juga ada inisiatif mencegah eksplorasi penambangan menggunakan hukum adat. Bendesa Adat Tengkulak Tengah Nyoman Suweta menyebut ada larangan untuk merusak lingkungan sehingga sejauh ini belum ada penambangan di kawasan sekitar 1 km sungai yang masuk wilayahnya.

Suweta memiliki usaha akomodasi di desanya, Bhanuswari Resort yang berdiri di atas sekitar 7 hektar lahan dengan puluhan kamar dan villa. Berada di tengah sawah dan pinggi sungai. Ada belasan meter sempadan sungai yang dibiarkan menghijau sehingga tak bisa melihat aliran sungai Petanu.

Polusi suara penambangan batu paras tentu akan berdampak dengan keheningan yang ditawarkan resor ini.

(baca : Turis Menghilang karena Tambang di Desa Wisata, Bagian 2)

“Masyarakat perlu uang tapi jangan merusak alam,” ujarnya. Ia mengakui sempadan sungai di kawasan penambangan sudah parah. Paras yang teksturnya sangat kuat secara natural menahan tanah di atasnya dari longsor.

“Ada kesenjangang sosial tapi banyak yang rakus juga,” sergahnya. Ia menyebut sudah ada beberapa yang ditangkap tapi sebagian lepas. Suweta tak mau menjelaskan lebih jauh apa yang terjadi di masalah penegakan hukum ini.

Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir
Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir

Tahun depan, 2017 nanti ia berencana mengajak sejumlah kepala desa di kawasan Tukad Petanu mencari pemecahan dampak pertambangan ini dan dituangkan dalam aturan adat. Untuk perbaikan salah satunya menawarkan program rehabilitasi dengan membuat ukiran di bekas tambang.

Penambangan paras seingatnya memang sudah ada sejak lama, namun di masa lalu warga melakukannya secara manual dan dalam jumlah terbatas. Namun kini sudah tergantikan mesin-mesin dengan dampak suara dan serpihan debunya yang berbahaya di udara dan terbawa air.

Belum lagi permintaan pasar untuk menggunakan paras dengan alasan lebih kuat dan terlihat lebih cantik pada bangunan tradisional. Seperti yang terlihat di sebuah pura yang sedang dibangun di Kemenuh. Seorang tukang menghaluskan paras dan menatanya di tembok penyengker. Paras dari sungai sekitarnya yang makin bopeng.

Putu Aryastana, dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Warmadewa, Denpasar mempublikasikan hasil penelitiannya tentang pemanfaatan sempadan sungai Tukad Petanu dalam jurnal PADURAKSA, Volume 4 Nomor 2, Desember 2015 (ejournal.warmadewa.ac.id).

Ia menyebut lebar sempadan sungai di Tukad Petanu 10-100 meter dan pemanfaatan lahan pada daerah sempadan sungai didominasi lahan kosong dan sawah. Namun ada beberapa pemanfaatan lain seperti penambangan batu paras, permukiman, villa, resort, tempat hunian, dan tempat ibadah. Aryastana menyarankan adanya penataan pemanfaatan kawasan sempadan sungai Tukad Petanu untuk menjaga kelestarian sungai dengan panjang 46 km ini.

Permasalahan yang ditemukan di10 km panjang sungai daerah studi terhadap pemanfaatan daerah sempadan sungai adalah penambangan batu paras terjadi diruas 8-10 km dari hilir sungai Tukad Petanu.

Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir
Lokasi penambangan dari pinggir sungai Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Tebing makin compang camping karena ditambang. Foto Anton Muhajir

Penambangan batu paras dengan melakukan pemotongan dinding sungai. Ia menulis dari aspek ekonomi masyarakat, penambangan batu paras memberikan peluang kerja dan merupakan sumber pendapatan besar. Tetapi dampak dari pemotongan batu paras akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar.

Di antaranya morfologi sungai berubah, daerah pemotongan batu paras rawan longsor, terganggunya aliran subak sepanjang sungai dan kotornya sungai akibat serpihan potongan batu. Selain itu terkelupasnya tutupan tanah menyebabkan meningkatnya erosi sungai, sehingga suplai sedimen menjadi lebih besar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,